Kompleksitas Pengendalian Inflasi di Indonesia

Mengacu pada penyebab inflasi di Indonesia, nampaknya pengendalikan inflasi di Indonesia harus dilakukan secara multidimensional dan berkelanjutan.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Surat utang negara yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia merupakan surat berharga yang mahal. Imbal Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN maupun di kelompok Emerging Markets (EMs) lainnya.

Sebagai gambaran, rata-rata imbal hasil SBN domestik dengan tenor sepuluh tahun (SBN 10y) Indonesia sepanjang 2014 s.d. 2018 berada pada tingkat 7.7 persen, lebih tinggi apabila dibandingkan dengan imbal hasil instrumen serupa pada periode yang sama di Thailand (2.7 persen), Malaysia (4.0 persen), Filipina (5.3 persen), Vietnam (6.0 persen), Meksiko (6.7 persen), Kolombia (7.1 persen), dan India (7.6 persen). Mahalnya surat berharga ini, tentu saja akan membebani APBN ke depannya.

Inflasi di Indonesia diduga merupakan penyebab utama tingginya imbal hasil tersebut. Akibat tingginya inflasi akan memperlemah rupiah, sehingga investor asing perlu melakukan pembayaran lindung nilai pembelian surat berharga dalam rupiah terhadap mata uang asing.

Konsekuensinya kesediaan membeli investor asing terhadap surat berharga Indonesia dikaitkan dengan imbal hasil yang tinggi. Jika inflasi dapat ditekan pada kisaran 1,5 persen - 2 persen, maka depresiasi rupiah dan risiko ekonomi tidak terlalu besar dan selanjutnya imbal hasil dapat diturunkan.

Berbicara mengenai inflasi sangat berkaitan dengan sudut pandangnya. Inflasi dapat dijelaskan dalam sudut pandang jangka pendek atau jangka panjang, faktor penyebabnya, teori yang menjadi latar belakangnya.

Definisi inflasi seperti yang sering diajarkan dalam ilmu ekonomi makro dasar adalah kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Jika kenaikan harga hanya terjadi pada dua atau tiga komoditi serta tidak berdampak kepada kenaikan komoditi lain dan tidak terus menerus tidak bisa dikatakan inflasi.

Mengacu pada definisi tersebut kenaikan harga dianggap sebagai sesuatu yang persisten atau menetap, padahal dalam pengamatan jangka pendek, harga bisa saja naik atau turun atau mengalami volatilitas. Definisi semacam ini merupakan definisi untuk pengamatan jangka panjang. Jika inflasi dalam perspektif jangka panjang yang terjadi, maka faktor yang bersifat fundamental yang menetap harus dihilangkan, seperti kecenderungan kenaikan harga input secara terus menerus.

Dalam pengertian inflasi yang lain yang terkenal dengan istilah dikotomi klasik atau netralitas uang, inflasi dianggap sebagai fenomena moneter dan penyebabnya adalah variabel moneter juga yaitu jumlah uang beredar terlalu banyak.

Pengertian mengenai inflasi seperti ini mengacu kepada pemikiran ekonom klasik yang menganggap perekonomian bekerja dalam kapasitas penuhnya, sehingga ketika terjadi gejolak, output tidak mengalami perubahan, hanya harga yang melakukan penyesuaian.

Padahal penggunaan kapasitas penuh dalam perekonomian hanya bisa terjadi dalam jangka panjang, dengan demikian inflasi merupakan fenomena jangka panjang. Jika ini yang terjadi, maka peningkatan kapasitas perekonomian harus dilakukan, sehingga dampak peningkatan jumlah uang beredar tidak terlalu besar terhadap harga.

Dari sisi penyebabnya inflasi disebabkan oleh kuatnya permintaan (demand pull inflation) atau meningkatnya biaya penyediaan barang dan jasa sampai ke tangan konsumen (Cost push inflation). Inflasi yang ditarik karena kuatnya permintaan pada umumnya tidak menetap dan bersifat sementara atau jangka pendek, namun demikian “cost push inflation” lebih menetap sifatnya.

Selain itu, inflasi juga disebabkan oleh gejolak domestik yang disebut domestic inflation. Penyebab inflasi lain adalah negara asal impor mengalami inflasi yang berdampak kepada kenaikan harga barang impor, inflasi semacam ini juga disebut imported inflation. Pada keadaan seperti ini, tentu saja intervensi di sektor riil lebih diperlukan apakah di sektor permintaan atau penawaran.

Dari sudut pandang faktor penyebab fundamental, BPS saat ini mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan dengan tujuan menghasilkan suatu indikator inflasi menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi pertama inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti Interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal dalam hal ini nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang, ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen.

Kedua adalah inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari Inflasi komponen bergejolak (volatile food) inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

Selain itu, inflasi non inti juga disebabkan gejolak komponen harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices), seperti kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan dan lain-lain.

Penyebab Inflasi di Indonesia

Berdasarkan pengamatan yang selama ini dilakukan, inflasi di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut. Pertama, meningkatnya tarikan permintaan (Demand Pull Inflation), kedua bertambahnya Uang yang Beredar, ketiga meningkatnya biaya produksi (Cosh Push Inflation), keempat adalah ekspektasi inflasi.

Inflasi jangka pendek meningkatnya permintaan di Indonesia sudah pasti terjadi dan tidak bisa dihindari pada saat menjelang hari raya keagamaan seperti puasa, lebaran, natal dan tahun baru. Pada waktu seperti ini, permintaan meningkat lebih kuat daripada penawaran barang dan jasa, bahkan pada awalnya seringkali penawaran dikurangi secara sengaja oleh para pengusaha dengan menimbun barang.

Akibatnya tentu saja harga akan mengalami kenaikan yang signifikan. Kebijakan yang sering dilakukan adalah operasi pasar, melakukan sidak ke gudang penimbunan. Kebijakan semacam ini terasa sangat insidental dan tidak fundamental.

Kebijakan yang fundamental dalam hal ini adalah mempengaruhi secara permanen dan otomatis kepada sisi permintaan dan penawarannya, artinya peran lembaga penyangga harga di tingkat pusat sampai kabupaten harus ditingkatkan dengan lebih proaktif dalam mengamati situasi pasar dan mendorong .

Inflasi berkaitan dengan tarikan permintaan seringkali dikaitkan dengan inflasi “volatile food”. Pengendalian di sisi permintaan lebih sulit dilakukan jika penyebabnya adalah masalah budaya mengkonsumsi pangan.

Oleh karena itu berkaitan dengan makanan pokok yang mengarah ke beras, ke depannya perlu dilakukan kembali kebijakan diversikasi pangan sesuai potensi daerah. Kebijakan ini perlu dilakukan agar ke depannya inflasi yang disebabkan oleh “volatile food” tidak berulang secara signifikan sebagai faktor yang sangat mempengaruhi perekonomian

Inflasi yang disebabkan karena jumlah uang beredar relatif sangat banyak dibandingkan kebutuhannya sebagai alat tukar pernah terjadi secara signifikan . Pada pertengahan tahun 1960-an bertambahnya uang yang beredar di Indonesia sangat besar sekali.

Penambahan jumlah uang beredar ini terjadi, karena Bank Indonesia diminta oleh pemerintah mencetak uang untuk membiayai pengeluarannya, namun demikian tidak diikuti dengan peningkatan output nasional yang berarti, dampaknya adalah nilai uang merosot dengan sangat tajam atau terjadi inflasi di atas 500 persen.

Pada perekonomian yang semakin modern saat ini, inflasi seperti ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena akses ke pembiayaan internasional terbuka lebar dan dalam situasi keterbukaan informasi saat ini cetak uang secara berlebihan akan sangat mudah dimonitor oleh masyarakat dan lembaga domestik maupun internasional, sehingga jika terjadi akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian dan berdampak jangka panjang terhadap kemerosotan ekonomi.

Perkembangan dunia moneter modern peran uang sebagai alat tukar didominasi oleh uang giral yang tercipta dalam sistem keuangan. Akibatnya porsi uang kartal terhadap jumlah uang beredar secara keseluruhan sangatlah kecil.

Kondisi ini mengakibatkan peran Bank Indonesia dalam mengendalikan jumlah uang beredar semakin kecil. Peran perubahan jumlah uang beredar akan sangat dipengaruhi oleh perilaku lembaga keuangan dan masyarakat sebagai pemilik uang.

Berkaitan dengan itu bank sentral moderen, menggunakan suku bunga acuan untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat dalam pengendalian inflasi, namun demikian ada persoalan waktu dan perubahan kondisi perekonomian.

Keputusan kebijakan sampai dengan dampak kebijakan membutuhkan waktu, sehingga kondisi perekonomian yang akan dipengaruhi bisa saja sudah berubah ketika kebijakan diterapkan. Oleh karena di dalam melakukan kebijakan perlu memperhitungkan waktu dengan tujuan efektivitas kebijakan.

Kecepatan mekanisme transmisi moneter dan jalurnya menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan. Ini perlu menjadi perhatian, karena setiap kebijakan ekonomi mempunyai tujuan, namun sekaligus mempunyai dampak lain yang diinginkan. Kebijakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan suku bunga berpotensi meningkatkan inflasi karena peningkatan jumlah uang beredar.

Perekonomian 2023 dan 2024 diprediksikan masih menghadapi ketidakpastian yang dapat mengarah ke resesi dan inflasi. Beberapa kondisi yang dapat mendorong resesi dan inflasi adalah keadaan ekonomi global buruk, adanya kenaikan suku bunga bank dari dampak inflasi, terjadinya krisis pangan dan krisis energi, serta terjadinya ketidakpastian pasar dan beban utang.

Berkaitan dengan inflasi yang didorong oleh biaya, maka kenaikan suku bunga dan krisis energi, merupakan faktor utama pendorong inflasi di sektor riil. Kenaikan suku bunga akan meningkatkan biaya dana dan krisis energi.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tren sektor pangan di Indonesia masih berada di posisi aman. Akan tetapi, tidak untuk krisis energi seperti BBM karena Indonesia masih impor. Kondisi kenaikan harga BBM dan LPG non subsidi di Indonesia tak bisa dihindari sehingga berpotensi mendorong inflasi karena biaya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena berkaitan dengan aktivitas logistic di semua sektor usaha. Sektor jasa transportasi, logistic dan pariwisata akan terkena dampak langsungnya.

Penyebab inflasi karena ekspektasi ke depan (forward expectation) berkait dengan cara pandang masyarakat akan situasi yang akan terjadi di masa depan yang mempengaruhi tindakan mereka saat ini. Menurut Robert Lucas, ekspektasi semacam ini , dapat diramalkan oleh pengambil kebijakan jika terjalin relasi aksi- reaksi pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi saling percaya.

Pengambil kebijakan yang kredibel menjadi kunci arah ekspektasi pelaku ekonomi yang lain. Sekali saja pengambil kebijakan tidak menepati kebijakan seperti yang diumumkan, menyebabkan pelaku ekonomi lain tidak mempercayainya, akibatnya sulit memprediksi. Informasi yang berkualitas, tepercaya dan mudah diakses menjadi kunci keberhasilan mengelola persepsi masyarakat.

Penutup

Pengendalian inflasi merupakan pekerjaan berat yang harus selalu diemban oleh pemerintah. Mengacu pada penyebab inflasi di Indonesia, nampaknya pengendalikan inflasi di Indonesia harus dilakukan secara multidimensional dan berkelanjutan. Inflasi dalam perekonomian Indonesia harus rendah untuk mendukung keberlanjutan fiskal.

Bank Indonesia perlu memperkuat posisinya untuk memastikan kendalinya dalam mekanisme transmisi moneter dan memprediksi ekspektasi masyarakat. Di sektor riil, perlu upaya untuk mengendalikan permintaan dan penawaran secara fundamental dalam jangka panjang agar inflasi non inti lebih terkendali.

Selain itu, koordinasi antar instansi pelaku kebijakan juga harus semakin efektif dalam mengantisipasi langkah kebijakan sebelum inflasi tinggi terjadi. Pemerintah juga perlu semakin memahami ekspektasi masyarakat dengan selalu membuka informasi dan komunikasi dengan pelaku ekonomi yang lain.

Kolumnis
Dosen Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan, Keuangan dan Perbankan, dan Magister Ekonomi Terapan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com