Setiap perjalanan membuka perspektif baru. Frankfurt, yang dikenal sebagai pusat keuangan Eropa sekaligus gerbang utama menuju benua ini, menyuguhkan kontras yang menarik: denyut ekonomi global berdampingan dengan ruang hijau, aliran sungai, dan jejak sejarah yang masih terasa.
Bandara Frankfurt termasuk salah satu yang tersibuk di dunia. Sejak mendarat, terasa betapa kota ini terbiasa dengan lalu lintas manusia dari berbagai negara. Di balik keramaian terminal dan papan elektronik yang terus berganti, ada kenyataan lain yang tak bisa diabaikan: jejak karbon dari industri penerbangan yang menjadi sorotan global. Frankfurt berusaha menyeimbangkan peran strategisnya sebagai simpul mobilitas internasional dengan agenda keberlanjutan. Sebuah dilema yang juga dihadapi oleh banyak kota besar di dunia.
Menginap di pusat kota tua, hanya beberapa langkah dari Römerberg Square, memungkinkan saya menjelajahi banyak tempat dengan berjalan kaki. Bangunan bersejarah, hingga Goetheplatz bisa ditempuh tanpa kendaraan. Tata ruang yang memudahkan mobilitas pejalan kaki seperti ini tidak hanya memberikan kenyamanan bagi pengunjung, tetapi juga mencerminkan pendekatan kota terhadap mobilitas rendah emisi.
Frankfurt dibelah oleh Sungai Main yang mengalir tenang. Di tepiannya, jalur pedestrian dan sepeda membentang rapi dan nyaman. Warga memanfaatkannya untuk berjalan, berlari, bersepeda, atau sekadar duduk menikmati semilir angin dan lalu-lalang kapal kecil. Sungai ini bukan hanya lanskap visual, tetapi juga ruang hidup bagi warga kota. Namun air yang tampak damai ini tetap mengingatkan bahwa alam memiliki kerentanan. Di Indonesia, sungai-sungai menghadapi tekanan dari alih fungsi lahan dan pencemaran. Di Eropa, tantangan datang dari naiknya suhu yang memengaruhi debit air dan keseimbangan ekosistem. Sungai Main, yang terlihat tenang, tidak kebal terhadap dampak krisis iklim.
Römerberg menghadirkan suasana abad pertengahan. Bangunan-bangunan berwarna pastel, jendela-jendela kecil, dan atap-atap runcing memelihara sejarah kota. Namun hanya beberapa langkah dari sana, gedung-gedung pencakar langit menjulang—ikon Frankfurt sebagai pusat finansial yang dijuluki “Mainhattan.” Kontras ini terasa menarik. Warisan sejarah, modernitas, dan ruang hijau bisa hadir berdampingan. Dari sela-sela gedung tinggi, pandangan masih bisa bertemu dengan taman, pohon, dan jalur hijau yang tersebar merata. Sebuah pelajaran bagi kota-kota besar lain yang sering terjebak antara ambisi ekonomi, pelestarian budaya, dan tuntutan lingkungan.
Apakah Frankfurt benar-benar hijau? Pertanyaan ini wajar muncul. Sebagai pusat keuangan, kota ini menghadapi tantangan nyata: lalu lintas padat, konsumsi energi tinggi, dan emisi dari aktivitas global. Namun upaya konkret juga terasa. Ada taman-taman kota yang menjadi paru-paru hijau, jaringan transportasi publik yang terintegrasi, dan pembangunan gedung-gedung hemat energi sebagai bagian dari target netral karbon di masa depan.
Juga terasa adalah adanya kesadaran akan keberlanjutan. Banyak toko memajang produk ramah lingkungan, kafe menyajikan menu vegetarian, dan gerai-gerai kecil menyediakan tempat isi ulang air minum. Ada toko-toko yang menawarkan busana dan perabot rumah berbahan alami, dibuat tanpa bahan kimia berbahaya, dengan konsep perdagangan yang adil dan desain yang tahan lama. Tanpa teriak, tanpa slogan, tapi ada pesan yang disampaikan: bahwa hidup bisa dijalani dengan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan. Kesadaran ini tidak datang dari narasi besar, tetapi dari pilihan sehari-hari yang dijalankan dengan konsisten.
Ruang publik pun dirancang untuk bisa diakses dan dinikmati semua kalangan. Menyebut Frankfurt hijau bukan berarti mengabaikan kekurangannya, melainkan mengakui adanya kesadaran kolektif untuk terus bergerak ke arah yang lebih baik.
Frankfurt bukan kota sempurna, tetapi memberi arah. Di tengah krisis iklim, hubungan manusia dengan lingkungan perkotaan perlu dihidupkan kembali. Gedung tinggi dan jalan sibuk tidak harus menyingkirkan ruang hijau dan suara air. Ini menjadi pengingat bahwa keberlanjutan dimulai dari hal sederhana seperti berjalan kaki, menggunakan transportasi publik, atau sekadar duduk di taman kota.