Mengikuti angin politik yang berubah, pekan ini PDIP mengecam proyek food-estate pemerintahan Jokowi sebagai "bagian dari kejahatan lingkungan".
Itu kritik serius, tapi kritik terhadap food-estate sebenarnya sudah banyak digaungkan ketika pertama kali proyek ini diperkenalkan Jokowi.
Pemerintahan Jokowi sudah diprediksi bakal mengulang kesalahan Pemerintahan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono: mengembangkan food-estate (lumbung pangan) yang berakhir mangkrak.
Pada masa Orde Baru, Soeharto memerintahkan mencetak sejuta hektar sawah di lahan gambut Kalimantan. Tepatnya seluas 1,4 juta ha.
Proyek itu gagal total meski sempat mendatangkan 15.000 lebih petani dari Jawa lewat program transmigrasi.
Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, ide proyek food-estate kembali muncul, antara lain dengan mengembangkan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Pada intinya mengembangkan pertanian pangan yang terpadu dengan perkebunan sawit (biofuel).
Proyek pangan gagal. Yang marak adalah serbuan investasi sawit ke Papua yang justru memiskinkan keragaman hayati pangan pulau ini.
Proyek MIFEE adalah bagian dari Konsep Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Jokowi, yang tidak punya konsep, mengadopsi MP3EI Yudhoyono dengan lebih agresif, khususnya dalam aspek pembangunan infrastruktur fisik. Salah satunya adalah mengembangkan food-estate di Kalimantan.
Pada akhir 2022, Menteri Infrastruktur Basuki Hadimulyo mengatakan: "Food-Estate sudah bisa ditanami, tapi orangnya tidak ada." Itu menunjukkan bukan hanya proyek ini tidak dirancang matang, tapi juga memang pada dasarnya salah arah.
(Basuki adalah pula salah satu tokoh di belakang food-estate era Soeharto yang gagal).
Apa yang salah?
Pertama, proyek food-estate tidak didasari perencanaan yang matang dan studi komprehensif. Bahkan mengabaikan fakta sains yang elementer.
Kedua, keliru asumsi dan prioritas bahwa soal pangan dan pertanian terutama adalah tentang infrastruktur fisik seperti bendungan, irigasi dan traktor.
Ketiga, yang paling mendasar, keliru cara berpikir. Keliru paradigma mengembangkan pertanian skala besar, seringkali dengan mengabaikan petani kecil.
Ketahanan dan swasembada pangan tidak bisa dan tidak seharusnya disandarkan pada pengembangan pertanian industri skala besar.
Pertanian skala besar akan cenderung bersifat monokultur. Artinya makin menyeragamkan sumber pangan, menghilangkan atau melupakan keragaman pangan yang bersumber pada keragaman hayati negeri kita.
Itu justru akan melemahkan ketahanan pangan kita di masa depan.
Apa alternatif dari kekeliruan-kekeliruan itu?
Menurut data Badan Pangan Dunia FAO, sekitar 80% pangan dunia sekarang diproduksi oleh petani-petani kecil (family farming) dengan luas lahan total hanya 20% dari lahan pertanian global.
Data itu menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, bahwa pertanian skala besar tidak efisien jika semua aspeknya diperhitungkan. Kedua, ada ketimpangan besar, dan makin besar, dalam kepemilikan lahan pertanian.
Lahan milik petani kecil kian kecil sebagian karena faktor alamiah bertambahnya jumlah penduduk. Tapi juga ada sebab lain: konversi lahan akibat "pembangunanisme" pemerintah serta konsentrasi kepemilihan lahan oleh industri pertanian besar.
Jika pemerintah ingin memastikan ketahanan dan swasembada pangan, yang harus dilakukan adalah memperkuat petani kecil (pertanian keluarga).
Pertama, memastikan petani kecil yang ada sekarang dan kurang berdaya tidak lagi mengalami penggusuran.
Misalnya: harus membantu petani Kendeng dan Wadas di Jawa Tengah yang melawan tambang semen dan andesit; bukan justru menindas.
Kedua, mengoreksi ketimpangan pemilikan lahan dengan melaksanakan reforma agraria secara serius, bukan cuma bagi-bagi sertifikat.
Bagi-bagi sertifikat adalah kecenderungan formalisme yang justru memudahkan orang menjual tanah.
Ketiga, memperkuat organisasi petani lewat koperasi-koperasi yang genuine.
Program "korporatisasi pertanian" yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi sekarang hanya cenderung memperkuat "kapitalisme pertanian", mengabaikan penguatan modal sosial petani. Akhirnya hanya memperbesar usaha besar.
Modal sosial yang kuat tercermin antara lain dalam keterampilan manajemen dan organisasi. Ini akan meningkatkan daya tawar petani yang selama ini lemah, yang terus-menerus memiskinkan mereka.
Pertanian tidak cuma soal infrastruktur fisik, bahkan bukan terutama tentang itu.
Pertanian adalah tentang pemikiran holistik menyangkut aspek sosial, budaya, antropologi dan keterhubungan antara manusia dengan kelestarian alam.
Pertanian kecil (family farming) bisa lebih efisien karena memanfaatkan konsep terpadu, atau integrated farming.
Yakni, memanfaatkan tanaman yang beragam (bukan monokultur) serta memanfaatkan berbagai hewan ternak yang bisa menjadi sumber pangan lain sekaligus sumber pupuk organik.
Pertanian kecil lebih sehat dan lebih menjamin kelestarian alam. Pada saat yang sama, lebih masuk akal untuk memastikan tak hanya ketahanan, tapi juga kedaulatan pangan.*