Cara Beragama Orang Awam

Cara beragama orang awam dan orang pinggiran memang berbeda dengan mereka yang sudah mapan dan berkecukupan.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Pada awal tahun 2010, penulis berencana melakukan kegiatan konser musik keliling ke pesantren bersama seorang musisi terkenal yang menjadi idola anak-anak muda. Konser tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan anak jalanan, anak-anak punk dan para pengamen kepada pesantren. Penulis membayangkan kalau sang musisi idola datang ke pesantren dan bermain musik maka anak-anak muda itu akan ikut datang ke pesantren.

Untuk menghindari kontroversi dan hal-hal yang tidak diinginkan, penulis konsultasi kepada salah seorang Kiai. Setelah menjelaskan niat dan maksud pelaksanaan konser di pesantren, penulis bertanya apakah rencana tersebut bisa dilaksanakan?

Mendengar pertanyaan penulis, sang Kiai menjawab: “harus dilaksanakan, ini niat baik dengan tujuan mulia. Tidak usah melihat jenis musiknya, yang penting dapat mengajak anak-anak muda dan para pengamen mau datang ke pesantren.”

Meski senang atas jawaban tersebut, namun penulis ragu apakah jawaban tersebut serius. Untuk memantapkan hati penulis bertanya lagi: “maaf Kiai, apakah nanti tidak menggangu pesantren?”

“Sudah menjadi kewajiban bagi pesantren untuk memberikan bimbingan kepada mereka yang ada di jalanan. Kalau pesantren tidak bisa mendatangi mereka, ya biar mereka yang datang ke pesantren. Nah, kalau ada kegiatan yang dapat mendatangkan anak-anak itu ke pesantren, kan bagus,” jawab sang Kiai sambil menatap tajam ke penulis.

“Saat mereka menonton konser, ajari mereka sholawat dan ajak mereka istighosah,” kata Kiai sambil tersenyum.

“Bagaimana caranya, Kiai?” tanya penulis penasaran.

“Buka acara konser dengan istighasah. Tidak perlu panjang-panjang. Baca doa pendek-pendek saja supaya bisa diikuti mereka, seperti istighfar, tasbih, kalimah tauhid. Setelah itu ajak mereka membaca shalawat di sela-sela lagu.”

Nggih Kiai, mohon doanya,” jawab penulis mantap.

Setelah mendapat restu dan wejangan dari Kiai, makin mantap niat penulis untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Yang membuat penulis lebih yakin, sang Kiai tidak hanya memberikan wejangan dan restu, tetapi juga mencarikan beberapa pesantren yang menjadi tempat konser musik.

Singkat cerita, kegiatan konser musik di pesantren kami laksanakan dengan menjankan semua saran dan petunjuk Kiai. Sebelum konser dimulai kami buka dengan istighasah, yang diikuti oleh seluruh penonton yang hadir. Di sela-sela pergantian lagu kami ajak para penonton membaca sholawat dan mendengarkan tausiyah.

Kami sempat panik saat pertama kali konser dilaksanakan. Hampir seluruh penonton yang hadir adalah anak-anak punk, berpakaian hitam, berambut jabrik dengan tubuh penuh tato. Mereka datang dari berbagai daerah dengan nebeng truk atau mobil bak terbuka, bahkan banyak yang berjalan kaki.

“Bagaimana mengajak mereka istighosah dan sholawat,” pikir penulis dalam hati sambil melihat wajah dan penampilan mereka yang garang.

Mereka merangsek mendekat panggung yang tanpa barikade. Karena panggung memang di-setting untuk pengajian, bukan untuk konser, jadi ya tidak ada barikade.

Dalam kondisi yang makin panik, penulis mencoba menenangkan diri sambil membaca shalawat dalam hati. Saat konser mau dimulai penulis naik panggung, membaca salam dengan suara lantang. Alhamdulillah, mereka membalas dengan penuh semangat. Di luar dugaan, setelah menjawab salam mereka tenang, hening. Kemudian penulis mengajak mereka membaca doa istghosah sebagaimana pesan Kiai.

Subhanallah..., mereka mengikuti dengan penuh antusias. Saat membaca kalimat tauhid, suara mereka menggelegar, sampai merinding mendengarnya. Selanjutnya acara berjalan lancar. Saat diajak sholawat mereka juga mengikuti dengan suara lantang. Ternyata mereka hafal shalawat badar dan beberapa shalawat pendek. Bahkan ketika penulis memberikan tausiyah mereka mendengarkan sambil duduk, kemudian berdiri lagi ketika sang artis idola menyanyikan lagu.

Alhamdulillah, kegiatan ini dapat berjalan selama dua tahun. Kami keliling dari Banyuwangi sampai Aceh, di 79 pesantren. Setelah itu, bergabung dengan kami grup band Slank untuk melakukan kegiatan yang sama. Kami keliling dengan Slank selama tiga tahun dengan mengunjungi lebih 80 pesantren, mulai dari Probolinggo sampai Aceh.

Berkat acara konser musik keliling pesantren ini, akhirnya banyak penggemar Iwan Fals yang tergabung dalam organisasi OI (orang Indonesia) dan para Slanker (penggemar Slank) yang akhirnya mendekat ke pesantren, melakukan kegiatan bersama dengan pesantren. Pernah suatu saat di tahun 2012 penulis diundang komunitas OI Karawang untuk memberikan tausiyah dalam acara maulid yang diselenggarakan oleh mereka.

Saat kegiatan konser keliling pesantren berjalan dua tahun, penulis sempat sowan kepada Kiai yang memberi restu kegiatan ini.

“Bagaimana hasil konser kelilingmu ke pesantren,” tanya sang Kiai saat bertemu penulis.

“Alhamdulillah Kiai, sekarang anak-anak OI, Slanker dan anak-anak punk yang biasa ngamen di jalanan sudah bisa shalawat dan istighasah.”

“Alhamdulillah..., “ kata Kiai dengan sorot mata berbinar. “Syukurlah kalau begitu. Biar saja mereka bershalawat dan istighasah dulu. Jangan disuruh shalat nanti keberatan.”

Penulis terkejut mendengar ucapan Pak Kiai. Mengapa tidak boleh mengajak mereka shalat, padahal shalat adalah kewajibaan yang menjadi tiang agama. Penulis merasa ada yang aneh dengan pernyataan Kiai.

“Maksudnya bagaimana, Kiai,” tanya penulis penasaran.

“Ya, mereka tidak usah diajak shalat dulu. Mereka itu kan belum seperti kita, yang sudah mapan hidupnya. Mereka itu hidupnya masih di jalanan, untuk menanggung beban hidup sendiri saja masih susah, maka jangan dituntut menjalankan syariah yang berlebihan supaya agama tidak jadi beban mereka.”

Mendengar jawaban Kiai, batin rasanya menjadi sejuk dan teduh. “Beginilah cara mengajarkan agama para ulama Nusantara. Mereka tidak menjadikan syariat sebagai beban, tetapi menjadi sarana membangun kesadaran dan menata akhlak manusia. Agama tidak menjadi alat menghakimi manusia, tetapi sarana membahagiakan umat,” kata penulis dalam hati.

“Mereka bisa bershalawat dan mau istighasah saja sudah cukup, yang penting mereka sudah tahu jalan pulang. Kapan saja mereka sadar dan mau balik (bertaubat-pen.) mereka sudah tahu jalannya,” demikian kata Kiai dengan suara lebut.

Apa yang dilakukan Kiai merupakan bentuk kebijakan (wisdom) dalam berdakwah menanamkan agama kepada masyarakat. Beliau sadar bahwa objek dakwahnya adalah orang awam, anak jalanan yang belum bisa dibebani dengan hukum syariah sebagaimana mestinya. Ada tahapan yang perlu dilakukan dalam mengajarkan agama, sesuai dengan kondisi sosial psikologis objek dakwah.

Dalam konteks ini, bukan berarti Kiai tersebut memperbolehkan umat Islam meninggalkan shalat, tetapi dalam proses latihan seseorang tidak perlu dibebani dengan kewajibana syariah di luar kemampuannya. Karena jika hal tersebut dilakukan, dapat membuat orang tersebut menjadi antipati dan menjauh dari agama.

Yang terpenting dalam dakwah adalah membuat seseorang nyaman dan merasa senang pada agama. Hal inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Misalnya terhadap orang yang suka mabuk, Nabi tidak langsung melarang mereka berhenti minum, tetapi menyuruhnya mengurangi minum secara bertahap. Setelah dapat mengurangi minum hingga akhirnya dapat berhenti munim, baru Nabi melarang minum dan mengharamkannya.

Inilah cara menjaga iman orang awam. Mereka tidak perlu dijejali dengan berbagai tuntutan kewajiban syariah yang dapat menjadi beban. Yang terpenting adalah menjaga iman mereka dengan membuat mereka bahagia dan senang. Setelah merasakan nikmatnya beragama, dengan sendirinya mereka akan terketuk untuk menjalankan ketentuan syariah.

Kita bisa saja tidak sepakat dengan strategi yang dilakukan oleh sang Kiai. Tapi secara faktual, justru ini cara paling ampuh menjaga iman orang awam. Dan cara seperti ini juga pernah dilakukann oleh Nabi Muhammad SAW. Cara-cara dakwah seperti yang dilakukan oleh Kiai ini memang perlu dicontoh, karena cara beragama orang awam dan orang pinggiran memang berbeda dengan mereka yang sudah mapan dan berkecukupan.

Kolumnis
Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com