Mahkamah Agung (MA) menegaskan tidak ada aksi mogok kerja masal para hakim. MA mengatakan yang terjadi adalah para hakim mengambil cuti berbarengan di hari yang sama.
"Bukan cuti bersama, bukan pula mogok, melainkan cuti yang tanggalnya secara berbarengan," ujar Juru Bicara MA Suharto.
Saat menerima audiensi forum Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) di Gedung MA, Jakarta, Senin 7 Oktober 2024, Suharto menjelaskan cuti bersama bisa diambil secara berbarengan berdasarkan ketentuan pimpinan MA. Menurutnya cuti berbarengan yang diambil para hakim berbeda dengan cuti bersama pekerja atau karyawan yang diatur pemerintah.
"Kalau para hakim ini atau kawan-kawan SHI ini bukan cuti bersama, mereka menggunakan hak cutinya secara berbarengan. Kalau tanggalnya, mereka yang pilih," kata Suharto.
Wakil Ketua Bidang Nonyudisial MA ini menuturkan cuti berbarengan tidak masalah selama tidak mengganggu jalannya persidangan di pengadilan. Menurut Suharto, hakim telah memahami mana hal yang harus didahulukan.
"Sepanjang diambil tidak ganggu jalannya persidangan, enggak ada masalah," kata Suharto.
Pada audiensi tersebut, turut hadir Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Sunarto, Wakil Ketua Komisi Yudisial Siti Nurdjanah, Juru Bicara Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata, dan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata.
Hadir pula Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Yasardin, dan perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sebelumnya, para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menyatakan bakal melakukan Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia pada 7–11 Oktober 2024.
Juru Bicara SHI Fauzan Arrasyid dalam keterangan tertulisnya, Kamis 26 September 2024 mengatakan Gerakan Cuti Bersama dilakukan sebagai perwujudan komitmen para hakim untuk memperjuangkan kesejahteraan, independensi, dan kehormatan lembaga peradilan di Indonesia.
Fauzan menjelaskan pemerintah tidak mampu memberikan kesejahteraan yang memadai kepada para hakim. Hal ini menurut Fauzan merupakan langkah mundur dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan.
Fauzan menuturkan, dengan penghasilan yang kurang memadai selama ini, para hakim jadi rentan terhadap praktik korupsi. Fauzan menegaskan para hakim membutuhkan penghasilan yang memadai untuk mencukupi keputuhan hidup sehari-hari.
"Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari," ucapnya.
Fauzan menjelaskan SHI meminta kenaikan tunjangan jabatan sebesar 142 persen. Tuntutan itu dinilai wajar lantaran tunjangan yang diterima para hakim tidak pernah naik sejak 2012 atau selama 12 tahun akibat Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah MA belum direvisi.
"Tuntutan kami adalah tunjangan jabatan 142 persen dari tunjangan hakim pada tahun 2012. Saya kira angka ini menjadi angka yang wajar, mengingat 12 tahun tidak ada perubahan," ucapnya.
Fauzan menjelaskan Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia juga bertujuan menyuarakan aspirasi para hakim dan mengingatkan pemerintah bahwa tanpa jaminan kesejahteraan yang layak, penegakan hukum akan kehilangan wibawa dan keadilan hakiki.