Komisi Percepatan Reformasi Polri mendukung usulan agar kasus dugaan ijazah palsu milik mantan Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi disesaikan melalui mediasi. Sehingga kasus tersebut tidak perlu menggunakan jalur hukum.
Dukungan tersebut disampaikan Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menanggapi usulan aktivis Faizal Assegaf.
"Muncul ide-ide, antara lain misalnya Pak Assegaf tadi mengusulkan, bagaimana bisa tidak mediasi? Oh bagus itu, coba tanya dulu mau enggak mereka dimediasi. Baik pihak Jokowi dan keluarga maupun pihak Roy Suryo dkk, mau enggak dimediasi," katanya.
Berbicara dalam audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri, di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Rabu 19 November 2025, Jimly mengatakan kasus ijazah palsu bukan hal baru dalam dunia politik Indonesia. Jimly menyebut sejak dirinya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004 kasus serupa sudah sering muncul.
“Tahun 2004 yang pertama kali Pilpres dan Pemilu yang perselisihannya dibawa ke MK. Itu banyak sekali kasus ijazah palsu, banyak sekali," ujarnya.
Jimly menambahkan akibat banyaknya kasus ijazah palsu, MK pihaknya mengusulkan agar syarat menjadi calon anggota DPR dan DPRD dinaikkan dari semula SMP menjadi SMA. Namun ternyata kasus ijazah palsu masih terjadi.
"Maka tahun 2004 itu syarat jadi caleg SMP, atas dasar pengalaman itu kami bersama menyampaikan kepada pemerintah mesti ditingkatkan dong jangan SMP, mesti SMA ternyata tetep banyak juga ijazah palsu itu," ucap Jimly.
Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini menerangkan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 terdapat tujuh perkara ijazah palsu yang disidangkan MK. Menurut Jimly, terdapat dua persoalan besar terkait ijazah palsu, yakni penggunaannya sebagai alat persaingan politik dan lemahnya administrasi kependudukan serta sistem perijazahan negara.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini menuturkan usulan mediasi sesuai dengan semangat restorative justice yang telah diakomodasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru.
Ditambahkannya, meski dilakukan mediasi status tersangka tetap berjalan. Namun pihak yang bersengketa diberi ruang mencapai titik temu sebelum perkara dilanjutkan ke persidangan.
"Jadi status tersangkanya tetap, tapi dimediasi dulu, kalau misalnya ada titik temu, bisa tidak dilanjutkan pidananya, tetapi kalau seandainya tidak berhasil ya lanjut, kan tidak apa-apa, kan ada forum lagi yang bisa membuktikan keaslian atau tidak asli," tutur Jimly.
Meski demikian peraih gelar Doktor dari Univeristas Leiden, Belanda ini menegaskan ada konsekuensi jika kasus ijazah palsu diselesaikan dengan mediasi.
"Syaratnya, Rismon dkk harus bersedia dengan segala konsekuensinya kalau terbukti sah atau terbukti tidak sah, itu masing-masing harus ada resiko, itulah kira-kira," ungkap Jimly.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus dugaan ijazah palsu yang dilaporkan Jokowi. Saat memberikan keterangan di Gedung Ditreskrimum Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat 7 November 2025, Kapolda Metro Jaya, Irjen Asep Edi Suheri mengatakan tersangka dibagi dalam dua kluster.
Kedelapan tersangka tersebut adalah Eggi Sudjana (ES), Kurnia Tri Rohyani (KTR), M. Rizal Fadillah (MRF), Rustam Effendi (RE), dan Damai Hari Lubis (DHL). Selain itu juga Roy Suryo (RS), Tifauziah Tyassuma alias dr Tifa (TT) dan Rismon Hasiholan Sianipar (RHS).
"Berdasarkan hasil penyidikan kami menetapkan delapan orang tersangka yang kami bagi dalam dua klaster, antara lain 5 tersangka dari klaster pertama yang terdiri dari ES, KTR, MRF, RE, dan DHL," katanya.
Klaster pertama dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45 A Ayat 2 Undangan-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Klaster kedua tiga orang ditetapkan sebagai tersangka, antara lain RS, RHS, dan TT," ujar Asep.
Tersangka pada klaster 2 ini dikenakan Pasal 310, Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat 1 Juncto Pasal 48 Ayat 1, Pasal 35 Juncto Pasal 51 Ayat 1, Pasal 27a Juncto Pasal 45 Ayat 4, Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45a Ayat 2 UU ITE.



