Manusia masa kini makin tertantang oleh dilema ilmu pengetahuan. Di satu sisi, ilmu membawa kemajuan dan kesejahteraan, tetapi di sisi lain, tanpa panduan moral dan etika, ilmu bisa merusak lingkungan dan kesejahteraan bersama. Cendekiawan Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengemukakan pandangan ini saat berbicara di Konferensi Agama Dan Perubahan Iklim - Asia Tenggara (Conference on Religion and Climate Change Southeast Asia/CORECS) 2023. Menurutnya, hati dan nurani harus mendampingi setiap langkah ilmu pengetahuan.
Indonesia, negara dengan keragaman budaya dan agama, menjadi tuan rumah CORECS 2023 yang bertema “Ikhtiar Menghadirkan Kembali Nilai-Nilai Agama dan Budaya Lokal dalam Pelestarian Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan”
Acara yang diselenggarakan pada 4 Oktober ini, diinisiasi oleh Majelis Hukama Muslimin/MHM (Muslim Council of Elders), bukan hanya membahas isu perubahan iklim, tetapi lebih dalam lagi mencari titik temu sehingga nilai-nilai agama dan budaya lokal dapat menjadi solusi dalam pelestarian lingkungan.
MHM adalah sebuah organisasi internasional independen yang diketuai Grand Syekh Al-Azhar. Wadah yang didirikan pada tahun 2014 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab ini beranggotakan para cendekiawan moderat dari sejumlah negara Islam yang mempromosikan nilai-nilai harmoni, perdamaian, saling menghormati, dan dialog antar agama. Dari Indonesia, Prof. Quraish Shihab termasuk salah satu pendiri sekaligus anggota MHM pusat. Sementara TGB Dr. Muhammad Zainul Majdi tercatat sebagai anggota Komite Eksekutif MHM Pusat.
Dengan kehadiran 150 peserta dari berbagai negara di Asia Tenggara, Mesir, dan Uni Emirat Arab, maka CORECS menjadi melting pot ide dan solusi. Para peserta, yang terdiri dari pemuka lintas agama, ilmuwan, pemikir, dan generasi muda, membawa berbagai perspektif dalam diskusi. Salah satu tujuan utama konferensi adalah menyatukan persepsi berbagai pihak tentang bagaimana cara terbaik menghadapi ancaman perubahan iklim.
Tiga topik utama yang dibahas oleh 17 panelis dipandu tiga moderator handal menjadi sorotan: bagaimana keyakinan agama dapat membangun kesadaran pelestarian lingkungan; peran institusi dan tokoh agama dalam menanggulangi dampak perubahan iklim; serta relasi antara agama, sains, dan perubahan iklim.
CORECS 2023 menjadi kegiatan penting menuju COP28, Konferensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang akan diadakan di Dubai akhir tahun ini.
Sebagai salah satu panelis yang menghabiskan masa pertumbuhan di sekolah Katolik meskipun seorang Muslim, dan telah berinteraksi secara bermakna dengan masyarakat lintas agama, saya mencoba menggali interelasi yang rumit antara agama, perubahan iklim, dan keterlibatan aktif generasi muda.
Keterlibatan generasi muda sangat penting dalam menghadapi krisis iklim. Semangat dan tekad pemuda adalah pendorong perubahan yang kuat, sedangkan partisipasi aktif mereka dalam diskusi antaragama dan aksi terkait perubahan iklim dapat mempercepat kemajuan. Kolaborasi lintas agama, yang dipandu oleh nilai-nilai bersama dan didorong oleh generasi muda, menawarkan harapan dan janji akan perubahan ke arah yang lebih baik.
Sebagai bukti komitmen bersama, CORECS menghasilkan Deklarasi yang akan disampaikan di berbagai forum internasional. Kepada para pemimpin dunia yang akan hadir di COP 28 UNFCCC, peserta menghimbau pentingnya nilai-nilai moral, spiritual, keagamaan, dalam menghadapi berbagai tantangan global. Juga mewujudkan SDGs khususnya dalam penanganan perubahan iklim, disamping pentingnya aspek kerjasama dan komitmen keuangan.
Para pemimpin dunia harus secara proaktif berperan dalam dialog-dialog bertema etika, moral, spiritual, dan keagamaan bersama dengan tokoh-tokoh dalam forum-forum UNFCCC, G20, serta berbagai organisasi multilateral, dan regional lainnya. Selain itu, mutlak untuk memastikan revitalisasi nilai-nilai etika, moral, spiritual, dan keagamaan dalam sistem pendidikan di negara masing-masing dalam konteks pencapaian SDGs yang mencakup mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Prof. Quraish Shihab juga memberikan pesan yang mendalam. Menurutnya, keseimbangan antara akal dan perasaan, serta antara ilmu pengetahuan dan empati, adalah kunci menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Ini menjadi renungan bersama bahwa setiap langkah ilmu harus didampingi oleh hati yang peka, sehingga tindakan kita tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga bagi kesejahteraan bersama.