Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 di Belém, Brasil, ditutup dengan campuran pencapaian dan penundaan. Di ruang-ruang negosiasi terlihat jelas bahwa dunia bergerak, tetapi belum cukup cepat merespons urgensi krisis iklim. Ambisi global masih tertahan oleh mereka yang diuntungkan dari status quo, sementara tekanan sains semakin mendesak tindakan nyata.
Conference of Parties (COP) – UNFCCC adalah ruang diplomasi internasional tempat Para Pihak meninjau progres, mengukur kesenjangan upaya, mengatur implementasi perjanjian iklim, dan menyepakati langkah jangka panjang. Namun seluruh proses ini terikat oleh satu prinsip yang kerap menunda kemajuan: nothing is agreed until everything is agreed. Artinya, tidak ada elemen yang dapat disetujui sebelum seluruh paket keputusan disepakati bersama. Prinsip ini menjaga keseimbangan, tetapi juga memberi satu negara kekuatan untuk menahan laju negosiasi global.
Pada COP30, ketegangan itu tampak jelas terutama dalam isu transisi energi. Dorongan untuk menetapkan jadwal keluar dari bahan bakar fosil menguat beberapa minggu menjelang konferensi. Sebanyak 88 negara menyokong rancangan roadmap yang ambisius untuk mengarahkan peralihan energi secara terstruktur. Namun momentum ini tidak cukup untuk melampaui dinding konsensus. Beberapa negara produsen energi fosil menolak, sementara sejumlah negara berkembang menilai dukungan pendanaan belum memadai untuk memungkinkan transisi yang adil. Akibatnya, roadmap tidak muncul dalam keputusan final.
Presidensi Brasil kemudian menawarkan jalan tengah berupa komitmen sukarela: sepanjang 2026 mereka akan menyusun dua roadmap, transisi energi dan penghentian deforestasi, melalui serangkaian dialog tingkat tinggi yang inklusif. Inisiatif ini penting, tetapi karena berada di luar teks resmi, tidak ada jaminan akan diadopsi pada COP31. Inilah realitas diplomasi iklim: ide berani tak selalu cukup untuk menembus struktur keputusan yang kompleks.
Pada isu NDC (Nationally Determined Contributions), arah pergerakan juga tidak secepat yang diharapkan. NDC adalah komitmen masing-masing negara untuk mengurangi emisi dan memperkuat adaptasi. Sebanyak 122 negara memang menyampaikan NDC baru, tetapi secara kolektif dunia tetap melenceng dari jalur 1,5°C. Batas ini dihitung dari suhu pra-industri (periode sebelum aktivitas manusia memicu pemanasan besar-besaran) dan melampauinya berarti memasuki zona risiko iklim yang jauh lebih berbahaya. Keputusan final kemudian meminta negara menyusun implementation and investment plans, memperkuat peer exchange, serta meluncurkan Global Implementation Accelerator dan Belém Mission to 1.5. Semua ini membuka ruang kolaborasi, namun hasil akhirnya tetap bergantung pada kemauan politik masing-masing negara.
Dari sisi pendanaan, Baku to Belém Finance Roadmap menuju USD 1,3 triliun dalam dekade mendatang “dicatat,” bukan diadopsi. Kritik muncul karena dokumen tersebut dinilai terlalu bertumpu pada pembiayaan swasta dan belum menawarkan skema pendanaan baru yang lebih transformatif. Meski demikian, pengakuan COP terhadap urgensi skala pendanaan tetap menjadi langkah awal penting.
Di tengah berbagai dinamika ini, COP30 menghasilkan keputusan signifikan terkait keadilan iklim. Belém Gender Action Plan (2026–2034) secara resmi diadopsi, menjadi kerangka global untuk memastikan perspektif gender terintegrasi dalam adaptasi, mitigasi, pendanaan, teknologi, dan sistem peringatan dini. Karenanya perempuan bukan terdampak, tetapi aktor penting dalam menemukan solusi iklim berkeadilan.
Isu proses juga menjadi sorotan. COP30 memperlihatkan sekali lagi bagaimana konsensus dapat menjadi alat veto yang memperlambat ambisi. Pada sesi penutupan, beberapa negara mencoba memblokir adopsi keputusan, tetapi Presiden COP melanjutkan ketok palu tanpa mengakui keberatan tersebut. Banyak pihak menilai momen ini sebagai bukti bahwa sistem pengambilan keputusan COP perlu direformasi agar lebih responsif terhadap sains dan lebih tahan terhadap pemblokiran politik.
Kekecewaan kian besar ketika fakta terungkap bahwa 1 dari setiap 25 peserta COP30 adalah pelobi industri fosil. Kehadiran mereka dalam jumlah signifikan memicu kekhawatiran tentang integritas proses negosiasi, mengingat industri inilah yang memiliki kepentingan terbesar untuk mempertahankan status quo.
Namun di balik semua dinamika itu, kerja-kerja kolaboratif tetap bergerak. The Climate Reality Project, bersama cabang internasional dan mitra global, menyusun materi advokasi, berdialog dengan negosiator, dan mendorong agar isu reformasi muncul dalam pernyataan penutupan. Upaya seperti ini mungkin tidak terlihat di panggung utama, tetapi menjadi bagian penting dari ekosistem diplomasi nonformal yang memperluas ruang pembahasan.
Tahun 2026 akan menjadi tahun yang padat: penyusunan roadmap transisi energi dan deforestasi, pembahasan pendanaan jangka panjang, perbaikan proses COP, implementasi NDC, dan penerapan Gender Action Plan agar keadilan iklim berjalan seiring dengan ambisi ilmiah dan teknis.



