1. Kenapa Kita Sering Meremehkan Kapasitas Sendiri
Pernahkah kita menghadapi masalah lalu spontan merasa: “Saya nggak sanggup…”? Itu wajar. Otak kita memang dirancang overprotektif.
Ada sistem yang disebut BIS (Behavioural Inhibition System)—ibaratnya rem darurat dalam mobil. BIS bekerja fokus pada ancaman: takut gagal, malu, ditolak. Tujuannya baik: menjaga kita tetap aman. Tapi jika rem ini terlalu dominan, kita jadi ragu, menunda, bahkan meremehkan kemampuan sendiri.
Padahal di sisi lain, otak punya “gas”: BAS (Behavioural Activation System) yang membuat kita berani melangkah, mencari peluang, dan meraih reward. Kapasitas sejati sering baru muncul ketika kita berani sedikit menekan gas ini.
2. Apa yang Ditemukan dari Penelitian Neuropsikologi tentang Ujian & Kapasitas
Penelitian menunjukkan bahwa cara otak menafsir ujian sangat menentukan:
• Jika dianggap ancaman, tubuh memproduksi kortisol berlebihan, kita jadi tegang dan sulit berpikir jernih.
• Jika dianggap tantangan, otak logis (prefrontal cortex) aktif, stres terkendali, dan performa justru naik.
• Keyakinan “saya mampu” terbukti menekan pusat ketakutan (amigdala), sehingga kita lebih tenang.
• Neuroplastisitas: setiap kali kita berhasil melalui tantangan, otak benar-benar berubah—jalur dopamin makin kuat, rasa percaya diri bertambah.
• BAS aktif saat kita melihat peluang atau hadiah → memicu motivasi. Sebaliknya BIS aktif saat fokus pada risiko → kita berhenti di tempat.
Dengan kata lain, ujian bukan hanya menguji batas, tapi juga melatih otak untuk menggeser dominasi rem (BIS) ke gas (BAS)—dari menghindar ke bergerak.
3. Insight untuk Membangun Tahan Banting
Bagaimana caranya melatih “gas” otak ini?
1. Ubah cara pandang. Katakan pada diri sendiri: “Ini bukan beban, ini latihan.” Dengan begitu, otak otomatis lebih melihat peluang.
2. Rayakan langkah kecil. Satu keberhasilan sederhana—selesaikan tugas, olahraga sebentar, ambil keputusan kecil—cukup untuk memicu dopamin dan membuat otak lebih percaya diri menghadapi tantangan berikutnya.
3. Seimbangkan tekan–pulih. Resiliensi bukan tentang “tahan terus tanpa henti,” melainkan tahu kapan menekan diri dan kapan memberi waktu istirahat. Seperti otot, otak juga butuh recovery agar makin kuat.
4. Indikator Pertumbuhan Jiwa dan Batin
Bagaimana tahu kita sedang bertumbuh? Ciri-cirinya antara lain:
• Tidak lagi dikuasai rasa takut berlebihan.
• Lebih sering terdorong mencoba hal baru.
• Ada jeda sebelum bereaksi: kita memilih respon, bukan sekadar reaktif.
• Pulih lebih cepat setelah kecewa atau gagal.
• Bicara ke diri sendiri lebih sehat: dari “nggak mampu” → “belum mampu, tapi belajar.”
• Lebih tenang dan hadir untuk orang lain.
✨ Kesimpulan
Resiliensi bukan soal lahir dengan mental baja, tapi soal melatih otak untuk menyeimbangkan rem (BIS) dan gas (BAS). Setiap ujian yang kita lewati memperkuat jalur dopamin, menambah kapasitas, dan menumbuhkan keyakinan diri.
Semakin sering kita mencoba, semakin jelas bahwa kemampuan kita selalu lebih besar daripada yang kita kira.
Salam Otak Sehat ❤