Jika Brahmana Berperan Jadi Kesatria

Kaum Brahmana (para tokoh agama) yang tergoda untuk memainkan peran kaum Kesatria (politisi) yaitu masuk dalam arena pertarungan politik praktis dapat menjadi penyebab rusaknya tatanan sosial, karena fungsinya sebagai penjaga moral hilang.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Dalam sosiologi, kasta dipahami sebagai sistem stratifikasi sosial tertutup, terkonstruksi secara genetik. Artinya posisi sosial yang dibawa sejak lahir sehingga sulit untuk diubah. Seseorang anak yang lahir dari orang tua yang berada dalam kasta tertentu akan mewarisi kasta orang tuanya sepanjang hidup, tidak dapat berubah menjadi kasta yang lain, kecuali ada sesuatu yang sangat luar biasa yang menimpa diri anak tersebut.

Konsep kasta ini berasal dari ajaran Hindu, yang membagi strata sosial menjadi empat; pertama Brahma, yaitu mereka yang mengabdikan pada pendidikan agama dan spiritual, seperti para pendeta, rohaniawan, guru dan orang-orang yang memiliki spiritualitas tinggi. Kedua, Kesatria, yaitu para pejabat negara, prajurit dan bangsawan. Orang-orang yang berada dalam kasta ini biasanya tidak memiliki harta pribadi karena semua yang dihasilkan menjadi milik negara, namun semua kebutuhannya dicukupi oleh negara.

Ketiga, kasta Waisya yaitu golongan pekerja, pedagang, petani, nelayan dan kelompok profesional lainnya. Kasta ini boleh memiliki harta pribadi tapi kebutuhannya tidak dipenuhi oleh negara. Keempat, kasta Sudra, adalah golongan rakyat biasa yang tidak memiliki profesi tetapi bukan dari keturunan bangsawan.

Pada era Kerajaan Majapahit, jenis kasta mengalami penambahan. Dalam Kakawin Negarakretagama pupuh 81/4 disebutkan adanya tiga jenis kasta yang merupakan pengembangan dari empat kasta, yaitu kasta Candala, Mlecca dan Tucca. Ketiga kasta ini dianggap sebagai kasta terendah yang dipandang hina dan nista. Kasta-kasta ini disebut warna kelima atau Pancana (Slamet Muljana, 1979).

Kasta Candala adalah mereka yang memiliki profesi sebagai penggotong atau pembakar jenazah, algojo, penjahat yang dijatuhi hukuman mati. Golongan Candala ini tidak boleh tinggal bersama dengan golongan Arya.

Kasta Mlecca adalah para pedagang asing yang tinggal di pelabuhan. Dalam negara retagama pupuh 83/3 disebutkan yang tergolong dalam kasta ini adalah para pedagang dari India, Kamboja, Campa Siap, dan Cina yang tidak menganut agama Hindu. Pendeknya semua pedagang asing yang ada di Majapahit berada dalam kasta ini.

Kasta Tucca mereka yang dianggap tidak berguna yaitu para penjahat yang selalu merugikan masyarakat. Masuk dalam kasta ini adalah oraang-orang yang melakukan tindakan tatayi yaitu kejahatan yang membahayakan orang lain. Jenis kejahatan yang masuk dalam tatayi adalah membakar rumah orang, meracuni manusia, menenung, mengamuk, memfitnah dan memperkosa atau melecehkan perempuan. Keenam tindakan ini disebut dengan sad tatayi. Menurut kitab undang-undang Kutara Manawa, siapapun yang terbukti melakukan tatayi harus dijatuhi hukuman mati. Hukuman ini dijatuhkan kepada siapa saja tanpa pandang kasta.

Sejalan dengan perkembangan sosial, konsep kasta berubah, sebagaimana terlihat pada konsep Rama, Resi dan Ratu yang ada dalam kitab Amanat Galunggung. Rama adalah representasi Tuhan, sosok yang sudah meninggalkan kepentingan duniawi  yang bertugas di bidang spiritual untuk menjaga rasa kasih dan bijaksana. Rama mirip dengan konsep kasta Brahmana. Resi mirip dengan kasta Waisya yaitu para ahli atau kaum profesional yang ahli di bidangnya, seperti pertanian, perdagangan dan sejenisnya. Misi Resi adalah asah sebagai representasi dari alam. Ratu mirip dengan kasta Ksatria, bertugas mengasuh dan mengelola kekayaan dan penyelenggara kegiatan negara.

Menurut Amanat Galunggung ketiganya bukan membentuk hubungan yang hirarkhis, tetapi setara. Ketiganya membentuk hubungan kolektif kolegial, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Seperti tercermin dalam rekto III Amanat Galunggung: “Jagad daranandi sang rama, jagad kreta di sang resi, jagad palangka di sang prabu” (dunia kemakmuran tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu/ratu). Naskah ini menunjukkan terjadinya transformasi konsep kasta. Di sini kasta lebih terlihat sebagai pembagian peran (job description) yang tidak menentukan posisi hirarkis.

Meski secara teoritik dan konsep hirarki sosial berdasar kasta ini sudah tidak ada, namun secara faktual kasta masih terlihat jelas dalam konstruksi sosial masyarkat Indonesia saat ini. Misalnya, tokoh agama (Islam); ulama, kiai, habaib memiliki privelese sehingga menempatkan mereka pada posisi sosial tinggi seperti para resi. Mereka berada pada wilayah yang sakral dengan posisi yang terhormat sebagaimana layaknya kaum Brahmana. Para tokoh agama ini adalah manifestasi dari kasta Brahmana

Kasta Kesatria dalam masyarakat Indonesia saat ini terlihat pada sosok para politisi, pejabat dan aparatur negara. Mereka memiliki tugas untuk bertarung dan bertempur dalam berbagai kompetisi untuk mempertahankan kepentingan, baik kepentingan bangsa dan maupun kepentingan politik.

Sebagai manifestasi dari kasta Brahmana, maka tugas dan fungsi para tokoh dan pemimpin agama adalah memberikan bimbingan moral dan keteladanan akhlak kepada para Kesatria  (para pejabat dan politisi) yang sedang bertarung memperjuangkan kepentingan bangsa.  Menjadi wasit yang adil dalam kontestasi politik para Kesatria agar proses politik berjalan secara sehat, jujur dan adil, sekaligus menjadi acuan moral bagi masyarakat dalam berpolitik. Inilah tugas dan fungsi utama kaum Brahmana. Dalam dunia politik, wilayah permainan para Brahmana adalah pada politik tingkat tinggi (hight politik) yaitu politik moral, kebangsaan dan nilai bukan pada politik praktis.

Memasuki tahun politik, peran dan posisi politik para tokoh agama, sebagai representasi kasta Brahamana, menjadi sangat penting dan strategis. Hal inilah yang menyebabkan para politisi, sebagai representaasi kasta Kesatria, berebut mendekat pada tokoh-tokoh agama untuk mendapatkan legitimasi. Tak hanya mendekati tetapi mereka juga menarik-narik para kyai, ulama dan habaib untuk turun ke medan pertarungan.

Ini merupakan kondisi yang berbahaya, karena ketika para Brahmana (tokoh agama) turun lapangan dalam kancah  pertarungan para Kesatria (politisi), maka masyarakat akan kehilangan acuan moral, tidak ada lagi wasit yang adil yang dapat menjaga dan menegakkan moral dan etik politik. Kondisi ini dapat menjadi penyebab terjadinya kekacauan sosial (social disorder) karena para Brahmana yang berfungsi sebagai penjaga tatanan sosial telah kehilangan peran akibat masuk dalam medan pertarungan.

Kaum Brahmana (para tokoh agama) yang tergoda untuk memainkan peran kaum Kesatria (politisi) yaitu masuk dalam arena pertarungan politik praktis dapat menjadi penyebab rusaknya tatanan sosial, karena hilangnya fungsi dan peran salah satu subsistem sosial yaitu penjaga moral dan acuan laku masyarakat.

Jika tatanan sosial sudah rusak, maka tinggal menunggu waktu munculnya kondisi anomie. Suatu kondisi dimana masyarakat hidup tanpa nilai, karena nilai lama dihancurkan dan nilai baru belum terbentuk. Dalam kondisi demikian masyarakat akan mudah terjebak dalam konflik dan krisis multi dimensi yang berkepanjangan.

Kolumnis
Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com