Spirit Bumi dalam Harum Dupa

Dupa memberikan pembelajaran bahwa keberlanjutan tidak hanya muncul dalam kebijakan dan konferensi. Karena sesungguhnya, harum yang baik adalah harum yang merawat ingatan, memulihkan, dan tetap berpihak pada alam.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Incense, atau dupa, adalah campuran bahan aromatik alami, seperti kayu, resin, rempah, bunga, dan minyak esensial, yang ketika dibakar menghasilkan asap beraroma.

Bagi banyak orang, dupa hanyalah kepulan harum yang perlahan hilang ke udara. Namun dalam banyak budaya, dupa dan wewangian digunakan untuk menciptakan suasana yang tenang, suci, dan spiritual. Penggunaan dupa dapat membantu meningkatkan kesadaran, menenangkan pikiran, dan menciptakan hubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar.

Di Jepang, koh digunakan dalam meditasi Zen, menghadirkan ketenangan yang terukur melalui ritual kōdō, seni menghargai wewangian. Di India, agarbatti menyertai do­a harian di rumah dan kuil, sementara di Tiongkok, batang dupa ditempatkan pada altar leluhur sebagai penghormatan lintas generasi. Di Timur Tengah, pembakaran dupa berakar pada tradisi menyambut tamu dengan harum kayu-kayuan yang hangat.

Di Bali, canang sari merupakan sesaji persembahan harian yang terbuat dari anyaman janur dan berisi bunga, serta dupa, sebagai wujud rasa syukur dan permohonan kedamaian.

Ketika saya mengikuti incense making workshop di Seminyak, harum bukan sekadar aroma melainkan juga narasi budaya. Pemandu workshop, Fauzia Qurani, memiliki pengalaman luas, bahkan mempelajari pembuatan dupa hingga ke Tiongkok, menegaskan bahwa tradisi ini memuat pengetahuan botani, sejarah perdagangan rempah, hingga spiritualitas.

Workshop diadakan di farm(acy), sebuah ruangan penuh bahan botani yang dikurasi rapi dalam wadah bening dan ditempatkan di sejumlah rak yang diterangi cahaya.

Bagi saya pengalaman ini menjadi pertemuan tiga dimensi: indra, memori, dan ekologi. Di hadapan saya tersaji bahan-bahan alami. Tidak ada plastik atau zat kimia berlebih, hanya bubuk kayu, rempah, dan minyak atsiri serta lembar resep, mortar, pestel, spatula dan sendok kecil. Teh herbal hangat digunakan untuk menyatukan adonan.

Campuran dasarnya menggunakan bubuk pohon elm yaitu serbuk kayu yang berperan sebagai binding agent, dan tepung tapioka, perekat nabati yang membantu adonan menyatu. Keduanya adalah contoh kecil bagaimana bahan alami mendukung kerajinan tradisional tanpa meninggalkan residu sintetik.

Lalu ada rempah dalam bentuk bubuk: serai, kayu manis, kencur, bengle, dan kayu secang. Serai memberikan kesegaran sitrus, kayu manis memunculkan kehangatan akrab, kencur dan bengle menghadirkan karakter rimpang yang membumi, sementara kayu secang menambahkan rona merah.

Untuk memperkaya pengalaman sensorik, digunakan essential oil pinus, cedar, dan patchouli (nilam). Ketiganya membawa nuansa hutan: kayu basah, tanah lembap, dan memori kayu lama.

Saat menguleni adonan yang dihaluskan dengan teh herbal, tangan say perlahan menyerap keheningan. Batang dupa harus ramping, tekanan rata, dan permukaan halus. Praktik ini berubah menjadi meditasi kecil. Tidak ada interupsi, hanya harum rempah dan napas. Proses sederhana seperti ini semakin jarang dalam kehidupan modern.

Dari sudut pandang keberlanjutan, dupa alami mengajarkan kesadaran rantai pasok: siapa petaninya, dari mana rempahnya, bagaimana hutan rakyat dijaga? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun ke diskusi agroforestri, regenerasi tanah, dan ekonomi kreatif berbasis tumbuhan.

Bagi saya, aroma adalah pemantik ingatan. Harum mampu menautkan pengalaman personal: masa kecil, dapur keluarga, bahkan perjalanan spiritual. Dupa lalu bukan sekadar benda bakar; ia menjadi arsip indrawi.

Ketika beberapa hari kemudian batang dupa yang saya buat akhirnya mengering dan dibakar, harumnya mengalun pelan. Ada kehangatan yang menjalar, ada kesunyian yang menyentuh, ada pesan yang halus: alam menyediakan, manusia memaknai. Di tengah krisis iklim, kita dapat belajar dari dupa, membakar perlahan, memberi keteduhan, dan menghilang tanpa meninggalkan sampah.

Pada akhirnya, dupa memberikan pembelajaran bahwa keberlanjutan tidak hanya muncul dalam kebijakan dan konferensi. Karena sesungguhnya, harum yang baik adalah harum yang merawat ingatan, memulihkan, dan tetap berpihak pada alam.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]