‘Fatsun’ Berpolitik Negarawan

Bangsa kita harus mengamini sistem presidensial, dengan tegas membatasi masa kekuasaan, sebagai konsensus, adalah pilihan terbaik yang harus dihormati dan dijalankan.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Dalam satu acara talk-show televisi, politisi PDIP, Adian Napitupulu, menuding perilaku relawan penyelenggara Musra (Musyawarah Rakyat) terkesan “menjerumuskan” Presiden Joko Widodo.

Acara Musra menjerumuskan Jokowi dalam gonjang-ganjing copras-capres 2024. Jokowi dituding ikut ‘cawe-cawe’, sibuk mengotak-atik siapa capres favoritnya. Manuver yang dianggap melanggar ‘fatsun’ politik seorang negarawan.

Menurut Adian, Presiden Jokowi tak akan memberikan arahan terkait capres kepada para relawannya, karena sadar pada posisinya sebagai presiden.

Jokowi tentu punyai pilihan, sebagai warga negara, dan petugas partai, siapa capres favorit. Namun ia hanya bisa mengekspresikan pilihannya itu di tempat pemungutan suara (TPS).

Kepatutan sebagai figur yang masih duduk di kursi presiden, tak semestinya memberikan pilihan atau arahan untuk memilih capres tertentu, sebelum pilpres digelar. Karena akan membuat masyarakat bingung dan bertanya-tanya tentang asas imparsialitas dan netralitas seorang kepala negara - kepala pemerintahan.

Seperti pilpres-pilpres sebelumnya, suasana politik menjelang Pilpres 2024 akan panas dan berpotensi membakar emosi publik, khususnya kalangan netizen dan pendukung, yang mengekspresikan dukungannya lewat medsos.

Pengalaman dua Pilpres sebelumnya, perdebatan, polemik, bahkan pertengkaran fisik terjadi. Perseteruan tak berkesudahan memasuki ruang publik hingga wilayah privat, seperti keluarga, kantor, hingga rumah ibadah. Terjadi politisasi ruang publik dan ruang privat, yang seolah terkepung oleh percekcokan politik yang panas.

Politik status quo, mengutip Karl Marx, adalah kekuasaan (kapitalis) yang mapan, ‘kenikmatan’ yang harus dipertahankan dengan segala cara. Kekuasaan itu akan roboh ketika muncul antitesa, yang melakukan gempuran hebat. Demikian proses tesa - antitesa logika kekuasaan.

Namun sistem demokrasi, jika berjalan baik, akan mampu mengelola potensi konflik dan pertarungan kekuatan antar parpol dan kelompok kepentingan melalui pemilihan (pileg, pilpres, pilkada).

Pertarungan dialihkan pada level program dan gagasan, menjadi lebih rasional dan terkelola. Demokrasi yang matang, salah satu cirinya, adalah level kecerdasan politik masyarakat. Selain faktor tingkat kesejahteraan, serta keadaban publik.

Demokrasi yang matang akan mendorong perbaikan kualitas politik elektoralnya. Sering dinamai sebagai "demokrasi yang terkonsolidasi", tipikal praktik politik di negara maju dan sejahtera.

Menurut Hans J. Morgenthau (2010), politik status quo adalah cara melestarikan kekuasaan. Status-quo menolak perubahan, terus berupaya mempertahankan dominasi kelompok atau negara terhadap negara atau kelompok lain.

Dalam konteks pilpres di Indonesia, upaya manuver politik ‘kekuatan istana’ untuk memperpanjang kekuasaan adalah upaya yang harus dilawan. Kelompok kritis perlu terus lantang menolak, misalnya, upaya menunda pilpres. Terbukti wacana tersebut kandas.

Kelompok aktivis yang mensmakan diri Konsolidasi Demokrasi Aktivis 98, misalnya, mengeluarkan maklumat menolak ‘agenda terselubung’ perpanjangan kekuasaan Presiden Jokowi. Dalam statemennya, mereka menyatakan: “jika perpanjangan kekuasaan terjadi maka aktivis 98 akan menggalang kekuatan pemerintahan transisi”.

Pernyataan bernuansa ‘revolusioner’ ini dikeluarkan untuk mengakhiri upaya politik ‘pro status-quo’ melakukan operasi-operasi politik menunda pilpres. Jadwal perhelatan pemilu legislatif dan Pilpres 2024, sudah on the track, tidak perlu diubah atau ditunda.

Meski ada dukungan kepada Jokowi untuk "tiga periode", sebagai aspirasi politik yang sah, namun usulan itu harus melalui proses legislasi perubahan konstitusi. Tidak bisa serta merta.

Dalam demokrasi, apakah presiden yang sedang menjabat, ikut ‘cawe-cawe’ menentukan capres adalah sikap kenegarawanan? Atau sikap "post-power syndrome" politikus yang galau pasca kehilangan kekuasaan?

Dan, untuk menjalankan sistem presidensial yang baik, syarat utama adalah: presidennya harus berkelas negarawan. Mampu bersikap adil, mendahulukan kepentingan bangsa dari pada kepentingan kelompok, partai, dan keluarganya. Presiden Jokowi perlu menunjukkan diri sebagai seorang politisi berkelas negarawan. Dengan, misalnya, tidak ikut ‘cawe-cawe’ ingin memenangkan capres tertentu.

Penulis
Pemerhati Ekologi-Politik/Wakil Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis/GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com