Perdana menteri dan anggota kabinet dikejar-kejar, dianiaya, ditelanjangi, ada yang dilempar ke sungai. Istana negara, gedung parlemen, rumah pejabat, diserbu, dijarah dan dibakar. Ini terjadi di Nepal, 8 - 9 September 2025.
Revolusi Nepal 2025, dipicu oleh kemuakan publik pada merajalelanya korupsi, ketimpangan sosial, dan pembungkaman berekspresi. Pemblokiran 26 platform media sosial, pada 4 September (termasuk Facebook, X-Twitter dan YouTube) memicu kemarahan GenZ. Yang bagi mereka adalah upaya membungkam suara kritis dan menyensor ekspresi.
Demo besar-besaran meletus di Kathmandu dan kota-kota lain, menuntut pencabutan larangan ber-media-sosial dan akuntabilitas pemerintah. Bentrokan dengan polisi meminta korban 25 nyawa dan 633 terluka. Tewasnya Martir menyulut amarah yang makin membuncah, Perdana Menteri K.P. Sharma Oli dan beberapa menteri mundur dan kabur.
Kisah tragedi politik yang hampir identik dengan Nepal juga terjadi di Sri Lanka (Juli 2022) dan Bangladesh (Agustus 2024). Tiga negara kawasan Asia Selatan yang tiga tahun terakhir menjalani revolusi. Menandai perubahan signifikan dalam lanskap politik, terjungkalnya pimpinan negara. Amukan generasi muda, GenZ, memegang peran sentral sebagai pendorong reformasi dan demokratisasi.
Yang membedakan revolusi Nepal dengan Sri Lanka dan Bangladesh adalah pemicu yang menyulut perlawanan. Untuk Nepal pemicunya adalah pemblokiran media sosial; bagi Sri Lanka krisis ekonomi - larangan impor pupuk kimia; sementara di Bangladesh soal kontroversi kuota untuk menjadi pegawai negeri.
Dibalik isu pemicu revolusi, yang sepertinya "sepele" itu tersimpan magma merajalelanya korupsi, kolusi, manipulasi, dan ketimpangan sosial. Situasi kontras penderitaan rakyat miskin versus snobisme dan hedonisme keluarga elite-politik yang pamer kekayaan, berjoget-joget di media sosial. Magma kemarahan rakyat itu meledak menjadi lava yang membakar.
Tiga perdana menteri harus mundur, kabur atau dievakuasi dari istana, lari lintang pukang, seperti maling yang ketahuan takut diamuk massa. PM Sharma Oli kabur dari Kathmandu-Nepal, Presiden Gotabaya Rajapaksa dari Kolombo-Sri Lanka, dan Perdana Menteri Sheikh Hasina dari Dhaka-Bangladesh. Peristiwa kaburnya para pemimpin negara, karena takut amukan rakyatnya, akan tercatat sebagai titik balik revolusi sipil di tiga negara Asia Selatan ini.
Pertanyaan menarik, siapa memimpin gerakan massa rakyat yang membuat para pemimpin negara itu mundur-kabur kalang-kabut? Jawaban ringkasnya, tidak ada. Rakyat menyerbu istana negara tanpa ada kejelasan komando - juga tidak ada dalang atau penunggang.
Namun, jika harus disebut, ada sejumlah nama yang bisa diidentifikasi menginspirasi dan menginisiasi rakyat untuk turun ke jalan. Dalam Revolusi Nepal 2025, beberapa tokoh muda GenZ muncul sebagai figur penting dalam memobilisasi dan menyuarakan aspirasi rakyat. Krish Yadav (18 tahun), pegiat medsos yang aktif membuat konten diskusi sosial-politik dan pendidikan. Netra Chapagain (22), aktivis mahasiswa inisiator aksi di Maitighar, menuntut reformasi dan transparansi pemerintah. Balendra Shah (35), Wali Kota Kathmandu, mantan rapper populer, sering menyuarakan kritik melalui musik dan media sosial.
Untuk revolusi Bangladesh, nama Muhammad Nahid (27), ketua Students Against Discrimination (SAD), dan pengurus lainnya, Umama Fatema dan Sarjis Alam. Mereka bisa dianggap sebagai aktivis mahasiswa penggerak protes melawan diskriminasi sistem "kuota pegawai negeri" yang berkobar menjadi perlawanan nasional.
Revolusi rakyat Sri Lanka, meski tanpa ada tokoh dominan, setidaknya ada dua nama yang dianggap mewakili "energi politik generasi muda: Pathum Kerner, orator muda pegiat media sosial, dan Wasantha Mudalige, ketua Federasi Mahasiswa Antar-Universitas Sri Lanka. Dua nama ini sering disebut sebagai figur muda cerdas, digital-savvy, dan berani. Menginspirasi rakyat dalam Revolusi Sri Lanka 2022.
Para GenZ dan pemuda itu bukan cuma mengobarkan perlawanan. Mereka juga mengusulkan tatanan politik baru pasca tumbangnya rejim korup-kleptokratik di negaranya. Mereka terlibat dalam pembentukan pemerintahan transisi, pemulihan stabilitas, dan persiapan pemilu baru yang lebih demokratis.
Di Bangladesh, setelah PM Sheikh Hasina mundur-kabur, mahasiswa mengusulkan nama Muhammad Yunus, peraih Nobel, untuk memimpin pemerintahan transisi. Di Sri Lanka pemerintahan baru hasil pemilu yang dianggap demokratis telah memilih pemerintahan naru. Di Nepal saat ini masih berproses pembentukan pemerintahan transisi, mantan Ketua Mahkamah Agung, Sushila Karki, diusulkan menjadi calon terkuat.
Pemerintahan transisi pasca-revolusi, seperti lazimnya ditugaskan untuk memulihkan hukum, keamanan, ketertiban dan mengembalikan kepercayaan publik. Kemudian mereformasi konstitusi, dengan membentuk dewan konstitusi nasional untuk menyusun agenda reformasi jangka panjang. Serta mempersiapkan pemilu yang bebas dan adil, mereformasi lembaga negara, sistem peradilan, termasuk Komisi Pemilihan Umum.
Kisah "Revolusi Tiga Negara" Asia Selatan (Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka) sayup-sayup mengingatkan kita pada apa yang terjadi saat Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia, yang menumbangkan rezim Soeharto. Situasi pra-dan-pasca revolusi hampir sama, kemarahan pada perilaku elite, tuntutan perubahan sistem politik, sosial dan hukum, yang digerakkan generasi muda (saat itu GenX dan GenY).
Setelah 27 tahun berlalu, Reformasi Indonesia kembali pada titik nadir, praktik KKN ala rezim Orba kembali merajalela. Kita baru saja melewati krisis kerusuhan sosial akhir bulan lalu, 25 - 31 Augustus 2025. Amarah amuk rakyat, luka penjarahan, dan puing pembakaran masih belum sepenuhnya padam. Kita menunggu keseriusan dan nalar pemerintah untuk bijak merespon, mengembalikan reformasi pada rel yang benar. Kita juga menunggu kiprah GenZ Indonesia, generasi yang hampir pasti kehilangan kesempatan mendapatkan "bonus demografi", jika pemerintah tidak mengelola dengan benar.
Karena, GenZ Indonesia yang tidak mendapat bonus bisa menjadi "bencana demografi", mengobarkan revolusi, menyerbu, mengejar, dan melawan kekuasaan korup yang tidak tahu diri. Sebagaimana kisah yang terjadi di tiga negara yang baru usai melewati kemelut revolusi.