Presiden pertama Indonesia, Bung Karno berkata: "BERDIKARI DALAM EKONOMI. Apa yang lebih kokoh daripada ini, saudara-saudara? Seperti kukatakan di depan MPRS tempo hari, kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah di tangan kita dan menggunakan semaksimal-maksimalnya. Pepatah lama "ayam mati di lumbung padi" harus kita akhiri, sekali dan buat selama-lamanya. Kita memiliki segala syarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah sandang-pangan kita. Barang siapa merintangi pemecahan ini, dia harus dihadapkan ke depan mahkamah rakyat dan sejarah. Alam kita kaya raya, rakyat kita rajin, tetapi selama ini hasil keringatnya dimakan oleh tuan-tuan tanah, tengkulak-tengkulak, lintah-lintah darat, tukang-tukang ijon dan setan-satan desa lainnya." (Pidato berjudul Tahun Berdikari)
Pidato itu menyadarkan bahwa sebenarnya kita (bangsa Indonesia) memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat besar untuk memakmurkan rakyat dan negara. Melalui pidato "Tahun Berdikari" (1965) yang sangat berkaitan dengan pidato tahun sebelumnya yakni "Tahun Vivere Percoloso"/Tri Sakti (1964). Dari kedua pidato tersebut Bung Karno menjelaskan konsep "Ekonomi Berdikari".
Pada pidato "Tahun Vivere Pericoloso" ini, Bung Karno menyampaikan konsep Tri Sakti : berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Apa yang disampaikan oleh Bung Karno ini bukan sekadar konsep, tetapi merupakan prinsip yang saling berkelindan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sebuah negara tidak akan mampu berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan jika tidak berkedaulatan dalam politik. Demikian pula sebaliknya, tanpa berdikari dalam ekonomi mustahils sebuah negara dapat mewujudkan kedaulatan politik dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Konsep "Berdikari dalam bidang ekonomi" ini sering disalahpahami bahwa negara menolak adanya investasi asing, atau bahkan melakukan praktik ekonomi protektisionisme, yakni kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antar negara demi melindungi produksi dalam negeri.
Padahal, konsep berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerjasama yang sama derajat dan saling menguntungkan. Jadi jelas bahwa berdikari tidak sama dengan proteksionisme. Berdikari adalah praktik ekonomi / perdagangan yang setara dan saling menguntungkan.
Karena kesalahpahaman inilah maka kajian mengenai konsep berdikari dalam bidang ekonomi tidak dilakukan secara mendalam dan tidak didetailkan sebagai konsep operasional. Ketiadaan kajian akademis dan operasionalisasi konsep Berdikari dalam bidang ekonomi —yang walaupun sudah mempunyai landasan hukum berupa ketetapan MPRS nomor VI/MPRS/1965— membuat berhenti hanya sebagai jargon pelengkap Tri Sakti. Pelaksanaan perekonomian Indonesia saat ini terlihat menghamba dan tergantung pada sistim kapitalisme dan liberalisme. Cita-cita kerjasama ekonomi yang setara dan saling menguntungkan tidak lagi terlihat.
Kebijakan ekonomi nasional kita sampai saat ini hanya menjual comparative advantage. Tentunya hal ini menggelisahkan kita. Apalagi perkembangan ekonomi saat ini sedang menuju jurang resesi yang perlu segera diantisipasi. Kebijakan “menjual” comparative advantage harus diganti dengan menjual competitive advantage yang artinya kita harus merubah ekosistem perekenomian Indonesia dengan segala turunannya mulai dari infrastruktur hingga suprastrukturnya.
Dalam berbagai pertemuan, Calon Presiden Ganjar Pranowo menyampaikan bahwa Indonesia harus berdikari. Konsepsi Tri Sakti dengan segala turunannya diyakini menjadi solusi yang dapat menghantarkan Indonesia menjadi negara maju. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, Pendidikan vokasi, Badan Riset dan Inovasi, dan penugasan ke berbagai perguruan tinggi mendalami spesialisasi bidang ilmu tertentu menjadi materi pidato Ganjar yang intinya mendorong kemandirian bangsa.
Ganjar meyakini prinsip berdikari seperti halnya Bung Karno yang menyatakan hal tersebut pada pidato Nawaksara, 22 Juni 1966 sebagai berikut: Terutama prinsip Berdikari di Bidang Ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa percaya pada kekuatan diri sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari.
Keyakinan Ganjar terhadap konsepsi Ekonomi Berdikari tentunya memerlukan tafsir sesuai konteks zaman. Landscafe perekonomian global sudah berubah sedemikian rupa. Beberapa negara yang awalnya menggunakan sistem sosialisme, berubah mengadopsi sistem kapitalisme dalam mengelola perekonomiannya. Demikian sebaliknya. Fenomena ekonomi campuran sangat nampak dipraktikkan di banyak negara. RRC misalnya, walau sistem politiknya masih sistem komunis, tetapi sistem ekonominya sudah (sebagian) menggunakan sistem kapitalisme.
Selain itu juga, ketegangan politik tidak lagi mempengaruhi relasi ekonomi antar negara. Walaupun RRC dan Taiwan masih berkonflik secara politik, kerjasama perdagangan mereka semakin lama semakin kuat. Perubahan landscape perekonomian itu suka tidak suka harus disikapi. Dan Ganjar menyikapinya dengan konsepsi Ekonomi Berdikari.
Bung Karno pernah mengemukakan filsafat ekonominya: "Heaven storming revolutionary spirit, combined with down to earth handling of problems as they arise”. Soal ekonomi menurutnya, bukanlah soal administrasi, akuntasi dan birokrasi, melainkan soal orientasi atau soal arah dalam satu sikap yang revolusioner. Berdikari ekonomi adalah penegasan posisi negara di bidang ekonomi. Negara sebagai penjelmaan masyarakat diharapkan menguasai seluruh perangkat ekonomi yang mendatangkan pendapatan bagi negara. Tapi keinginan Bung Karno tidak bisa direalisasikan karena tajamnya konflik politik saat itu.
Tentunya kondisinya berbeda dengan saat ini, di mana politik relatif lebih stabil. Konflik politik tidak lagi setajam saat itu. Apalagi jika Ganjar berhasil memenangkan Pemilu Presiden 2024 yang artinya akan mendapatkan legitimasi politik sehingga konsepsi Ekonomi Berdikari bisa diterapkan sesuai dengan tafsir zamannya.
Tantangannya adalah Perekonomian Indonesia sudah terlanjur bersistem kapitalis yang berkelindan dengan sistem liberalis semu. Kebijakan perekonomian terlanjur memberi “karpet merah” pada investasi (modal) asing, sehingga bila terjadi perubahan pada sistem ekonomi maka akan mudah sekali investasi asing itu terbang. Ganjar perlu belajar dari kasus gagalnya Ekonomi Terpimpin.
Ekonomi terpimpin adalah ekonomi nasional yang akan diciptakan di Indonesia di mana intinya adalah: 1) Perekonomian yang beragam dan stabil, yang berarti ditiadakannya ketergantungan pada yang besar kepada sektor bahan mentah. 2) Suatu perekonomian yang sudah berkembang dan makmur atau pembangunan ekonomi. 3) Suatu perekonomian di mana satu bagian yang penting dari kepemilikan, pengawasan, dan pengelolaan berada di tangan golongan pribumi atau negara Indonesia, yang berarti pengalihan, penguasaan, dan pengelolaan kegiatan-kegiatan ekonomi yang berada di tangan orang barat dan cina ke tangan orang Indonesia. (Dr. Liem Twan Djie, Ekonomi Nasional Haruslah Memberikan Kebahagiaan Kepada Djumlah Terbesar di Antara Penduduk.--dalam arsip konstituante no. 173-174)
Ekonomi Terpimpin dalam pelaksanaannya direncanakan tahap per tahap, daerah per daerah yang selama lima tahun diharapkan ada pertumbuhan produksi dan pendapatan secara terus menerus dengan kekuatan sendiri. Ekonomi Terpimpin diawali dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di tahun 1957 yang dikelola oleh militer dan elite birokrasi. Setelah itu pemerintah menguasai sektor perkebunan yang dikelola oleh Pusat Perkebunan Negara (PPN). Dan kemudian pemerintah membentuk perusahaan Djawatan seperti Damri, DKA, PELNI, Djakarta Loyd, Garuda Indonesia Airways, yang semuanya itu merupakan cikal bakal Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebagian besar Perusahaan Negara itu dipimpin oleh perwira militer dan elite birokrasi yang akibatnya beberapa perusahaan negara mengalami kesulitan keuangan dan tidak mampu berproduksi. Menurut Panglaykim, secara organisasi kerja perusahaan-perusahaan negara hasil nasionalisasi ini tidak terjadi perubahan. Perusahaan Negara hanya menjadi penerus monopoli dalam ekspor-impor barang esensial.
Kegagalan Ekonomi Terpimpin karena sebab yang telah disebutkan di atas dapat menjadi pelajaran. Keinginan Ganjar menerapkan konsep Ekonomi Berdikari memerlukan adanya modifikasi dan penyempurnaan konsepsi utamanya dalam mendetailkan secara operasional. Kemudian juga perlu dipertimbangkan aktor-aktor yang akan menjalankan konsepsi tersebut. Ekosistem perekonomian nasional harus dibangun agar konsep “Indonesia Berdikari” dapat hidup dan bergerak produktif.
Dalam uraian pidatonya, Ganjar telah mengutarakan benih-benih pemikirannya tentang “Indonesia Berdikari” yang merupakan jabaran dari salah satu azimat revolusi yakni Berdaulat di bidang politik, Berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Perlunya penguasaan Iptek, Badan Riset dan Inovasi Nasional, sistem pendidikan hingga penggunaan sosial media yang sehat dan tanpa hoaks, fitnah dan tanpa ujaran kebencian.
Tentunya lintasan lintasan pemikiran Ganjar selama ini perlu disistimatika, didefinisikan dan dilengkapi dengan referensi-referensi keilmuan. Lintasan-lintasan pemikiran tersebut nantinya akan dikompilasi dan diformulasikan menjadi program kerja dan janji politik yang akan diserahkan kepada masyarakat pemilih untuk dinilai. Karena pada hakekatnya konstetasi pemilu presiden adalah pergulatan gagasan secara demokratis untuk mendapatkan kepercayaan rakyat.