Ketika mengunjungi Natur-Park Südgelände di distrik Schöneberg, Kota Berlin, saya melihat bagaimana gagasan rewilding benar-benar diwujudkan dalam lanskap perkotaan.
Rewilding adalah upaya mengembalikan alam agar dapat memulihkan dirinya sendiri dengan memulihkan ekosistem, mengembalikan spesies asli, dan memberi ruang bagi proses alami berjalan. Tujuannya menjaga keanekaragaman hayati, menyeimbangkan iklim, serta membangun hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan.
Tadinya, kawasan Südgelände adalah depo besar kereta api, lengkap dengan jalur rel, lokomotif, dan bangunan perawatan. Setelah perang dunia, aktivitas berhenti dan tempat itu terbengkalai. Namun, waktu justru menghadirkan kejutan: rerumputan tumbuh di sela rel, pepohonan muncul di atas tanah berbatu, burung dan serangga kembali bersuara. Alam mengambil alih bekas ruang industri tanpa diminta.
Alih-alih meratakan dan membangun ulang, pemerintah kota bersama lembaga pengelola Grün Berlin GmbH menjadikannya taman luas. Di sini, rel berkarat dan menara air dibiarkan berdiri, bukan sebagai puing usang, melainkan sebagai bagian dari lanskap. Alam, sejarah, dan seni dipertemukan. Patung-patung logam kontemporer menghiasi jalur setapak, papan informasi menjelaskan flora-fauna yang tumbuh, sementara anak-anak berlarian di antara rumput liar.
Ada pameran Bahnbrechende Natur yang memperlihatkan bagaimana kehidupan baru lahir di atas rel-rel tua. Semua ini menjadikan Südgelände bukan sekadar taman kota, melainkan laboratorium rewilding di perkotaan.
Bekas jalur kereta seluas 18 hektar membentang 1,7 km dengan lebar hingga 170 m, memadukan peninggalan industri dengan hutan kota. Taman ini memiliki dua jalur melingkar ramah difabel—termasuk Great Circuit sepanjang 2,7 km dan rute lebih pendek sejauh 1 km—serta mencakup zona konservasi alam seluas 3,9 hektar yang melindungi lapangan terbuka di tengah dan hutan sekitarnya. Kini, kawasan tersebut menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati dengan lebih dari 350 spesies tumbuhan, 30 spesies burung, 95 spesies lebah liar, 57 spesies laba-laba, 15 spesies belalang, dan 49 spesies jamur, termasuk beberapa yang langka dan terancam punah.
Berjalan di sana, saya merenungkan bagaimana pendekatan seperti ini juga bisa diperkaya dengan pengalaman Indonesia. Kita memiliki kekayaan alam dan masyarakat yang sudah akrab dengan praktik serupa—walaupun istilahnya mungkin berbeda.
Di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, kawasan savana yang sempat tertekan oleh spesies invasif dipulihkan kembali dengan menumbuhkan vegetasi asli dan melepas satwa liar untuk mengisi habitatnya. Di Sulawesi Utara, program rehabilitasi mangrove memungkinkan ekosistem pulih hampir secara alami, menghadirkan habitat baru bagi burung, ikan, dan kepiting. Di Muara Angke, Jakarta Utara, lahan bekas tambak kini menjadi hutan rawa yang menjadi rumah bagi burung-burung migran. Bahkan di perkotaan, sejumlah hutan kota dan taman alami mulai bermunculan, memberi ruang bagi pohon dan satwa untuk tumbuh di tengah hiruk pikuk kota.
Selain itu, Indonesia juga memiliki praktik tradisional yang sejalan dengan gagasan rewilding. Misalnya, talun di Jawa Barat, yaitu sistem penggunaan lahan tradisional yang memadukan unsur pertanian, kehutanan, dan siklus ekologis. Praktik ini menunjukkan cara masyarakat lokal menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan daya pulih alam.
Komunitas adat di Kalimantan dan Papua mengenal praktik ladang berpindah yang memberi waktu bagi hutan untuk beristirahat dan tumbuh kembali. Bagi mereka, membiarkan alam pulih adalah bagian dari siklus kehidupan yang berkelanjutan. Pandangan ini selaras dengan semangat rewilding modern yang menghargai daya pulih alami ekosistem.
Contoh-contoh tersebut memperlihatkan bahwa rewilding bukan hanya gagasan dari luar
negeri, tetapi sudah lama hidup di bumi Indonesia dengan wajah yang berbeda. Kita hanya perlu mengenali, memperkuat, dan merayakan warisan ini.
Kunjungan saya ke Südgelände meneguhkan keyakinan bahwa memberi ruang bagi alam adalah langkah maju, baik di Jerman maupun di Indonesia. Alam tidak selalu membutuhkan rancangan rumit; sering kali yang dibutuhkan hanyalah kesediaan kita untuk memberi ruang.