Paralimpiade 2024 di Kota Paris dari tanggal 28 Agustus hingga 8 September merupakan ajang pertemuan atlet dengan ragam disabilitas dari seluruh dunia yang berlaga dalam berbagai cabang olahraga. Awalan "para" dalam kata paralimpiade berasal dari bahasa Yunani yang berarti "berdampingan" sehingga menunjukkan bahwa paralimpiade diadakan tidak jauh dengan olimpiade.
Awalnya paralimpiade, yang dimulai secara resmi pada 1960, hanya diikuti oleh atlet pengguna kursi roda. Namun, pada tahun 1976, program resminya diperluas untuk mencakup atlet dengan disabilitas lainnya, seperti amputasi dan gangguan penglihatan. Setiap cabang olahraga memiliki sistem klasifikasinya sendiri untuk memastikan kompetisi yang adil. Sedangkan atlet diklasifikasikan berdasarkan dampak disabilitas mereka terhadap kinerja olahraga. Selain itu, hanya tiga cabang olah raga yang terbuka untuk atlet dengan disabilitas intelektual, yaitu para atletik, para renang, dan para tenis meja.
Jika logo olimpiade terdiri dari lima cincin berwarna biru, kuning, hitam, hijau, dan merah yang saling terkait untuk melambangkan persatuan lima benua, maka logo paralimpiade yang disebut "agitos," dalam bahasa Latin, berarti "saya bergerak." Logo ini terdiri dari tiga bentuk lengkung berwarna merah, biru, dan hijau yang mengelilingi titik pusat imajiner. Tiga warna itu dipilih karena sering muncul di bendera nasional di seluruh dunia. Agitos melambangkan spirit dinamis para atlet paralimpiade dalam mengejar keunggulan.
Dilansir dari harian Le Monde, paralimpiade lebih padat dibandingkan olimpiade, dengan 549 nomor pertandingan di 23 cabang olahraga, karena adanya berbagai kategori disabilitas. Sedangkan olimpiade memiliki 329 nomor pertandingan di lebih dari 40 cabang olahraga. Banyak kompetisi paralimpiade yang dapat terlaksana hanya dalam 11 hari, dibandingkan dengan 16 hari untuk olimpiade, karena jumlah peserta yang lebih sedikit—sekitar 4.400 atlet paralimpiade, dibandingkan dengan 10.500 atlet di olimpiade.
Situs web olympics.com memaparkan hal-hal unik di paralimpiade. Misalnya, pada sepak bola tunanetra, para pemain ditutup matanya untuk memastikan kompetisi yang adil bagi semua. Bola yang digunakan diisi dengan lonceng, sehingga mengeluarkan suara saat bergulir agar para pemain bisa mendeteksinya.
Para judo hanya diperuntukkan bagi atlet tunanetra dan untuk merasakan posisi lawan, para pesaing harus tetap berpegangan pada judogi (kostum) satu sama lain. Dalam voli duduk, pemain meninggalkan kursi mereka di sisi lapangan dan bergerak di atas lantai dengan menggunakan bokong dan tangan mereka.
Dalam anggar kursi roda, atlet bersaing di kursi roda yang dipasang di lantai dengan perangkat khusus, yang membuat mereka tetap dekat dengan lawan, menjamin pertandingan intensitas tinggi. Para angkat beban, dilakukan dalam posisi “bench press,” adalah satu-satunya bentuk angkat beban yang dipertandingkan di paralimpiade. Bench press menggunakan otot tubuh bagian atas, seperti otot dada, otot bahu, dan otot lengan, untuk menahan beban, dan peserta dikategorikan berdasarkan berat badan, bukan jenis disabilitas.
Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia mengatakan paralimpiade Paris 2024 menunjukan komitmen dunia, bahwa dalam olahraga pun warga difabel memiliki kesempatan yang sama. "Sportivitas dan semangat yang ditunjukkan oleh para atlet sekaligus juga menunjukkan bahwa menjadi disabilitas bukan akhir dari segalanya untuk berkarya," ujarnya.
DILANS diniatkan untuk menciptakan dunia inklusif bagi warga penyandang disabilitas dan lansia yang mandiri dan berdaya dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang dilakukan dengan cara memobilisasi sumberdaya melalui berbagai kolaborasi dengan aktor negara dan non-negara untuk mempercepat kehidupan inklusif.
Paralimpiade yang diselenggarakan di Paris, tambah Farhan, merupakan pengingat bagi kita semua, karena sembilan tahun lalu “Persetujuan Paris” ditandatangi oleh para pemimpin dunia untuk memerangi perubahan iklim, melaksanakan berbagai aksi dan investasi menuju rmasa depan yang rendah karbon, berdaya tahan dan berkelanjutan yang diberlakukan pasca 2020.
Krisis iklim berdampak serius pada siapapun, terutama warga difabel yang rentan terhadap berbagai disrupsi. "Tidak boleh ada diskriminasi pada 1,3 miliar penyandang disabilitas (setara dengan 16% penduduk dunia) di mana pun, untuk juga menjadi bagian dalam agenda aksi perubahan iklim. “No One Left Behind” dan “Nothing about Us without Us” adalah spirit yang harus dilekatkan pada setiap pengambilan keputusan pembangunan,” imbuh Farhan.