KTT Stanford untuk Asia Tenggara

Masa depan Asia Tenggara akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Asia Tenggara merupakan kawasan yang penuh dinamika. Di satu sisi, pertumbuhan ekonominya berlangsung cepat. Di sisi lain, ketimpangan antarwilayah dan dalam negeri masih sangat terasa. Sebagian negara telah menikmati kemajuan infrastruktur dan akses energi, sementara yang lain masih bergulat memenuhi kebutuhan dasar. Dalam situasi seperti ini, pembangunan tak lagi cukup diukur dari angka semata, melainkan dari sejauh mana ia mampu menciptakan ketahanan dan keberlanjutan jangka panjang.

Semangat inilah yang diusung dalam Southeast Asia Summit on Prosperity and Sustainability yang akan berlangsung pada 19–20 Mei 2025 di Stanford University, Amerika Serikat. Diselenggarakan oleh Stanford Doerr School of Sustainability dan diorganisasi oleh Precourt Institute for Energy bersama Woods Institute for the Environment, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini akan mempertemukan 400 pemikir dan pengambil keputusan dari sektor bisnis, pemerintahan, dan akademisi dari Asia Tenggara dan Amerika Serikat.

Forum ini dirancang bukan sekadar seremoni atau pertemuan simbolik, melainkan sebagai ajang pertukaran ide dan pembentukan kolaborasi yang bermakna dalam pengembangan teknologi dan infrastruktur—dengan fokus utama pada ketahanan energi dan pangan kawasan.

Dengan total Produk Domestik Bruto sekitar US$4 triliun, Asia Tenggara merupakan kekuatan ekonomi global yang signifikan. Namun, perbedaan pendapatan per kapita dan tingkat elektrifikasi menunjukkan jurang besar antarnegara di kawasan ini. Ada negara dengan pendapatan per kapita lebih dari US$91.000, sementara ada yang masih di bawah US$2.000. Kesenjangan ini berdampak langsung pada akses terhadap energi, pangan, dan layanan dasar lainnya.

Hari pertama konferensi akan diisi dengan pidato kunci dan panel terbuka yang menghadirkan pemimpin kawasan dan akademisi ternama. William Chueh, Chris Field, dan Arun Majumdar dari lembaga ilmiah utama Stanford akan membuka sesi, diikuti oleh Gita Wirjawan yang menyampaikan pandangan kawasan, serta perbincangan santai (fireside chat) bersama Condoleezza Rice, mantan Menteri Luar Negeri AS. Puncak hari pertama adalah pidato Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, yang mengangkat tema masa depan Asia Tenggara yang tangguh dan berkelanjutan.

Hari kedua bersifat lebih tertutup, melalui diskusi meja bundar yang membahas isu-isu prioritas seperti masa depan manufaktur dalam konteks reshoring dan kecerdasan buatan (AI); tantangan etika dan teknis penerapan AI di negara berkembang; kerja sama akademik lintas negara; potensi energi panas bumi; pengelolaan karbon; industri baterai dan energi nuklir; serta pembiayaan inovatif. Sesi-sesi ini mempertemukan pemikir teknologi, pelaku usaha, organisasi masyarakat sipil, dan pejabat publik dalam skala terbatas untuk bertukar gagasan dan merumuskan langkah konkret.

Pada Diskusi Pengelolaan Karbon, misalnya, masing-masing pembicara memaparkan pengalaman dalam mengelola karbon, tantangan yang dihadapi, serta refleksi dari lapangan. Sesi ini menjadi ruang untuk membedah berbagai pendekatan, dari solusi berbasis alam seperti restorasi ekosistem, hingga teknologi rekayasa seperti penyimpanan karbon geologis.

KTT Stanford menekankan pendekatan yang menyeluruh dan relevan dengan konteks masing-masing negara. Solusi tidak bisa mengandalkan satu pola global yang seragam, melainkan harus berakar pada realitas lokal. Pengembangan energi terbarukan, misalnya, perlu mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial-ekonomi setiap wilayah. Demikian pula dengan sistem pangan: keberagaman produksi lokal harus dijaga sambil memperkuat distribusi dan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Bagi Indonesia, forum ini sejatinya bukan hanya ruang belajar, tetapi juga peluang untuk memimpin narasi dan mengambil peran di kawasan. Indonesia memiliki kekayaan pengalaman komunitas dan modal sosial yang kuat dalam isu keberlanjutan. Yang dibutuhkan adalah keberanian berpikir merdeka, membangun jejaring kawasan yang produktif, dan menunjukkan bahwa praktik lokal bisa menjadi fondasi perubahan yang lebih luas.

Masa depan Asia Tenggara akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Jika dikelola dengan bijak, kawasan ini bisa menjadi panutan global dalam membangun kemakmuran yang tidak merusak daya dukung bumi. Di tengah krisis iklim dan ketegangan geopolitik, keberanian untuk berinovasi dan berkolaborasi menjadi kunci menciptakan masa depan yang adil dan berkelanjutan bagi semua.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]