Dalam kosa kata bahasa Inggris ada istilah maverick, julukan untuk orang yang sikap dan pemikirannya independen, non-ortodoks, dan tidak konvensional. Maverick adalah eponym, kata yang berasal dari nama seseorang, yang kemudian menjadi julukan atau label populer.
Istilah ini berasal dari nama seorang koboi (rancher), Samuel A. Maverick, yang hidup pada 1803 - 1870 di Texas, Amerika. Seorang pemilik peternakan yang istimewa, karena tidak mencap ternaknya dengan tanda logo kepemilikan, berbeda dengan pemilik ranch lainnnya. Maverick tidak mencap ternaknya, karena tidak ingin menyakiti mahluk hidup. Baginya, mencap ternak memakai besi panas, yang melukai kulit hewan, adalah sebuah kekejaman.
Hewan ternak yang tidak dicap (dibranded) dengan logo pemiliknya, dianggap sebagai hewan bebas dan merdeka. Dari karakter kebebasan itulah kata Maverick kemudian dipakai sebagai julukan kepada siapapun yang bersikap merdeka, independen, otonom, tegas dan menolak terikat pada apapun.
Sepak terjang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD (MMD) akhir-akhir ini bisa dianggap sebagai sikap seorang maverick. Publik terpikat pada keberanian dan ketegasannya dalam menyuarakan dugaan adanya praktek pencucian uang di Kementerian Keuangan serta maraknya korupsi dan manipulasi di pemerintahan.
Selaku Menko, MMD telah mendobrak kebekuan dan kebisuan praktek buruk penyalahgunaan kekuasaan. Lazimnya suara keras atas berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan buruknya kinerja pemerintah muncul dari kelompok oposisi, pengamat, atau aktivis LSM. Tapi suara keras itu justru diteriakkan MMD dari dalam pemerintahan.
MMD selaku profesor hukum sangat memahami aturan tata negara, sistem demokrasi, serta problematik politik pemerintahan dan kelambanan birokrasi. Era reformasi setelah berjalan 25 tahun kembali ke titik nadir, dengan meruyaknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Korupsi di era reformasi lebih parah dari era Orde Baru, kini partai politik dan DPR adalah sumber korupsi, kata MMD. “Dulu korupsi terjadi pada implementasi proyek, dulu DPR dan kehakiman relatif tidak korup, sekarang semua lini pemerintahan di pusat dan daerah korup. Sekarang korupsi sudah dipesan sebelum ada anggaran.”
MMD adalah artikulator reformasi dan penjaga demokrasi, yang sedikitnya memberi legitimasi bahwa di tengah merebaknya praktek KKN, pemerintahan Jokowi masih bisa dianggap demokratis. Di tengah keroposnya penegakan hukum dan rusaknya sistem peradilan, MMD menjadi suara keadilan, yang sangat fasih dan tajam melihat kerusakan hukum di Indonesia.
Saat ini hukum menjadi komoditi untuk diperjualbelikan. MMD mengakui “mafia” telah menguasai Indonesia, dari mafia peradilan, mafia pangan, mafia tanah, hingga mafia jabatan. Hukum industri tidak berjalan, yang berjalan adalah industri hukum. “Anda tidak bersalah, bisa dicarikan pasal untuk disalahkan, atau sebaliknya yang salah bisa dibenarkan,” katanya.
Selain memecahkan kebisuan tersumbatnya keadilan, MMD tidak cuma bicara. Ia lantang membuka sejumlah tabir kasus, yang selama ini terbenam dalam dasar gunung es. MMD turut menyuarakan skandal Freddy Sambo di kepolisian, dugaan pencucian uang di kementerian keuangan, juga berpolemik dengan anggota DPR. Kini sedang terus mengupayakan pengesahan UU Perampasan Aset, untuk memiskinkan koruptor.
MMD sosok pemimpin maverick karena mampu melihat persoalan dan berani menyuarakan kesalahan. Mencoba mengupayakan, bahwa Indonesia, seharusnya, bisa menjadi lebih baik.
Seorang maverick, seperti MMD, bisa melihat gambaran besar, mengetahui di mana perubahan dalam sistem dapat membawa kebaikan. Mereka didorong oleh prinsip pribadi yang tidak hanya memberi inspirasi (talk the talk), melainkan juga untuk bertindak (walk the talk). Berani menghadapi perlawanan atau hambatan.
Sejumlah jabatan penting pernah dipegang oleh MMD, dari Menteri Pertahanan, Ketua Mahkamah Konstitusi, hingga Menkopolhukam. Berbagai kebijakan dan terobosan telah dilakukan MMD untuk membuka jalan buntu terkait persoalan hukum. Dari skandal BLBI, Freddy Sambo, tragedi Kanjuruhan, mafia tanah, hingga isu pencucian uang.
Di tengah merebaknya pragmatisme dan oportunisme politik saat ini, tidak banyak pemimpin yang bernyali dan berani bersikap maverick. Indonesia memerlukan petarung keadilan seperti MMD.
Pada 2019, MMD “nyaris” menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi, namun pragmatisme dan persekongkolan politik membuat pencalonannya batal. Menjelang Pilpres 2024, banyak yang berharap MMD akan menjadi calon presiden atau wakil presiden. Sebagai “Satrio Piningit” yang bisa terus melanjutkan kiprah aksi-aksi kesatriaan melawan kekuatan durjana.
Namun, ekosistem perpolitikan di tanah air saat ini menyulitkan sosok seperti MMD untuk bisa maju menjadi satria politik. Kultur pragmatik-oportunistik dalam partai politik membuat sosok Maverick, seperti MMD, akan dilihat sebagai ancaman, ketimbang kekuatan.
Namun, tentu tidak menafikan—ketika semesta mendukung—ada perubahan sikap elit politik. Ada ketua umum partai, di usia senjanya, mampu berpikir jernih, ingin meninggalkan legasi terbaik bagi Indonesia. Dengan memilih MMD, sang maverick, agar bisa terus berkiprah menyuarakan dan memperjuangkan Indonesia yang lebih baik.