Menjelang Hari Pahlawan, ingatan publik kembali pada keberanian yang tidak hanya hadir di medan pertempuran, tetapi juga dalam keputusan yang menentukan arah republik pada masa-masa genting. Awal November seperti membuka ruang untuk menengok nilai-nilai itu, terutama ketika banyak kontribusi daerah masih tenggelam di balik narasi besar dari pusat.
Pada masa awal kemerdekaan, ancaman perpecahan datang lewat strategi federalisme kolonial. Republik yang masih muda menghadapi tekanan politik, kekacauan regional, dan upaya pemetaan kekuasaan yang tidak selalu berpihak pada persatuan. Dalam kondisi setipis itu, ketegasan sikap menjadi bentuk perjuangan yang tak kalah penting. Dari sinilah sejumlah figur daerah muncul, meski nama mereka jarang masuk buku pelajaran.
Melalui biografi yang ditulis oleh Basri Amin dan diterbitkan oleh Diomedia dengan judul “Ajoeba Wartabone (1894–1957). Sekali ke Djokja Tetap ke Djokja. Biografi Gagasan dan Kepemimpinan dari Gorontalo untuk Indonesia Bersatu,” pembaca diajak melihat bagaimana seorang pemimpin dari Gorontalo mengambil peran saat republik hampir terbelah menjadi negara-negara bagian. Dalam Sidang Parlemen Negara Indonesia Timur di Makassar, April 1947, Ajoeba mengucapkan kalimat yang kemudian menjadi penanda sikap: “Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja.” Ketika Jakarta jatuh akibat agresi Belanda, Yogyakarta berstatus sebagai ibu kota Republik Indonesia. Pada saat itulah kesetiaan bukan hanya retorika, melainkan pilihan politik yang menanggung risiko. Pernyataan Ajoeba tersebut menjadi simbol keberanian menolak pecah-belah, bahkan ketika kompromi terlihat lebih mudah.
Gagasan yang terkandung dalam buku tersebut didiskusikan hari ini di Ubud Writers & Readers Festival 2025, pada sebuah ruang yang mempertemukan penulis, pembaca, serta peminat sejarah dari berbagai latar untuk melihat kembali peran daerah dalam perjalanan republik. Momen seperti ini memperluas perspektif publik.
Dalam kajian kebijakan publik, upaya memastikan integrasi wilayah sering dibaca sebagai dasar tata kelola bersama. Nilai itu menemukan padanan konsepnya hari ini, ketika krisis lingkungan menantang lintas otoritas daerah. Masalah yang dilintasi angin, air, dan arus tidak pernah berhenti di papan batas provinsi.
Krisis lingkungan dan perubahan iklim membuktikan bahwa bencana ekologis tidak mengenal garis administrasi. Kabut asap bergerak melampaui provinsi, banjir bandang menyapu kawasan tanpa memilih kabupaten, sementara polusi laut mengikuti arus sesuai hukum alam, bukan aturan birokrasi. Fragmentasi kebijakan hari ini mengingatkan pada fragmentasi politik 1940-an: banyak kepentingan, sedikit koordinasi. Dalam konteks ini, nilai persatuan tiba-tiba terasa sangat ekologis.
Kata pengantar buku, Prof. Dr. Meutia F. Hatta Swasono, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, menekankan pentingnya mengenalkan figur-figur daerah kepada generasi sekarang. Perjuangan tidak selalu hadir dengan senjata; gagasan, keteladanan, dan kerja sunyi yang berdampak pada rakyat adalah kekuatan yang tak kalah penting.
Dengan demikian, menolak pecah-belah di masa lalu sejalan dengan upaya menjaga keterhubungan ekologis hari ini.
Buku ini mengingatkan bahwa ingatan publik adalah modal politik. Ketika sejarah daerah memudar, keberanian moral ikut meredup. Dalam isu lingkungan, hilangnya ingatan kolektif berarti kehilangan arah pada siklus alam, kapasitas daya dukung, dan konsekuensi jangka panjang. Ingatan membantu mencegah keputusan yang hanya menjawab kebutuhan sesaat.
Persatuan ekologis sama mendesaknya dengan persatuan politik. Koordinasi lintas wilayah, solidaritas lintas generasi, dan kebijakan yang mengakui keterhubungan manusia dengan lingkungan menjadi kebutuhan. Tanpa itu, kesalahan serupa akan berulang: menangani masalah di ruang yang terkotak, sementara ancamannya bergerak bebas.
Menjelang 10 November, Hari Pahlawan mengingatkan bahwa keberanian hadir dalam banyak bentuk: menolak retakan, memilih integrasi ketika kepentingan sempit menggiurkan, dan merawat lingkungan sebagai ruang hidup bersama. Dalam krisis iklim, kepahlawanan bukan hanya cerita masa lalu, tetapi pilihan di masa kini demi satu bumi, satu ruang hidup, satu masa depan yang layak dihuni.



