Cerita dari HUT 87 Opa Sidharto

Sejarawan Prof. Asvi Marwan Adam mengingatkan kembali akan usulan pemberian gelar Bapak Bangsa kepada Bung Karno yang sempat terlupakan.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Dalam acara syukuran hari kelahiran Sidharto Danusubroto ke-87 di Aula Kementerian PUPR Jakarta Selatan (Minggu/11 Juni 2023), muncul kembali gagasan pemberian gelar Bapak Bangsa untuk Bung Karno, Sang Proklamator RI. Lontaran tersebut dari Prof Asvi Marwan Adam, sejarawan UI, saat didapuk untuk memberikan testimoni.

Selain Prof Asvi, tampil juga memberi testimoni, Guntur Soekarnoputra-putra sulung Bung Karno (BK) dari Ibu Fatmawati, Budayawan Sujiwo Tedjo, Politisi Golkar-Meutia Hafidz, dan Yenni Wahid.

Acara syukuran itu sangat disesaki pengunjung, di antaranya nampak Ketua MPR RI Bambang Susetyo, Sekjen DPR RI-Indra Iskandar, KASAD-Jenderal TNI AD Dudung Abdurachman, Menteri PUPR-Basuki Hadimoelyono, Akademisi UI-Prof Wibawarta. Serta para tokoh nasional lainnya, termasuk kalangan politisi, aktivis pemuda/mahasiswa, dubes, dan artis-artis seperti Dewi Yull, Pong Hardjatmo, Sukmawati Sukarnoputri, dan lain-lain.

Sidharto Danusubroto biasa dipanggil Opa Sidharto, mantan ajudan Bung Karno tahun 1967-1968 yang kini anggota Wantimpres RI. Ada decak kagum atas capaian usia Opa Dharto yang masih aktif berpolitik dan berkontribusi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Dia mungkin satu-satunya tokoh di Indonesia yang mengalami 7 (tujuh) Presiden dan selalu dapat jabatan strategis, ungkap seorang rekan alumni UI, yang kebetulan sama-sama tergabung dalam Forum Alumni UI di mana Opa Dharto duduk sebagai Ketua Dewan Pembina. FA UI merupakan salah satu kumpulan alumni UI yang berorientasi nasionalis dan pluralis.

Acara itu diinisiasi oleh kerabat dan sahabat Opa Sidharto. Salah satunya adalah Forum Alumni UI (FA UI), yang pada malam itu menyuguhkan Group Tari Radha Sarisha UI dan paduan suara Paragita UI yang menyanyikan lagu Mari Bersuka Ria karya Bung Karno. Lagu bernada ceria ini dinyanyikan dengan irama lenso.

FA UI berpartisipasi penuh karena Opa Sidharto adalah juga alumni Fakultas Hukum UI serta menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina FA UI. Selain itu, Sigid Edi Sutomo, mantan Ketua Dema Psikologi UI tahun 1978 aktif sebagai Ketua Presidum FA UI.

Urgensi Gelar Bapak Bangsa

Pemerintah telah menganugerahkan Pahlawan Proklamator kepada Ir Sukarno pada tahun 1986 bersama Bung Hatta. Pada tahun 2012 pemerintah juga menganugerahkan Pahlawan Nasional.

Hal ini memastikan bahwa Ir Sukarno telah memenuhi syarat setia dan tidak menghianati bangsa dan negara sebagai persyaratan pemberian gelar Pahlawan Nasional.

Penyematan gelar Pahlawan Nasional sekaligus menggugurkan “tuduhan” yang termaktub dalam Tap MPRS No. 33 Tahun 1967 tentang keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S PKI alias Gestok.

Pada bagian pertimbangan Tap MPR 33 menyebut Sukarno telah membuat keputusan yang menguntungkan gerakan 30 September atau Gestok. Sukarno disebut juga melindungi para tokoh PKI.

Namun amat disayangkan proses rekonsiliasi dan rujuk nasional sampai saat ini cenderung stagnan dan jalan di tempat. Masih ada pihak-pihak yang seakan belum “legowo” sepenuhnya dengan proses rekonsiliasi nasional.

Padahal untuk melaju sebagai bangsa unggul dan hebat, hal-hal sebagaimana dituduhkan dalam Tap MPRS 33 tersebut harus segera dituntaskan. Kerikil-kerikil harus disingkirkan agar tidak mengganggu rekonsiliasi bangsa serta percepatan pembangunan dan pemajuan bangsa.

Bapak Bangsa biasanya disematkan kepada tokoh yang sepenuh hati dan berani menempuh resiko bahkan pengorbanan jiwa dan raga sekalipun untuk pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan dan penindasan.

Bapak Bangsa hanya berjuang sepanjang hayat tanpa memikirkan kepentingan dan kesenangan diri-pribadi dan keluarga. Berfikir semata demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.

Banyak negara punya Bapak Bangsa. Sebut saja, India mempunyai Mahatma Gandhi. Uni Sovyet dengan Stalin. Kambodja dengan Norodom Sihanok. China dengan Mao Ze Dong. Afrika Selatan memiliki Nelson Mandela. Dan masih banyak lagi.

Mungkin di sinilah letak urgensi mengapa sejarawan Asvi Marwan Adam mengingatkan kembali para hadirin akan usulan pemberian gelar Bapak Bangsa kepada Bung Karno yang sempat terlupakan.

Seharusnya pemerintah dan pihak-pihak yang masih berkeberatan dapat melihat makna rekonsiliatif dan penguatan persatuan nasional di balik pemberian gelar Bapak Bangsa tersebut.

Singkatnya, pada acara tasyakuran Opa Sidharto ke 87 itu, kenangan akan Bung Karno bersemi kembali di benak kita, terutama saat Paduan Suara PARAGITA UI melantunkan lagu ciptaan Bung Karno berjudul “Mari Bersuka Ria”, dengan sebait syairnya:

 

“Mari kita bergembira, sukaria bersama,

Hilangkan sedih dan duka, mari nyanyi bersama,

Lenyapkan duka lara, bergembira semua,

La la la la la la la, Mari bersuka ria.

 

Tukang sayur nama Si Salim,

Menjualnya ke jalan Lembang…

Indonesia anti Nekolim, para seniman turut berjuang..!”

Merdeka!

Penulis
Pemerhati Ekologi-Politik/Wakil Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis/GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com