Kuliner Liar di Hari Hutan

Di tengah krisis iklim dan tekanan terhadap keanekaragaman hayati, kuliner liar dapat menjadi jembatan menuju sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Hutan bukan sekadar penyedia oksigen, tetapi juga penyeimbang iklim alami. Ia juga lumbung pangan yang kaya nutrisi. Lebih dari lima miliar orang di dunia memanfaatkan hasil hutan, baik kayu maupun bukan-kayu, untuk makanan, obat-obatan, dan penghidupan.

Hutan juga memainkan peran penting dalam mendukung pertanian, dengan menjaga kesuburan tanah, menyediakan air bersih, membantu penyerbukan, dan menjadi peneduh alami bagi ternak. Di berbagai daerah, keberadaan hutan dan pepohonan memberi kontribusi signifikan terhadap penghasilan rumah tangga pedesaan. Perannya sebagai penyangga ketahanan pangan lokal sering kali tidak disadari, padahal sangat vital.

Setiap 21 Maret, dunia memperingati “Hari Hutan Internasional” (International Day of Forests) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Peringatan ini bertujuan mengangkat kesadaran akan pentingnya semua jenis hutan. Negara-negara di seluruh dunia diajak untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang berfokus pada perlindungan dan pemanfaatan hutan. Tema tahun 2025, “Hutan dan Pangan” (Forests and Foods), menyoroti peran hutan dalam ketahanan pangan, gizi, dan penghidupan berkelanjutan.

Pangan tidak selalu datang dari pasar swalayan, kebun teratur, atau peternakan modern. Di banyak tempat, makanan justru berasal dari hutan belantara yang tampak sunyi, tetapi sesungguhnya menyimpan kekayaan luar biasa. Buah hutan yang asam segar, umbi dari tanah lembap, daun-daunan beraroma tajam, madu, daging satwa liar, hingga serangga yang gurih - semua itu bagian dari kuliner liar.

Sebagai praktik pangan yang bersumber langsung dari alam liar dan diwariskan lintas generasi, kuliner liar adalah kegiatan mengumpulkan, memburu, mengolah, dan menyajikan bahan makanan yang belum dibudidayakan dari alam. Dalam konteks keberlanjutan, ia bukan sekadar pilihan alternatif. Kuliner liar mencerminkan cara hidup yang selaras dengan alam. Masyarakat tradisional yang menjadikan hutan sebagai dapur dan apotek tahu persis cara memetik hasil tanpa merusak sumbernya. Mereka memahami siklus alam: kapan boleh panen, dan kapan harus memberi waktu untuk pulih. Di situlah letak kearifan lokal yang tak ternilai.

Dalam rangka Hari Hutan Internasional, sebuah diskusi dan bedah buku digelar untuk mengenalkan lebih jauh kekayaan kuliner Nusantara. Buku yang dibahas berjudul “Rahasia Alam: Eksplorasi Kuliner Liar dari Belantara Jantung Kalimantan,” karya Ambriansyah dan Albertus Tjiu. Diterbitkan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dengan riset yang didukung oleh program Tropical Forest Conservation Act Kalimantan, buku ini mengangkat potensi pangan dari hutan Kalimantan yang kerap terabaikan.
 
Terdapat 126 jenis tumbuhan dan jamur yang didokumentasikan dalam buku tersebut. Bentuknya beragam: pohon, semak, hingga tanaman merambat. Bagian yang dimanfaatkan pun tak kalah beragam—batang, daun, bunga, buah, biji, hingga akar. Dari jumlah tersebut, 60 jenis bisa langsung dikonsumsi, 27 harus diolah terlebih dahulu, dan 29 lainnya bisa dimakan mentah maupun dimasak. Data ini menunjukkan betapa kayanya sumber pangan dari hutan Kalimantan yang belum tergarap optimal.

Buku juga mengulas tumbuhan yang digunakan untuk keperluan lain: sebagai tali, bahan kerajinan, alat penangkap ikan, hingga bahan bangunan. Beberapa mungkin sudah dikenal masyarakat luas, namun ada pula jenis yang nyaris tak terdengar. Lewat buku ini, semua itu menjadi lebih terlihat dan terdokumentasikan dengan baik.

Diskusi soal kuliner liar bukan sekadar membicarakan bahan makanan, melainkan juga membuka ruang untuk menelusuri relasi manusia dengan alam secara utuh. Peserta diajak mengenali lanskap hutan, memahami budaya yang tumbuh di dalamnya, dan menghargai pengetahuan lokal yang selama ini menjaga keberlanjutan.

Di tengah krisis iklim dan tekanan terhadap keanekaragaman hayati, kuliner liar dapat menjadi jembatan menuju sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan. Maknanya bukan hanya tentang rasa, tetapi tentang hubungan, keberlanjutan, dan harapan. Menyantap makanan dari hutan berarti menyerap kearifan dan ketahanan yang menjejak waktu dan generasi.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com