Konsolidasi demokrasi Indonesia yang telah berjalan cukup mapan dalam dua dekade lebih, pada perkembangannya menghadapi sejumlah tantangan yang tidak sederhana. Salah satunya ditandai dengan "mengkristalnya" isu oligarki (para dewa) yang cukup berkuasa mengendalikan irama politik negeri ini.
Jika dicermati secara seksama, keberadaan para dewa ini ada di semua lini ruang politik di Indonesia. Karena itu, bisa mempengaruhi berbagai kebijakan dan arah pembangunan bangsa. Bahkan, bisa menjadi ancaman bagi perkembangan demokrasi itu sendiri.
Sebagai negara dengan komposisi masyarakat yang masih banyak berada di lapis terbawah (miskin), mengkristalnya isu politik oligarki di Indonesia dalam konteks politik saat ini, memang cukup mengkhawatirkan. Terlebih jika isu ini dibiarkan bergerak secara liar (tak terkontrol) di tengah kehidupan masyarakat yang serba susah, sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang tidak berdampak "kesetaraan" sebagai unsur penting keadilan.
Sekali lagi, dampaknya akan cukup berbahaya. Resiko benturan horizontal pastinya akan semakin besar. Tentu saja lebih fatal lagi, jika ada pihak-pihak yang sengaja mengeksploitasi menjelang pemilu di tahun politik 2024 ini.
Begitulah suasana kekinian batin kita, tak dapat diingkari cukup mencekam melihat sepak terjang para dewa yang ikut mempengaruhi rupa-rupa dimensi kekuasaan. Lagi pula, instrumen-instrumen politik juga sudah "didikte" (dikendalikan) dengan membatasi figur-figur presiden yang bisa lolos dari 20% syarat "Presidential Threshold". Hal itulah, membuat mereka semakin percaya diri "mengontrol" jalannya demokrasi di Indonesia.
Karena itu, kemunculan isu oligarki di ranah politik sering dikaitkan dengan rendahnya komitmen sejumlah elite pengurus partai. Dari narasi yang kita tangkap di media, isu oligarki ini kerap didudukkan sebagai persoalan "bandar kandidat." Bahkan, kemunculan para bohir (pemasok financial) dipandang sebagai ancaman demokrasi.
Dalam menghadapi era semacam ini, seharusnya yang menjadi basis mengurai masalah ialah kuatnya modal sosial, berupa kepercayaan publik (public trust). Hal ini erat korelasinya dengan dukungan warga masyarakat untuk mau bersama-sama menerima, bergandengan tangan mengurai masalah. Bukan justru sebaliknya, para elite di institusi-institusi demokrasi, hanya asyik dengan agenda elitis masing-masing sehingga tak mampu menjembatani aspirasi-aspirasi rakyat. Akan tetapi, sibuk bergandengan tangan dengan para cukong. Inilah ironi demokrasi kita yang dikuasai oleh para dewa.
Maka, salah satu pilar penting dalam institusi demokrasi, yang harus dikritisi ialah partai politik. Data survei persepsi masih jelas, dan tegas menunjukkan potret buram partai di Indonesia. Jumlahnya hanya 54% yang percaya. Tingkat kepercayaan publik paling rendah, jika dibandingkan dengan kepercayaan pada institusi-institusi lainnya, maka posisi paling buncit ialah partai politik dengan 54%.
Realitas tersebut, terbukti negeri ini telah dikendalikan oleh pemilik modal (para dewa). Hal ini, tentu saja menunjukkan ada proses relasi kuasa yang sesungguhnya mengarah ke fenomena pemburukan kualitas berpolitik yang diakibatkan oleh hilangnya sensivitas (kepekaan), dan komitmen untuk menghormati proses demokrasi, hukum dan keadaban. Terlebih, kuasa para dewa ini sangat membahayakan masa depan bangsa dan negara.
Akhirnya, dalam melihat dinamika hegemoni politik di Indonesia. Problem "kekalahan" partai-partai karena tak bisa bersaing di sektor hegemoni ekonomi alias tak ketidak mampuan "memaksimalkan" logistik pemilu. Pada titik dan konteks inilah, para "dewa" berkuasa menancapkan otoritasnya pada setiap kompetisi politik di tanah air, mulai dari arena pilkada sampai ke pemilihan presiden (Pilpres). Mereka berada di bawah petuah/perintah paduka The hord of para dewa .