Mempertahankan Jalan Demokrasi Kita

Mempertahankan demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat adalah pekerjaan politik penting dan patut dikedepankan kembali, khususnya pada pasca Pilpres 2024 ini, yang ternyata menyimpan sekian pertanyaan dan "keraguan" publik akan hasilnya.

Mempertahankan demokrasi bukanlah sekadar ide, gagasan, atau rencana politik semata, melainkan suatu sikap dan tindakan politis dan, sekaligus moral. Sebagaimana diingatkan Bung Hatta (Drs. Mohammad Hatta/Proklamator) secara tajam melalui buku Demokrasi Kita, bahwa "bagi sebagian golongan, menjadi partai yang memerintah berarti "berbagi rezeki" bagi golongan sendiri, dan melupakan masyarakat." 

Tak bisa dipungkiri akhir-akhir ini, bahkan sejak demokrasi pemilihan langsung diterapkan, terjadi fenomena dalam penyusunan kabinet, bahwa seorang menteri memperoleh tugas dari partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberi keuntungan bagi partai atau golongannya. Semisal, dalam hal menempatkan komisaris BUMN, atau jabatan publik, seringkali keanggotaan partai menjadi ukuran, dan bukan lagi atas dasar prinsip the right man in the right place dan/atau merit-system

Merit system merupakan salah satu pakem dalam manajemen sumber daya manusia/SDM yang menjadikan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja seseorang sebagai pertimbangan utama dalam perekrutan pejabat. Awalnya, merit system merupakan pakem manajemen sektor swasta/korporat yang lama kelamaan dipakai juga pada sektor publik, termasuk di kementrian/lembaga (K/L) dan BUMN. 

Baru-baru kita dikejutkan fakta yang ramai disoroti masyarakat, adanya rangkap jabatan seorang anggota DPR terpilih yang diangkat sebagai Komisaris Utama BUMN (PT Pupuk Sriwijaya). Bagaimana bisa seorang legislator yang seharusnya mengawasi BUMN, malah diangkat menjadi Komisaris Utama suatu BUMN yang seharusnya turut diawasi oleh legislatif, melalui Kementerian BUMN? Bukankah, fenomena "unik" tersebut dapat merusak nalar demokrasi kita (baca: publik) seperti yang disitir bung Hatta sebagai fenomena "partai yang memerintah yang berbagi rejeki kepada golongannya?" Lantas, bagaimana dan di mana nasib kepentingan publik/bangsa ditempatkan dalam kondisi rangkap jabatan semacam itu? 

UU nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 236 ayat 1 poin c menegaskan bahwa anggota DPR dilarang rangkap jabatan, karena dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan. Lain soal bila itu sektor privat atau swasta. Tak ada masalah. Tak ada UU yang ditabrak. 

Di sinilah, upaya mempertahankan demokrasi sebagaimana pesan bung Hatta adalah masih sangat dan selalu relevan. Karena sepanjang ada kekuasaan politik, dan yang diperoleh atau didapatkan dengan jalan politik melalui mekanisme pemilihan umum, maka mempertahankan nilai-nilai dan kaidah demokrasi pun tetap perlu dikedepankan. Tidak ada kata kedaluwarsa untuk mempertahankan nilai dan kaidah demokrasi. 

Acap kali digaungkan slogan-slogan pembagian generasi "M-Z-Y-dst-dst", seakan ada perbedaan makna antar setiap generasi dalam memaknai sistem dan perilaku demokratis. Demokrasi adalah demokrasi, yang bermakna kekuasaan/kedaulatan ditangan rakyat. Tanpa membedakan dari faktor usia. Parameternya adalah hak-pilih seseorang.

Mempertahankan demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat adalah pekerjaan politik penting dan patut dikedepankan kembali, khususnya pada pasca Pilpres 2024 ini, yang ternyata menyimpan sekian pertanyaan dan "keraguan" publik akan proses, otomatis juga hasilnya. Mungkinkah hasil Pilpres 2024 tersebut menjadi "preseden buruk" bagi tahta kedaulatan rakyat di masa mendatang? Semoga tidak terjadi. Kita tetap harus optimis. 

Penulis
Pemerhati Ekologi-Politik/Wakil Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis/GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com