Guru Besar UGM Sebut Indonesia Cemas di 2045 Jika Pemilu Masih Seperti 2024

Prot Koentjoro menyebut pembodohan yang dilakukan terhadap rakyat melanggar UUD 1945 dan tidak bisa ditoleransi

Prof Koentjoro Soeparno saat bersama civitas academika dan guru besar UGM membacakan Petisi Bulaksumur yang menkritisi pemerintahan Presiden Jokowi

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Koentjoro Soeparno mengaku khawatir dengan masa depan Indonesia jika melihat apa yang terjadi saat ini. Terutama dikaitkan dengan cita-cita mewujudkan Indonesia Emas pada 2045.

Koentjoro mengatakan jika proses demokrasi yang diwujudkan dalam bentuk Pemilihan Umum (Pemilu) masih seperti yang terjadi pada 2024 maka jargon atau slogan Indonesia Emas yang digaungkan Prabowo-Gibran hanya akan menjadi mimpi belaka.

Pasalnya Pemilu 2024 terselenggara dengan banyak terjadi kecurangan. Bukannya Indonesia Emas, Koentjoro menyebut yang terjadi pada 2045 justru Indonesia Cemas.

"Oleh sebab itu saya mengatakan itu bukan Indonesia Emas, tapi Indonesia Cemas tahun 2045. Karena sekarang kita tahu yang terjadi itu apa. Sekarang bonus demografi, tapi yang namanya olahraga saja bayar. Mencari SDM petani sekarang susah," ujarnya.

Berbicara dalam diskusi virtual bertema "Refleksi Seperempat Abad Reformasi" Kamis 14 Maret 2024, Koentjoro juga menyinggung soal Petisi Bulaksumur. Kritikan yang disampaikannya para civitas akademika UGM beberapa saat lalu itu ternyata hanya dianggap sebagai hak demokrasi semata.

Padahal Petisi Bulaksumur diharapkan diterjemahkan dalam bentuk perbaikan terhadap pelaksanaan Pemilu atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung serentak untuk kedua kalinya pada tahun 2024 ini.

"Apa yang diingatkan oleh para Guru Besar itu hanya dipandang sebagai hak demokrasi. Dan itu tidak dipandang, dipahami intinya. Padahal intinya kita mengingatkan, terutama yang terjadi adalah semakin hari semakin melakukan kegiatan pembodohan kepada masyarakat, dan memanfaatkan kebodohan itu untuk sebuah kemenangan," ujar Koentjoro.

Profesor Psikologi Sosial ini juga berbicara soal pasangan Prabowo-Gibran yang sudah mengklaim kemenangan. Padahal proses rekapitulasi atau penghitungan suara hasil Pemilihan Presiden Pilpres 2024 belum selesai. Koentjoro menyebut telah terjadi upaya pemenangan yang melanggar undang-undang dan konstitusi.

"Kalau kita mau melihat 58 persen (kemenangan suara Pabowo-Giban) itu jelas memanfaatkan yang namanya kebodohan, tetapi juga memanfaatkan kekuasaan. Tidak akan mungkin bisa menang seperti itu, karena kita juga tahu bahwa partai-partai yang ada di sana juga budak dan mereka juga punya kader-kader militan," tutur Koentjoro.

Peraih gelar PhD dari La Trobe University, Melbourne, Australia ini mengungkapkan hal menarik dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Ada beberapa daerah yang dikenal sebagai 'kandang banteng' mendadak hilang. Menurutnya hal itu tidak akan terjadi jika tidak ada kecurangan secara terstruktur sistematis dan masif (TSM).

"Yang menarik, ada beberapa daerah yang digadang-gadang menjadi kandang banteng menjadi hilang, kalah total (dari pasangan capres-cawapres tertentu). Itu saya kira kalau tidak terstruktur, sistematis, masif tidak akan target," sambungnya.

Koentjoro juga mengamati kekacauan di sistem informasi yang dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses rekapitulasi suara. Ditambah dengan kabar Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) tenyata dibuat bekerjasama dengan Alibaba, perusahaan asal China.

"Dimana-mana kita dengar setiap kali ada pemaparan hasil pemilu di situ ada keributan-keributan yang terjadi. Itu menurut saya mengindikasikan sesungguhnya ini ada masalah. Itu artinya data kependudukan kita jadi terbuka dan menjadi masalah-masalah. Itu bagi saya sesuatu yang tidak sederhana," ungkapnya.

Belum lagi kata Koentjoro, masyarakat dibodohi dalam memilih capres-cawapres, dengan cara diberikan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Mantan Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI) ini menuturkan pembodohan semacam itu bertentangan dengan UUD 1945. Tindakan tersebut menurut Koentjoro tidak bisa ditoleransi.

"Sekali lagi gerakan-gerakan kebodohan-kebodohan dan pembodohan-pembodohan ini bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut saya ini tidak bisa ditoleransi. Memanfaatkan kekuasaan itu sangat-sangat jelas," ucapnya.

Koentjoro menambahkan agar bisa membuat Indonesia Emas, harus diketahui terlebih dahulu situasi dan sumber daya manusianya. Namun jika hasil Pemilu masih seperti ini, Koentjoro meminta jangan mikir berlebihan apalagi yang muluk-muluk.

"Kalau kita mau membuat Indonesia Emas, kita perlu tahu situasinya ke depan seperti apa, dan SDM nya seperti apa. Kalau melihat hasil Pemilu kita, enggak usah mikir muluk-muluk lah, karena sekarang negeri kita ini masih begini," pungkas Koentjoro.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]