Teori Konspirasi Penunggang Aspirasi

Gejolak sosial itu rumit dan kompleks, teori konspirasi itu sederhana, seringkali simplistik.

Konspirasi (persekongkolan) selalu terjadi mengiringi dan memboncengi peristiwa politik. Apalagi jika huru-hara terjadi. Namun tidak perlu memakai "teori konspirasi" untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana kerusuhan terjadi. Peristiwa yang gamblang tidak memerlukan narasi teori konspirasi.

Gelombang unjuk rasa, 25–31 Agustus 2025, di berbagai kota Indonesia memancing pertanyaan (teori) konspiratif, siapa dalang yang menggerakkan atau menunggangi? Rangkaian aksi ini mengakibatkan 10 orang mati, 1.042 orang terluka, 3.337 orang ditangkap dan 189 menjadi tersangka. Selain itu, sedikitnya 592 akun media sosial ditutup.

Sejumlah teori konspirasi muncul berupaya "menjelaskan" rangkaian aksi unjuk rasa beraroma kekerasan, penjarahan dan pembakaran itu. Setelah lebih dari seminggu berlalu, berikut sejumlah narasi empat teori konspirasi yang beredar:

1. Ditunggangi asing: Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono mengusung "teori asing" ini. Ia yakin mengetahui ada campur tangan asing di balik kericuhan demo 25-28 Agustus. Ia menyebut pihak asing itu memiliki pengaruh besar. "Saya mengalami semua, ini ada yang main. Pada waktunya akan saya sampaikan namanya yang main," kata Hendro. Ini bukan kali pertama ia berteori konspirasi asing. Seperti kaset rusak, ia selalu mengulang-ulang teori asing-nya setiap kali ada krisis politik di Indonesia. Nama yang jadi langganannya adalah: CIA, Soros, Rothschild, Illuminati, dan sejenisnya.

2. Prabowo ingin darurat militer. Sejumlah video serta foto tertangkapnya anggota intelijen TNI di kerumuman para demonstran oleh polisi beredar luas di dunia maya. Spekulasi liar muncul, kerusuhan adalah "operasi intelijen" untuk memberikan legitimasi diberlakukannya sistem militeristik. Akan diterapkan jam malam dan berlanjut ditetapkannya situasi darurat militer. Sejumlah rumah politikus dijarah dan kantor polisi diserbu, hanya sebagai tumbal. Konspirasi darurat militer in batal terjadi, entah kenapa, mungkin Prabowo berubah pikiran. Si pengusung teori ini bingung juga, drama darurat politik terlalu cepat berakhir.

3. Operasi Jokowi, Parcok dan Geng Solo. Aksi penjarahan dan pembakaran, termasuk pemicunya, mobil Barracuda menggilas demonstran, adalah orkestrasi Jokowi, Geng Solo dan Parcok untuk mengingatkan dan menegur Prabowo. Mereka adalah "deep state" yang masih eksis dan kuat, bisa memerah-birukan Indonesia. Aksi pemerintahan Prabowo mengganggu mereka, seperti membongkar sejumlah kasus korupsi sindikat Geng Solo, tidak bisa mereka tolerir. Mereka sukses "membegal" demo aspirasi rakyat, membelokkan isu "adili Jokowi makzulkan Gibran" menjadi "bubarkan DPR". Teori konspirasi ini popular di kalangan aktivis dan relawan pendukung Prabowo.

4. Koruptor menyerang balik. Teori keempat ini bersinggungan dengan teori ketiga. Riza Chalid dan sejumlah pengusaha korup adalah "bohir" aksi kerusuhan, sedangkan pengendali atau operator lapangan adalah geng Solo. Para koruptor sedang balas dendam karena bisnisnya diganggu, dan ingin "show of force" pada pemerintahan Prabowo. Para koruptor yang dimanjakan di era Jokowi itu ingin agar "business as usual" kembali berjalan tanpa gangguan. Pengusung teori in adalah pendukung Jokowi yang ingin membersihkan nama Geng Solo sebagai konspirator kerusuhan.

Dari empat teori konspirasi di atas, mana yang paling valid dan faktual sebagai dalang, penunggang, atau konspirator dibalik aksi 25-31 Augustus?

Tergantung sentimen berpikir dan kegemaran "logika" otak-atik gatuk seseorang. Yang pasti, kumpulan manusia yang marah, terpicu untuk berunjuk rasa secara spintan dan sporadis bukan wayang, atau boneka, yang bisa dimain-mainkan oleh dalang. Mereka juga bukan kuda atau hewan yang mudah dijinakkan untuk ditunggangi Dan diarahkan sesuai kemaian penunggang.

Konsep dalang atau penunggang tidak semestinya diaplikasikan dalam upaya memahami gejolak sosial yang kompleks. Tidak ada manusia, sehebat apapun, mampu mendalangi, menunggangi, atau mengorkestrasi gejolak sosial. Dulu, di era Orde Baru, rezim Soeharto gemar menyebut adanya dalang atau penunggang setiap terjadi kerusuhan sosial.

Dalam konteks sosok-politik, kerusuhan sosial adalah rangkaian panjang aksi-reaksi relasi hegemoni, aspirasi, dan emosi sosial. Pendekatan politik kekuasaan, insensitivitas kebijakan ekonomi, penerapan hukum yang diskriminatif. Itulah “dalang” yang berpotensi memicu gejolak sosial. Faktor-faktor itu bersifat laten, terpendam, dan mudah meledak menjadi kerusuhan sosial hanya dengan sedikit pemicu. Kerusuhan adalah akibat, yang perlu dicari penyebab sistemiknya.

Berteori (konspiratif) tentang siapa dalang kerusuhan dan perusuh, hanya menebak-nebak isu permukaan, bukan substansi persoalan. Ibarat orang berpenyakit kulit menyalahkan panu, kudis atau kurap, tanpa mau mempertanyakan kebersihan dirinya.

Tidak penting menebak-nebak siapa dalang tunggal atau penunggang aksi unjuk rasa aspirasi rakyat, yang kemudian bereskalasi menjadi kerusuhan sosial masif. Jika kerusuhan memang ada yang mendalangi atau mengorkestrasi, pasti cukup mudah membuktikan dan mengusutnya.

Gejolak sosial itu rumit dan kompleks, teori konspirasi itu sederhana, seringkali simplistik. Para penganut teori konspirasi merasa diri paling tahu tentang apa yang "sebenarnya" terjadi. Teori konspirasi ingin memberi penjelasan dengan menyederhanakan. Denhan membuat narasi adanya dalang dan penunggang, yang "maha kuasa", serta menuding orang atau kelompok tertentu sebagai penanggung jawab tunggal.

Teori konspirasi mirip narasi tipikal film aksi Hollywood. Kisah pertarungan "lakon vs bandit" dengan skenario yang serba terukur dan jelas plotnya, serta ada sutradara yang mengatur semuanya. Tapi kompleksitas sosial politik problematik manusia tidak pernah bisa diskenariokan atau dinarasi-tunggalkan dengan teori apapun, apalagi teori konspirasi.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]