Punahnya Bahasa Tradisional Karena Iklim

Bahasa-bahasa minoritas, terutama yang diucapkan oleh komunitas-komunitas kecil di daerah terpencil, berisiko punah seiring dengan perubahan iklim yang memaksa perpindahan penduduk dan mengganggu cara hidup tradisional mereka.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Banjir, badai, gempa bumi, kebakaran hutan dan bencana lainnya memicu 26,4 juta pengungsian internal pada tahun 2023. Demikian catatan Internal Displacement Monitoring Center, yang mendefinisikan pengungsian internal sebagai situasi ketika individu atau kelompok terpaksa meninggalkan rumah atau tempat tinggal, tetapi tetap berada dalam batas negara mereka.

Tidak semua pengungsian diakibatkan oleh bencana terkait iklim, tetapi karena perubahan iklim membuat peristiwa cuaca ekstrem semakin umum dan intens, maka bertambah pula orang yang berisiko mengungsi dari rumah mereka.

Perubahan iklim tidak hanya memengaruhi lingkungan fisik, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan pada budaya dan bahasa. Bahasa-bahasa minoritas, terutama yang diucapkan oleh komunitas-komunitas kecil di daerah terpencil, berisiko punah seiring dengan perubahan iklim yang memaksa perpindahan penduduk dan mengganggu cara hidup tradisional mereka.

Profesor Anouschka Foltz, pakar linguistik dari Universitas Graz di Austria, menulis tentang hal ini untuk situs downtoearth.org. Ada lebih dari 7.000 bahasa yang masih hidup di dunia saat ini. Papua Nugini memiliki sekitar sembilan juta penduduk yang berbicara dalam 839 bahasa berbeda, dengan 313 di antaranya terancam punah. Di Vanuatu, 300.000 penduduknya menggunakan 108 bahasa, lebih dari setengahnya terancam punah. Indonesia memiliki 704 bahasa, India 424, dan Filipina 175, dengan hampir setengah dari bahasa-bahasa tersebut terancam punah. Lebih dari sepertiga bahasa yang terancam punah digunakan di lima negara ini.

Masing-masing bahasa menurut Profesor Foltz menyimpan pandangan hidup, sejarah, dan pengetahuan para penuturnya. Bahasa yang terancam punah menyimpan pengetahuan penting tentang tumbuhan lokal, termasuk penggunaan obat dari tumbuhan tersebut. Bahasa-bahasa ini juga menyimpan informasi tentang hewan dan cara hidup berkelanjutan di lingkungan setempat. Dengan demikian, kehilangan bahasa berarti juga kehilangan pengetahuan yang dapat membantu manusia hidup lebih baik, lebih sehat, dan lebih berkelanjutan.

Banyak dari bahasa terancam ini digunakan di area geografis kecil dan hanya memiliki beberapa ratus penutur. Jika penutur bahasa ini pindah dan tersebar, kemungkinan mereka meneruskan bahasa tersebut ke generasi berikutnya menjadi kecil. Di luar komunitas kecil mereka, bahasa-bahasa ini cenderung memiliki nilai ekonomi dan budaya yang rendah.

Ada banyak alasan untuk hilangnya bahasa, dan migrasi hanya satu bagian dari masalah. Namun, di bagian dunia tempat banyak bahasa terancam ditemukan, bencana lingkungan menjadi penyebab utama migrasi.

Ada beberapa organisasi dunia fokus pada pelestarian bahasa yang terancam punah akibat perubahan iklim. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) memiliki program khusus untuk mendokumentasikan dan melestarikan bahasa-bahasa minoritas, dan meningkatkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim terhadap bahasa dan budaya. SIL International yang juga aktif dalam dokumentasi dan pengembangan bahasa minoritas, mengakui bahwa perubahan iklim memaksa komunitas untuk bermigrasi dan mengancam bahasa mereka. Sedangkan Cultural Survival mendukung hak-hak masyarakat adat dan pelestarian bahasa mereka melalui proyek adaptasi iklim dan pelestarian bahasa.

Mengatasi masalah punahnya bahasa akibat perubahan iklim memerlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, komunitas lokal, hingga lembaga pendidikan dan organisasi non-pemerintah.

Beberapa cara dapat dilakukan termasuk dokumentasi bahasa yang melibatkan pencatatan kosakata, tata bahasa, cerita rakyat, dan lagu dalam bentuk tulisan, audio, dan video. Juga revitalisasi bahasa yang melibatkan mengajarkan bahasa kepada generasi muda melalui program pendidikan formal dan informal. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah dapat mendukung program ini dengan menyediakan sumber daya dan pelatihan bagi guru dan pengajar bahasa.

Teknologi dapat menjadi alat yang kuat dalam melestarikan bahasa. Aplikasi belajar bahasa, platform media sosial, dan situs web yang didedikasikan untuk bahasa lokal dapat membantu menyebarkan penggunaan bahasa tersebut. Teknologi juga memungkinkan komunitas yang tersebar untuk tetap terhubung dan berbagi pengetahuan tentang bahasa dan budaya mereka.

Memberdayakan komunitas lokal untuk tetap tinggal di tanah leluhur mereka dan menjaga cara hidup tradisional mereka sangat penting. Ini bisa dilakukan melalui ragam program yang menyikapi perubahan iklim, mendukung ketahanan pangan, akses ke air bersih, dan pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Dengan demikian, komunitas tidak perlu berpindah ke daerah lain dan dapat terus menggunakan bahasa mereka sehari-hari.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com