Jokowi dan Prabowo Telah Memilih Jalan Sejarah yang Salah

Entah disadari atau tidak, Jokowi, juga Prabowo, telah memilih jalan sejarah yang salah.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Dalam politik dikenal ungkapan "Berada di Sisi Sejarah yang Salah" (The Wrong Side of History); atau "Salah secara Politis" (Politically incorrect).

Ungkapan itu merujuk pada kesalahan langkah dalam memilih atau mengambil posisi politik. Sikap Dan pilihan yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kemajuan peradaban, prinsip keadilan, demokrasi, serta kemanusiaan.

Politik ambisi pribadi yang salah dalam perspektif sejarah itu biasanya diambil oleh politikus korup, pemimpin yang haus kekuasaan, diktator, atau raja tiran.

Hari-hari ini kita sedang menyaksikan langkah salah yang diambil oleh Jokowi, presiden yang pernah begitu populer dan dipuja-puji, tapi telah salah melangkah, akibat godaan ingin terus berkuasa dan membangun dinasti politik.

Apa saja sisi kesalahan politik Jokowi yang akan dicatat dalam sejarah?

Satu, Rekonsiliasi dan Berkoalisi dengan Prabowo. Jokowi mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, usai Pilpres 2019, dengan maksud mengkooptasi agar mendukung pemerintahannya dan tidak ada oposisi.

Taktik rekonsiliasi ini memang memudahkan Jokowi, namun menegasi keseimbangan dan kontrol atas kekuasaan. Jalannya pemerintahan memang lebih mudah dan lancar, namun pemerintahan menjadi otokratis-oligarkis, dan tidak-demokratis.

Beberapa contoh produk aturan otokratis adalah: revisi UU KPK, penetapan UU Cipta Kerja, (Omnibus Law), konflik Pulau Rempang, dan ambisi mewujudkan IKN dalam tempo singkat. Termasuk skandal putusan MK, pencawapresan Gibran, mengangkat Kaesang sebagai Ketua PSI, dan kegaduhan politik lainnya menjelang Pilpres 2024.

Dua, orientasi pembangunan fisik (Soehartonomic). Jokowi meniru pendekatan negara korporatis dan developmentalis ala Orde Baru Soeharto yang terbukti gagal, karena tidak dibarengi good governance. Melahirkan maraknya praktik korupsi, kolusi nepotisme (KKN).

Tiga, Meninggalkan PDIP. Jokowi melawan partai yang membesarkan karir politiknya dan keluarganya, demi ambisi melanjutkan kekuasaan dan membangun dinasti. Secara personal, Jokowi akan selalu diingat dalam sejarah, dan menjadi contoh, pengkhianatan politik. Ingat sejarah akan mencatat.

Orba Soeharto menjadi rakus, culas, dan manipulatif setelah 32 tahun berkuasa, Neo-Orba Jokowi cuma perlu sembilan tahun. Akhir kekuasaan Orba Soeharto dan Neo-Orba Jokowi sepertinya ada kemiripan, sama-sama berujung pada Prabowo sebagai aktor politik utama tragedi politik.

Dulu Orba Soeharto berakhir setelah kasus penculikan dan kerusuhan di berbagai wilayah pada 1998. Kita lihat bagaimana akhir dari Neo-Orba Jokowi. Apakah Prabowo kembali bernyali melakukan aksi-aksi politik dramatik sebagaimana yang ia lakukan 25 tahun lalu?

Yang pasti, Orba Soeharto dan Neo-Orba Jokowi sama-sama berhadapan dengan Megawati Soekarnoputri dan PDIP.

Entah disadari atau tidak, Jokowi, juga Prabowo, telah memilih jalan sejarah yang salah. Apakah sejarah kelam Indonesia akan berulang? Mari kita tunggu di tahun 2024.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com