Pemanasan Global Kian Parah?

Dalam dua tahun terakhir, suhu global meningkat lebih dari 0,4°C, dengan puncaknya pada Agustus 2024 mencapai +1,6°C dibandingkan suhu rata-rata pada awal abad ke-20 (1880-1920).

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Profesor James Edward Hansen dari Columbia University, Amerika Serikat, adalah salah satu ilmuwan iklim paling berpengaruh di dunia. Ia dikenal karena keberaniannya mengungkap dampak pemanasan global dan realitas perubahan iklim selama puluhan tahun terakhir.
 
Di usianya ke-83, Prof. Hansen bersama 17 peneliti lainnya dari berbagai negara baru-baru ini menerbitkan temuan mereka di majalah Environment: Science and Policy for Sustainable Development, dengan judul: “Pemanasan Global Semakin Cepat: Apakah Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Publik Sudah Terinformasi dengan Baik?”
 
Dalam dua tahun terakhir, suhu global meningkat lebih dari 0,4°C, dengan puncaknya pada Agustus 2024 mencapai +1,6°C dibandingkan suhu rata-rata pada awal abad ke-20 (1880-1920). Lonjakan ini sebagian disebabkan oleh fenomena El Niño, yang memang dapat meningkatkan suhu secara sementara.
 
El Niño adalah fenomena pemanasan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur yang terjadi setiap beberapa tahun. Pemanasan ini mengganggu pola cuaca global, menyebabkan cuaca lebih kering di beberapa wilayah seperti Indonesia dan Australia, serta hujan lebat dan banjir di Amerika Selatan. El Niño juga meningkatkan suhu global karena lautan melepaskan lebih banyak panas ke atmosfer.
 
Namun, banyak ilmuwan terkejut karena pemanasan yang terjadi dua kali lebih besar dari yang diperkirakan untuk El Niño yang relatif lemah pada 2023-2024.
 
Faktor utama lainnya adalah berkurangnya polusi udara dari kapal, akibat aturan baru yang diberlakukan pada 2020 oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO). Kapal mengeluarkan aerosol melalui penggunaan bahan bakar yang menghasilkan sulfur dioksida dan di atmosfer berubah menjadi aerosol sulfat. Partikel ini membantu pembentukan awan yang lebih cerah dan luas, memantulkan sinar matahari dan mendinginkan Bumi. Namun, sejak aturan pembatasan sulfur pada 2020, emisi aerosol kapal menurun, mengurangi efek pendinginan tersebut. Akibatnya, lebih banyak panas terserap oleh Bumi, sehingga mempercepat pemanasan global. Inilah paradoks lingkungan hidup, ketika ada kebijakan untuk mengurangi pencemaran namun ternyata menimbulkan masalah lainnya.
 
Pemanasan akibat berkurangnya aerosol ini tidak akan hilang meskipun El Niño berganti dengan fase dingin La Niña, kebalikan dari El Niño, ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur menjadi lebih dingin dari biasanya. Hal ini menyebabkan hujan lebih banyak di Asia Tenggara dan Australia, serta kekeringan di Amerika Selatan.
 
Suhu global diperkirakan akan tetap berada di sekitar atau di atas +1,5°C selama beberapa tahun ke depan. Suhu permukaan laut yang tetap tinggi berkontribusi pada peningkatan hotspot laut yang merusak terumbu karang dan ekosistem laut lainnya.
 
Dampak terbesar yang dirasakan manusia adalah meningkatnya cuaca ekstrem. Badai tropis, tornado, dan petir menjadi lebih kuat, meningkatkan risiko banjir besar. Suhu yang lebih tinggi juga memperparah gelombang panas dan kekeringan, termasuk flash drought, yaitu kekeringan yang muncul dengan cepat bahkan di daerah yang biasanya memiliki curah hujan cukup.

Di wilayah kutub, menurut Prof. Hansen dan para peneliti, dampaknya semakin serius. Pencairan es di Kutub Utara dan Selatan terjadi lebih cepat dari perkiraan, sehingga lebih banyak air tawar mengalir ke Samudra Atlantik Utara. Jika terus berlanjut, AMOC (Atlantic Meridional Overturning Circulation) - sistem arus laut yang mengangkut air hangat dari daerah tropis ke Atlantik Utara dan membawa air dingin kembali ke selatan—berisiko berhenti dalam 20-30 tahun ke depan.

Pemanasan global melemahkan AMOC karena masuknya air tawar dalam jumlah besar mengganggu keseimbangan arus laut. Dampaknya meliputi musim dingin ekstrem di Eropa, badai lebih kuat di Amerika Utara, serta kekeringan parah di Afrika dan Asia Selatan. Selain itu, permukaan laut dapat naik beberapa meter, meningkatkan risiko banjir besar di wilayah pesisir.

Pendekatan baru diperlukan untuk memahami dan menangani krisis ini, melengkapi metode yang digunakan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Pengamatan langsung terhadap perubahan iklim yang sedang berlangsung, serta data dari masa lalu Bumi (paleoklimatologi), dapat digunakan untuk menguji model dan meningkatkan pemahaman mengenai dinamika iklim.
 
Sejumlah ilmuwan membantah paparan Prof. Hansen, namun analisisnya sudah terbukti banyak yang benar. Selain itu, kegiatannya tidak hanya di laboratorium, karena Hansen juga aktif dalam advokasi lingkungan, bahkan beberapa kali ditangkap dalam aksi protes demi mendorong kebijakan iklim yang lebih ambisius.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com