Beberapa waktu terakhir, publik kita sering dihadapkan pada berita-berita yang membuat dahi mengernyit: pejabat yang sibuk flexing harta di media sosial, kebijakan pajak yang dinaikkan tanpa dialog, hingga ucapan arogan yang seolah menantang rakyat untuk turun ke jalan. Belum lagi perilaku ugal-ugalan oknum pejabat yang minta didahulukan di jalan tanpa menghargai pengendara lain. Fenomena ini tidak sekadar soal gaya, melainkan menyentuh hal yang lebih dalam: kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya.
Rakyat kecil yang berjuang dengan daya beli melemah, melihat elite yang justru sibuk mempertontonkan kemewahan. Wajar bila timbul rasa getir: “Apakah pemimpin kami benar-benar mengerti apa yang kami hadapi?”
Inilah wajah yang sering muncul dari apa yang disebut Presiden Prabowo sebagai “serakahnomics” — ekonomi yang digerakkan oleh keserakahan, bukan oleh kreativitas dan keberpihakan.
Mengapa Hal Ini Terjadi?
Dari kacamata NeuroLeadership, perilaku arogan dan kebijakan yang tidak empatik sering lahir bukan semata karena niat buruk, tetapi karena mekanisme otak manusia itu sendiri.
• Otak terancam → respon defensif. Saat posisi, status, atau kekuasaan pejabat merasa terancam, amygdala mengambil alih. Ucapan pun keluar dalam bentuk tantangan, bukan ketenangan.
• Dorongan status lebih dominan daripada empati. Status sosial memberi dopamin bagi otak pejabat. Flexing menjadi cara cepat menunjukkan kekuasaan, walau dampaknya menyakiti rasa keadilan publik.
• Budaya organisasi/institusi yang membiarkan. Bila norma di sekelilingnya menoleransi arogansi, maka otak pun belajar bahwa itu “aman” untuk dilakukan.
Akar masalah ini jelas: kepemimpinan yang gagal mengendalikan impuls otak sendiri, dan gagal membaca respons otak rakyat.
Prinsip NeuroLeadership yang Bisa Menjadi Obor
Namun, ada kabar baik. Ilmu otak memberi kita jalan keluar. Beberapa prinsip sederhana bisa menjadi obor untuk mengubah arah kepemimpinan:
• SCARF Model – memastikan setiap kebijakan tidak merendahkan status rakyat, memberi certainty (kepastian), memberi ruang autonomy, membangun relatedness (keterhubungan), dan menjaga fairness (keadilan).
• Self-regulation – melatih diri untuk tidak langsung merespons kritik dengan emosi, tetapi dengan refleksi.
• Empathy framing – mengubah kata-kata dari menantang menjadi merangkul. “Kami mendengar suara Anda” jauh lebih kuat daripada “Silakan demo kalau mau.”
• Growth mindset – mencari solusi kreatif untuk penerimaan negara: memperluas basis pajak lewat pertumbuhan, bukan sekadar menaikkan tarif.
Apa yang Bisa Dilakukan Berbeda?
• Dari simbol kekuasaan ke simbol kerendahan hati. Seorang pejabat yang memilih naik KRL untuk hadir di kantor memberi pesan yang lebih kuat daripada 10 pidato tentang keberpihakan rakyat.
• Dari keputusan sepihak ke dialog partisipatif. Melibatkan UMKM atau warga dalam musyawarah sebelum mengubah aturan pajak menciptakan rasa keadilan dan keterhubungan.
• Dari retorika defensif ke bahasa pengayoman. Ucapan yang sederhana tapi empatik bisa menjadi penenang di tengah gejolak.
Insight Kepemimpinan: Menjadi Pemimpin yang Mengayomi
Kepemimpinan publik bukan sekadar urusan birokrasi. Ia adalah seni memelihara otak kolektif bangsa: membuat rakyat merasa dihargai, aman, terhubung, dan adil.
Seorang pemimpin mungkin bisa bertahan dengan arogansi untuk sementara, tetapi ia akan kehilangan energi terkuat dari sebuah bangsa: kepercayaan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang menguasai seni NeuroLeadership — mengendalikan diri, berempati, dan membangun fairness — akan mampu menciptakan hubungan emosional yang lebih dalam antara pemerintah dan rakyat.
Dan dari hubungan itulah lahir stabilitas, inovasi, dan harapan.
“Kepemimpinan sejati bukan sekadar mengelola kekuasaan, tetapi mengelola otak—otak kita sendiri agar tidak arogan, dan otak rakyat agar merasa dihargai, aman, dan terhubung.”
Salam Otak Sehat ❤