Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) terbukti gagal menciptakan lapangan kerja. UU yang disahkan pada Senin 5 Oktober 2020 itu justru membuat tenaga kerja yang ada tidak terserap secara optimal. UU Ciptaker malah menjadi hambatan utama dalam penyerapan tenaga kerja, terutama di sektor formal.
Penilaian tersebut disampaikan pengamat ekonomi Bhima Yudhistira saat memberikan komentar yang dikutip dari Tempo pada Senin 23 September 2024. Bhima mengatakan hak-hak pekerja juga banyak yang dipangkas dengan adanya kebijakan dalam Omnibus Law. Begitu pula dengan izin-izin lingkungan.
“Cipta Kerja ini bukannya mendorong kesempatan kerja lebih banyak, justru mempersempit lapangan kerja baru,” katanya.
Bhima menerangkan seharusnya dengan paradigma liberal dianut UU Ciptaker, ada banyak investasi masuk dan membuka lapangan kerja. Namun yang terjadi investasi yang masuk sedikit. Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga yang kedatangan investor baru berkualitas.
“Indonesia juga makin kalah bersaing dengan Vietnam, dengan Malaysia, dengan Thailand dalam menyerap tenaga kerja dan menarik investasi yang lebih berkualitas. Jadi, Cipta Kerja ini justru menjadi hambatan,” ujarnya.
Bhima menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya menebar janji-janji politik. Bapak kandung Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka itu malah mencoba lari dari tanggungjawab dengan menyalahkan Artificial Intelligence (AI) dan transformasi digital atas gagalnya UU Ciptaker membuka lebih banyak lapangan kerja.
“Mengalihkan bahwa ini persoalan transformasi digital, adanya AI, dan lain-lain. Tapi tidak menyebutkan secara spesifik bahwa ini bagian dari kegagalan kebijakannya, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja,” ucap ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) ini.
Sebelumnya Presiden Jokowi menyatakan 85 juta pekerja di Indonesia berpotensi menjadi pengangguran akibat terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mungkin terjadi pada 2025.
Hal itu disampaikan Jokowi saat menghadiri Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Hotel Alila, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, Kamis 19 September 2024. Jokowi mengatakan kondisi tersebut berlawanan dengan semangat pemerintah menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya guna menyambut bonus demografi 2030.
Jokowi menyebut, perlambatan ekonomi global menjadi penyebab utama badai PHK yang melanda tanah air. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menerangkan pada 2023 ekonomi global tumbuh sebesar 2,7 persen. Namun pada 2024 turun menjadi 2,6 persen.
"Tahun depan dari world bank diperkirakan naik sedikit 2,7. Tapi masih jauh dari yang diharapkan oleh semua negara. Kita bisa tumbuh di 5,1 ini menjadi hal yang patut kita syukuri, karena ekonomi global hanya tumbuh 2,6 2,7," katanya.
Jokowi mengungkapkan akibat perlambatan ekonomi global bank sentral di setiap negara memperketat kebijakan moneternya. Tidak hanya Indonesia, negara maju seperti Inggris pun masuk dalam jurang resesi.
"Artinya apa kalau kebijakan moneter direm, artinya industri pasti akan turun produksinya, otomatis. Perdagangan global juga akan turun apostasy. Kita tahu 96 negara sudah menjadi pasiennya IMF, ini sebuah angka yang menurut saya sangat mengerikan," ucapnya.
Faktor kedua yang menyebabkan perlambatan ekonomi global adalah otomasi di berbagai sektor kerja yang semakin meningkat, seperti munculnya Artificial Intelligence (AI) atau otomasi analitik. Setiap harinya, dunia teknologi terus memunculkan hal-hal yang baru, yang bisa menggerus lapangan pekerjaan.
"Semua sekarang ini masuk ke sana semuanya, ke otomasi semuanya. Awal kita hanya otomasi mekanik, kemudian muncul AI, muncul otomasi analitik. Setiap hari muncul hal-hal yang baru, dan kalau kita baca 2025, pekerjaan yang akan hilang itu ada 85 juta, sebuah jumlah yang tidak kecil," ucap Jokowi.
Faktor ketiga menurut bapak kandung Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka ini adalah gig ekonomi. Pemerintah mencium banyak perusahaan yang lebih memilih pekerja freelance, untuk mengurangi risiko. Gig ekonomi atau ekonomi serabutan adalah sistem ekonomi ketika sekelompok orang melakukan pekerjaan lepas dan pekerjaan sampingan.
"Hati-hati dengan ini, ekonomi serabutan, ekonomi paruh waktu. Kalau tidak dikelola dengan baik, ini akan menjadi tren. Perusahaan akan memilih pekerja independen, yang freelance, dan kontrak jangka pendek untuk mengurangi resiko ketidakpastian global yang terjadi. Kita lihat trennya sedang menuju ke sana," kata Jokowi.