Selama lima dekade berkecimpung di dunia lingkungan hidup, saya menyadari satu hal penting: perubahan tidak hanya digerakkan oleh data dan kebijakan, tetapi juga oleh cerita. Bukan cerita besar tentang penyelamatan planet bumi, melainkan cerita kecil, jujur, dan reflektif tentang mengapa seseorang mencintai bumi. Karena itu, saya menekuni genre yang jarang dianggap strategis dalam komunikasi lingkungan: memoar.
Berbeda dengan biografi, memoar bukan seluruh kisah hidup seseorang, melainkan potongan pengalaman yang menyimpan makna, emosi, dan identitas.
Greg Wrenn, seorang penulis pemenang penghargaan, profesor, dan pengajar eco-spiritual di Amerika Serikat menggambarkan eco-memoir sebagai genre hibrida antara transformasi pribadi dan kesadaran lingkungan. Dengan menggabungkan ingatan dan kerentanan, eco-memoir mengajak berpikir dan merasakan, memunculkan kepedulian serta refleksi, sehingga membuka ruang bagi tumbuhnya kesadaran ekologis yang lebih dalam.
Saya telah menulis dan menyunting tiga buku memoar yang memperlihatkan bagaimana narasi personal dapat menjadi jembatan menuju pemahaman lingkungan hidup yang lebih utuh.
Pengalaman menulis tiga buku ini saya rangkum dalam makalah reflektif berjudul Memoirs as Convivial Practice: Amplifying Personal Narratives for the Environment, yang bermakna “Memoar Sebagai Ruang Bersama: Menguatkan Cerita Pribadi untuk Bumi.” Makalah tersebut mendapat kehormatan untuk dipresentasikan di forum bergengsi International Environmental Communication Association – Conference on Communication & Environment 2025, di Hobart, Tasmania, Australia, pada 25 Juni 2025.
Buku pertama, “Menjalin Ikhtiar Merawat Bumi: Memoirs by Climate Reality Leaders,” merupakan hasil kolaborasi dengan para climate reality leaders dari berbagai latar belakang yang telah mengikuti pelatihan perubahan iklim bersama Al Gore. Saya tidak memberikan kerangka kaku, hanya pertanyaan pemantik: “Apa yang membuat Anda peduli pada isu iklim?” Jawaban mereka menjelma menjadi 93 tulisan dari 15 negara, yang mencerminkan kedalaman pengalaman—bukan jargon ilmiah. Tulisan-tulisan ini menyuarakan keyakinan yang tumbuh dari pengalaman hidup: melihat kampung halaman yang berubah, mengalami bencana, atau merenungkan nasib anak di tengah iklim yang berubah.
Menulis memoar kolektif ini membuka mata saya bahwa setiap orang, tanpa harus menjadi ilmuwan atau aktivis, memiliki cerita yang bermakna untuk dibagikan. Memoar menjadi ruang klarifikasi, sekaligus refleksi diri yang mendalam.
Buku kedua, “Comfort Food Memoirs: Kisah Makanan Yang Menenangkan Beserta Resepnya,” menyatukan 65 penulis dari berbagai profesi dan usia yang menorehkan kisah tentang makanan yang menenangkan hati mereka. Melalui kenangan kuliner, mereka mengungkap kisah keluarga, tradisi lokal, dan praktik ramah lingkungan di dapur. Tanpa menyebut kata “emisi” atau “jejak karbon,” narasi yang terkumpul justru memperlihatkan bahwa menikmati makanan lokal, musiman, dan berbasis nabati adalah bagian dari kehidupan yang berkelanjutan.
Memasak bukan sekadar aktivitas, tetapi wujud cinta pada budaya, keluarga, dan bumi. Banyak pembaca mengaku tergerak untuk memasak lebih sadar, mengurangi sampah makanan, bahkan memulai percakapan di rumah soal pilihan pangan yang ramah lingkungan.
Buku ketiga, “Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi” adalah refleksi personal saya atas perjalanan panjang dalam bidang lingkungan hidup, perubahan iklim dan keberlanjutan. Menulis buku ini adalah proses menoleh ke belakang dengan kejujuran penuh—membongkar tumpukan catatan lama, menghadapi kehilangan pribadi, dan menelisik ulang apa makna keberlanjutan dalam hidup saya. Buku ini bukan rangkaian prestasi, tetapi jalinan makna: bagaimana nilai-nilai cinta bumi terbentuk dari masa kecil, dari bimbingan orang tua, dari keheningan alam, dan dari kehilangan yang menyentuh jiwa.
Ciri khas dari ketiga buku di atas bukan hanya isinya, tetapi juga prosesnya yang partisipatif dan menghargai keragaman. Ketika dibagikan dengan empati, kisah pribadi dapat menjembatani perbedaan budaya, bahasa, dan cara pandang. Kisah-kisah ini dapat mengembalikan rasa memiliki dalam wacana lingkungan dan mengarahkan kembali aksi kepada hal-hal yang dihargai oleh masyarakat.
Memoar bukan genre minor dalam komunikasi lingkungan karena menghadirkan sesuatu yang kerap luput dari laporan dan kampanye: suara manusia yang jujur, mengalir dari ingatan dan pengalaman hidup. Memoar mengajak untuk berhenti sejenak, saling mendengarkan, dan menumbuhkan kepedulian dari tempat yang paling mendasar—hati.