Waspadai Kebijakan Moneter dan Krisis Keuangan Amerika Serikat

Pemerintah perlu memperhatikan perubahan sektor riil dan keuangan di AS yang sangat dinamis, preferensi kebijakannya, dan keterkaitan perbankan dan pasar keuangan Indonesia agar ketika terjadi efek penularan mitigasi yang dilakukan lebih tepat.

 

Gelombang resesi ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan pembatasan sosial, bahkan lockdown untuk menghambat penyebaran Covid 19 baru saja berlalu, namun masih menyisakan sejumlah negara yang terpuruk ekonominya. Negara-negara tersebut mau tidak mau membutuhkan bantuan pendanaan yang menggiring mereka menjadi pasien IMF.

Belum selesai permasalahan ini, selanjutnya perekonomian dunia didorong memasuki ketidakseimbangan lantaran menguatnya nilai tukar dolar AS dan euro terhadap mata uang negara lain. Hal ini disebabkan oleh pemulihan ekonomi yang tidak berbarengan, sehingga AS dan Eropa melakukan kebijakan pengendalian inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan. 

Gejolak perekonomian dunia semakin diperparah oleh perang Rusia – Ukraina yang mendistorsi rantai pasok energi dan komoditi pangan. Distorsi ini berdampak kepada meningkatnya harga energi dan bahan pangan dunia. Ketidakpastian perekonomian dunia semakin diperparah dengan krisis keuangan yang melanda AS yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi baru.

Krisis Keuangan AS

Krisis keuangan di AS benar benar harus menjadi perhatian pengambil kebijakan ekonomi di negara lain. Hal ini disebabkan karena posisi AS yang besar, baik sebagai debitur, maupun kreditur dalam pasar keuangan internasional. Mau tidak mau, suka tidak suka gejolak sistem keuangan di AS akan berdampak sistemik terhadap perekonomian negara lain. Krisis keuangan AS tahun 2023 ini dimulai dengan kegagalan Silvergate Bank (SB), Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan First Republic.

Silvergate Bank (SB) mulai memasuki bisnis Kripto pada tahun 2013. Melalui Silvergate Exchange Network (SEN), Silvergate Bank meraup keuntungan yang besar. Dana SEN disimpan dalam bentuk surat berharga dan bank-bank lainnya.

Namun ketika Federal Fund Rate mengalami kenaikan, beberapa uang kripto mengalami kejatuhan nilai dan hal ini berdampak kepada harga saham SB yang jatuh hingga 80 persen. Dampak selanjutnya para deposan menarik dananya dari SB dan terpaksa menjual surat berharga yang dimiliki senilai 5,2 miliar dolar AS untuk memenuhi penarikan dana nasabah sekaligus mempertahankan likuditasnya.

SB mengalami kerugian 1,05 miliar dolar AS. Pada 8 Maret 2023 SB mengumumkan pemberhentian operasionalnya  dan melikuidasi asetnya. Dampak selanjutnya setelah pengumuman tersebut saham SB kembali anjlok lebih dari 40 persen.

Pada tahun 2019, simpanan deposit SVB senilai 60 miliar dollar AS, simpanan tersebut meningkat lebih dari  tiga kali pada tahun 2020 menjadi sekitar 200 miliar dolar AS. Sebagian besar diinvestasikan ke dalam US T-Bills & Mortgage-Backed Securities. Kenaikan pada FFR menyebabkan nilai investasi SVB anjlok, menyebabkan SVB rugi 1,8 miliar dolar AS dan tidak dapat mengumpulkan modal yang cukup untuk mengimbangi kerugian tersebut.

Dampak berikutnya para deposan menarik dana deposit SVB secara masal. Pada 8  Maret 2023, SVB mencari modal tambahan 2,25 miliar dolar AS melalui saham biasa dan mandatory convertible preference shares. Namun yang terjadi adalah pada 9 Maret 2023 nasabah SVB panik dan memicu penarikan dana (rush) hingga 42 miliar dolar AS atau 24 persen dari total dana simpanan dan sahamnya turun 60 persen.

Pada 10 Maret 2023 turun lagi nilai saham SVB sebesar 47 persen. Pada tanggal 10 Maret 2023 Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) mengambil alih SVB. Pada 11 Maret 2023, FDIC memulai lelang untuk SVB, dengan penawaran terakhir jatuh tempo pada Minggu sore, 12 Maret 2023. Namun demikian pada tanggal 13 Maret 2023 tidak ada pembeli dalam lelang akhir pekan untuk SVB, FDIC mentransfer simpanan SVB ke bank lain.

Sebelum jatuhnya SVB, Signature Bank merupakan bank yang dikelola dengan baik dan mendapatkan peringkat yang baik oleh Fitch, Kroll, dan Moody's pada 31 Januari 2023. Kondisi ini dipertegas dengan konferensi pers pengelola Signatute Bank pada 9 Maret 2023  bahwa Signature Bank memiliki peringkat investasi yang solid, likuiditas yang kuat, tingkat modal yang tinggi, dan campuran simpanan yang terdiversifikasi.

Namun tanggal 10 Maret 2023 ketika SVB ditutup terjadi gejolak. Runtuhnya SVB menyebabkan para investor melepaskan saham mereka yang bergerak di bidang keuangan, termasuk saham Signature Bank. Sebagai dampaknya, harga saham Signature Bank ditutup pada 70 dolar AS  pada perdagangan besar, turun 79 persen dibandingkan  10 Februari 2022.

Untuk menghindari efek penularan, pada tanggal 12 Maret 2023 DFS New York mengambil alih Signature Bank dan membentuk Signature Bridge Bank. Selanjutnya upaya penyelamatan diperkuat oleh FDIC dengan menandatangani perjanjian untuk menjual 40 bekas cabang Signature Bank kepada Flagstar Bank (anak perusahaan New York Community Bancorp) pada tanggal 19 Maret 2023.

Krisis keuangan yang melanda SVB juga berdampak kepada First Republic Corporation (FRC). Pada tanggal 13 Maret 2023, saham bank regional anjlok, saham First Republik juga mengalami pukulan terparah dan turun hingga 60 persen. FRC pada tanggal 16 Maret 2023, menerima deposito 30 miliar dolar AS dari11 Bank di Amerika, sehingga saham FRC naik 10 persen. Namun demikian pada tanggal 17 Maret 2023, FRC kehilangan sepertiga dari nilai yang sudah tertekan. Indeks S&P 500- Stock turun sekitar 1,1 persen.

Kondisi terkini AS

Ketidakpastian di pasar keuangan AS semakin menguat. Ketidakpastian ini ditunjukkan oleh turunnya kepercayaan investor terhadap surat berharga jangka panjang. Kondisi ini ditunjukkan dengan melandainya kurva imbal hasil surat berharga di Amerika Serikat, yang ditunjukkan oleh kecilnya selisih (spread) imbal hasil antara surat berharga tenor 10 tahun dengan 2 tahun. Bahkan surat berharga jangka panjang, dalam kondisi normal dianggap lebih berisiko mempunyai yield yang lebih rendah.

Data terakhir menunjukkan selisih imbal hasil antara surat berharga tenor 10 tahun dengan 2 tahun menunjukkan nilai negatif, walaupun masih lebih baik dibandingkan 9 Maret 2023, namun belum mengalami perbaikan yang signifikan selama 2 bulan terakhir ini.

Berdasarkan paparan kegagalan beberapa bank di AS, salah satu pemicunya adalah kenaikan suku bunga acuan AS (FFR). Berkaitan dengan itu, saat ini perekonomian AS menghadapi dua permasalahan, yaitu, mengurangi inflasi dengan meningkatkan FFR dan menjaga tidak terjadinya dampak sistemik pasar keuangan akibat menurunnya nilai aset  jangka panjang, di mana surat berharga jangka panjang berkontribusi besar dalam portfolio perbankan dan lembaga keuangan.

Kondisi ini seperti “trade off” bagi AS. Meningkatkan suku bunga untuk menurunkan inflasi, berdampak menurunnya nilai surat berharga jangka Panjang. Pada bulan April 2023, inflasi AS tercatat berada di bawah 5 persen.

Berdasarkan laporan Departemen Tenaga Kerja AS  inflasi indeks harga konsumen (IHK) mencapai 4,9 persen pada April 2023. Adapun di bulan sebelumnya, inflasi IHK tercatat 5 persen. Secara bulanan, inflasi AS naik 0,4 persen, jika dibandingkan Maret 2023. Terakhir kali inflasi AS berada di bawah 5, yaitu pada Juni 2021. Target inflasi AS adalah sebesar 2 persen.

Dengan melihat target dan pencapaian inflasi, nampaknya kenaikan FFR masih berpotensi terjadi, namun dengan melihat kenaikan FFR sebagai salah satu pemicu krisis keuangan The FED akan memperhitungkan kenaikan FFR.

Data dari survai  investing.com menunjukkan kemungkinannya 59.9 persen FED rate tetap di 5-5.25 persen pa. dan 40.1 persen kemungkinannya FED rate naik ke 5.25-5.50 persen pa. Ini menunjukkan bobot kepentingan meredam krisis keuangan lebih besar daripada target inflasi. Hal ini menunjukkan krisis keuangan dan bisa berlanjut ke resesi di AS menjadi perhatian penting dibandingkan meredam inflasi.

Dalam kondisi yang demikian, sangat bijaksana kiranya untuk selalu memperhatikan perubahan sektor riil dan keuangan di AS yang perubahannya sangat dinamis. Preferensi kebijakan AS perlu diperhatikan. Selain itu keterkaitan perbankan dan pasar keuangan Indonesia perlu mendapat perhatian lebih serius,  agar ketika terjadi efek penularan mitigasi yang dilakukan lebih tepat.

Kolumnis
Dosen Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan dan Magister Ekonomi Terapan FEB Unika Atma Jaya

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com