Korupsi Berjamaah di Era Reformasi

Opini Bebas

Jelang Pilpres 2024 ini, kasus korupsi makin marak terungkap, baik yang individual maupun berjamaah. Ada yang tersingkap karena proses hukum yang berjalan efektif, ada pula yang “diungkap” karena faktor justice collaborator.

Satu di antaranya adalah kasus “korupsi berjamaah” menara BTS (Base Transceiver Station) Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.

Beberapa nama pengusaha, politisi/elite-partai telah ditersangkakan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi Menara BTS Kominfo, dan kemungkinan besar tersangkanya akan bertambah lagi. Mari awasi bersama.

Korupsi berjamaah bila diartikan secara bebas adalah tindakan penjarahan kekayaan negara (APBN) yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak yang memiliki peran, kewenangan, dan akses dalam menentukan keputusan, kebijakan, dan kontrak proyek-proyek negara.

Kita berharap korupsi berjamaan akan “lenyap” di era Reformasi, namun ternyata sebaliknya: makin ganas dan canggih. Bahkan sangat tenang di permukaan. Nyaris tak terdengar. Padahal proses di bawah permukaan sangat “keras” dan saling sandera.

Salah satu buah reformasi, serta amandemen UUD45, adalah lahirnya State Auxiliary Bodies yaitu pengembangan lembaga-lembaga kenegaraan untuk mempercepat agenda-agenda reformasi, seperti: KPK, Ombudsman, dan lain-lain.

Tugasnya menjalankan fungsi check and balances mechanism, yaitu terjadinya mekanisme saling-uji dalam kesetaraan dalam pengelolaan keuangan negara (APBN). Kesetaraan adalah moralitas yang diperlukan dalam sistem ketatanegaraan agar penegakan hukum bisa efektif, tidak tebang-pilih.

Lantas apa hubungannya korupsi berjamaan dengan State Auxiliary Bodies dan Check and Balances? Bagaimana mengukur efektivitasnya dalam menyukseskan agenda reformasi yang berpihak kepada kesejahteraan, kemakmuran, dan kedaulatan Rakyat (rakyat dengan “R” besar). Bukan semata untuk kesenangan dan kepuasan kaum oligarki.

Faktor yang tak bisa diabaikan dari ketiga variabel di atas adalah pelaku birokrasi, pelaku politik dan ekonomi, atau tapatnya faktor “orang”-nya. Percuma semua konsep-konsep modern dan canggih-canggih itu di-“implant” (dimasukan) ke dalam sistem ketatanegaraan kita tanpa disertai moralitas pelakunya.

Dalam kasus Menara BTS Kominfo, para tersangkanya bahkan “mengumpulkan” uang sejumlah Rp243 miliar untuk menutupi penyelidikan korupsinya di Kejaksaan Agung (Laporan Utama Tempo, 25 Juni 2023).

Di sinilah letak keganasan dari kasus korupsi berjamaah Menara BTS Kominfo tersebut. Senyap, tak berisik di permukaan, namun masif dalam operasionalisasi. Inilah modus korupsi yang memalukan, karena nir-moralitas. Persis perilaku mafia: menyuap aparat hukum untuk menutupi kasus!

Di sisi lain, banyak pihak pun mulai menyangsikan fungsi KPK saat ini. Peranannya mulai “melapuk” dan integritasnya dianggap merosot. Mungkin akibat KPK telah ditempatkan sebagai bagian dari lembaga “eksekutif” dalam fungsi pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19/2019, sebagai hasil revisi UU KPK Nomor 30/2002.

Dalam kerangka “big-pictures”, hal tersebut diatas bisa dipahami bahwa bila sistem (pemberantasan korupsi) melemah, maka kebobrokan dan korupsi berjamaah akan merajalela. Ini seperti ‘Yin’ dan ‘Yang’: jika kebaikan melemah maka kejahatan merajalela. Seolah tak terdapat ruang “penyanggah” untuk bernegosiasi.

Blocking-nya mengarah pada situasi ‘vis a vis’: di sana kubu koruptor (berjamaah), sementara dipihak sini adalah sistem penyelenggaraan negara yang bersih, reformatif, dan bermartabat (clean and good governance).

Dalam konteks berfikir dialektika, kondisi diatas akan disertai kemunculan kekuasaan politik yang kian dominan, sebagai sintesa baru, dengan hadirnya “state-actors” atau pelaku politik yang kian ‘bertaji’ dan memiliki penguasaan politik yang massif. Semacam negara dalam bayangan penguasaan kaum oligarkis.

Pada era Orde Baru, kondisi ini disebut gejala otoritarian-state, yaitu eksistensi pemerintahan yang otoriter dan cenderung represif. Pada saat yang sama, otoritarian-state melumpuhkan mekanisme “demokrasi substantif”. Demokrasi berbasis kedaulatan rakyat. Yang berlaku adalah demokrasi yang penuh rekayasa, terutama nampak dalam proses dan hasil pemilihan umumnya di berbagai jenjang.

Orde Baru pun akhirnya ditumbangkan oleh gerakan reformasi akibat perilaku korupsi sistemiknya itu sendiri yang membusuk (political decay). Korupsi sistemik lebih parah dari korupsi berjamaah. Korupsi sistemik terjadi karena sistem dan regulasinya membuka ruang korupsi. Iklimnya kondusif untuk merampok uang negara (APBN).

Sedangkan korupsi berjamaah berbeda, karena ia merupakan penyimpangan (deviasi) dalam sistem yang memiliki check and balances dan regulasi anti korupsi yang kuat.

Namun, akibat pelaku birokrasi (walau tidak semua, karena masih banyak elite birokrasi yang menolak korupsi berjamaah) yang nir-moralitas ketatanegaraan, sehingga sistem yang dilengkapi dengan UU dan regulasi anti korupsi sekalipun akan “marak” dengan korupsi berjamaah.

Hal demikian terjadi antara lain akibat merosotnya moralitas ketatanegaraan para petinggi K/L dan elite politik-pengusaha yang abai terhadap kode etik bernegara dan etika usaha. Dulu disebut KKN.

Meski kita harus tetap optimis karena masih lumayan banyak pengusaha dan elite-birokrasi yang berkomitmen menegakkan etika usaha dan moralitas ketatanegaraan di tengah maraknya korupsi berjamaah. Bukankah lebih baik menyalakan lilin di tengah kegelapan, daripada mengutuki kegelapan itu sendiri!.

Penulis
Pemerhati Ekologi-Politik/Wakil Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis/GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com