"Kualitas Demokrasi" Untuk Keadilan Sosial

Peningkatan kualitas demokrasi akan menghadirkan kontestasi figur yang memiliki gagasan untuk membawa rakyat Indonesia yang lebih sejahtera dan berkeadilan sosial.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Salah satu kaidah utama dalam berdemokrasi adalah tersedianya instrumen politik, sebagai sarana untuk melaksanakan fondasi utama dari demokrasi. Karena itu, dalam jagat perpolitikan, Juan Linz juga mengemukakan syarat yang harus dipenuhi sebuah sistem politik demokratis, yaitu adanya persaingan yang terbuka dalam pemilihan figur pemimpin.

Untuk itu, pemilihan umum (pemilu) sampai saat ini diakui sebagai instrumen kelembagaan demokrasi yang absah dan menjadi parameter bekerjanya sistem politik yang demokratis.

Maka, tidaklah mengherankan jika menyonsong tahun politik 2024 jagat raya perpolitikan mengalami iklim dan dinamika politik yang memanas. Bahkan, cawapres Cak Imin yang berpasangan dengan Anies (AMIN) sehari setelah resmi berkoalisi langsung mendapat panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa. Konon, kasus ini terjadi ketika menjadi Menteri Tenaga Kerja (Menaker) jadi sudah 12 tahun yang lalu.

Masalah hukum, memang telah menjadi "momok" tersendiri dalam percaturan politik kekinian. Sebab, situasinya bisa menjadi alat politik yang mengendalikan kekuasaan termasuk instrumen penegakan hukum. Dalam rangka mematikan pergerakan politik dari rivalitas dalam kancah persaingan Pilpres 2024.

Hal itu menunjukkan, betapa sulit menegakkan fatsun politik dan netralitas dari pemegang kekuasaan. Sikap moral dan etika yang seharusnya menjadi panduan dan kerangka acuan justru juga terseret dalam ranah penegakan hukum.

Di Indonesia, nampak sekali bagaimana partai politik menunjukkan "kekaburan" antara batas idealisme dan fragmatisme politik. Dalam artian, ideologi partai dan moralitas politik para aktor-aktor politik yang ada makin tidak jelas (absurd). Realitas politik sekarang justru memberi indikasi kuat adanya relevansi/korelasi ungkapan Fukuyama "The end of history," sejarah sudah berakhir dengan kemenangan kapitalisme. Begitulah realitas obyektifnya, sehingga semua hal termasuk sektor hukum, yaitu kekuasaan dan kapital menjadi parameter yang mempengaruhi "kualitas demokrasi".

Pertanyaannya, sampai kapan demokrasi seperti ini terus dibiarkan. Padahal, dalam demokrasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan utama. Oleh karena itu, sistem politik yang berlandaskan pada kekuasaan rakyat atau kedaulatan rakyat menjadi keniscayaan.

Oleh sebab itu, mencermati kondisi kekinian partai perlu langkah progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan terjebak pada rencana pragmatis figur politik tertentu. Terlebih, membahayakan masa depan bangsa dan negara. Partai juga dituntut memiliki kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai, bukan terus menerus "terkungkung" dalam jerat cawe-cawe kekuasaan.

Melihat gejala hari ini, parpol harusnya cekatan dan lebih kreatif mengagregasi / mengartikulasikan aspirasi publik. Bukan sebaliknya, parpol justru menjadi bagian dari masalah, yakni menguatkan fenomena demokrasi elusif. Istilah ini, penulis pinjam dari tulisan Alberto Olvera saat menggambarkan kondisi demokrasi di Meksiko yang menunjukkan terjadinya resesi demokrasi.

Dalam kaitan ini, demokrasi elusif merupakan penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan kapasitas institusi demokrasi, maupun kematangan budaya politik.

Sebab, kekuasaan politik itu kerapkali mengagumkan dan menggetarkan. Pada titik inilah terkadang moralitas dan etika politik terabaikan.

Namun, dengan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era modern, nampaknya sistem politik demikian terus mengalami ujian dan tantangan. Bahkan, di era serba kapital sekarang ini, landasan filosofis ideologi partai sudah bergeser kearah tawar menawar (fragmatisme). Dalam konteks inilah, situasi yang acapkali muncul dan mengemuka adalah 'siapa dapat apa" dan sesungguhnya mereka bekerja untuk siapa.

Pertanyaannya: why? mengapa? harus bekerja hanya untuk kepentingan (baca: kebesaran) partainya. Padahal rakyat memilihnya dengan berbondong-bondong datang ke TPS untuk memilih presiden dan wakil presiden. Bukan petugas partai. Bagi rakyat presiden akan bekerja untuk kepentingan mereka, yaitu kesejahteraan rakyat. Hanya prinsip keadilan yang mereka inginkan, bukan bekerja untuk kepentingan pribadi!

Hal itu, senada dengan bunyi konstitusi sebagai kerangka dasar (gronwet) dalam kehidupan berbangsa. Di mana dalam konstitusi kita tak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa presiden bertanggung jawab kepada partai politik. Akan tetapi, yang ada hanya batas kerja seorang presiden bahwa konstitusi yang berlaku, bukan kehendak partai pengusung/pendukung.

John F Kennedy pernah menyatakan: "Ketika menjadi presiden , kesetiaan ku kepada negara dimulai, dan kesetiaanku kepada partai berhenti." Intinya, menyatakan presiden petugas partai, itu tak hanya menyalahi prinsip demokrasi, tapi juga tak tertulis dalam konstitusi kita.

Walhasil, nilai hakiki perubahan atau perbaikan sistem politik ke depan yang lebih "berkeadaban" adalah meningkatkan kualitas demokrasi, sehingga kompetisi 2024 pemilu presiden dan wakil presiden benar-benar menghadirkan kontestasi figur yang memiliki gagasan untuk membawa rakyat Indonesia yang lebih sejahtera dan berkeadilan sosial.

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]