Mengelola Persepsi Masyarakat Dalam Redenominasi Rupiah

Redenominasi bisa bermanfaat dan meningkatkan kepercayaan serta kebanggaan terhadap rupiah, namun juga beresiko menimbulkan inflasi bahkan kekacauan ekonomi.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Pernahkah kita membayangkan harga suatu barang, katakan beras, sebesar Rp1.500.000/kg, harga sebotol air mineral Rp 1.000.000 di masa mendatang? Atau membayangkan beras sebesar Rp15/kg, harga sebotol air mineral Rp10/botol di masa mendatang?

Pencantuman nilai barang dalam rupiah tersebut sesuai dengan fungsi uang sebagai satuan nilai. Artinya, dengan menggunakan uang, nilai nominal suatu barang dapat diketahui. Berkaitan dengan itu, jika terjadi inflasi, nilai nominal suatu barang akan naik. Namun demikian, kenaikan nilai nominal tersebut tidak mencerminkan kenaikan tingkat kualitasnya dan manfaatnya.

Harga suatu barang yang bernilai nominal jutaan, bahkan miliaran mau tidak mau akan berkaitan, dengan meningkatnya kompleksitas pencatatan transaksi keuangan, peredaran uang dan manajemen uang kartal. Di samping itu harga dalam satuan juta, milyaran secara obyektif merupakan harga yang mahal dibandingkan jika suatu harga barang dinilai dalam satuan puluhan, ratusan atau ribuan rupiah.

Persepsi terhadap harga dalam konsep nominal ini, tentu saja berkaitan dengan kepercayaan dan kebanggaan terhadap mata uang suatu negara. Berkaitan dengan itu, agar tidak terjadi harga suatu barang yang saat ini yang akan bernilai nominal ratusan, ribuan menjadi jutaan atau milyaran di masa mendatang, maka perlu dilakukan antisipasi kebijakan pemerintah.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah.Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp1.000 menjadi Rp1.

Redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukar riil. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan atau jasa.

Terdapat dua poin yang merupakan urgensi dari RUU redenominasi ini, yang pertama menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit Rupiah. Yang kedua menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit Rupiah.

Melaksanakan kebijakan redenominasi harus dilakukan secara cermat dan berhati-hati, karena dampaknya dapat menimbulkan inflasi yang besar karena kesalahan persepsi. Dari sisi ekonomi dan sosial, menurut Gubernur Bank Indonesia, kebijakan redenominasi harus dilakukan pada saat yang tepat, yaitu ketika kondisi makro ekonomi stabil, sistem keuangan dan moneter yang stabil, serta kondisi sosial dan politik yang kondusif.

Berdasarkan kajian Center for Public Policy Transformation & Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 30 negara yang telah melakukan redenominasi di mata uangnya menunjukkan bahwa negara dengan inflasi rendah (<10%) memiliki risiko kegagalan rendah dalam , jika dibandingkan dengan negara yang mengaplikasikan redenominasi saat inflasinya cukup tinggi (>10%).

Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah mengelola persepsi masyarakat terhadap harga yang pasti akan berubah, baik produsen, maupun konsumen. Akibat redenominasi, secara psikologis terjadi money illusion, sehingga menimbulkan persepsi harga yang murah, yang jika ini dimanfaatkan oleh produsen, dengan menaikkan harga nominal dalam satuan rupiah terkecil akan menimbulkan inflasi yang besar dalam jangka pendek.

Pengalaman Redenominasi Negara Lain

Redenominasi Rumania dilakukan pada 1 Juli 2005 dengan mengurangi 4 digit angka nol (Leu) menjadi 1 Leu memberikan dampak positif bagi mata uangnya. Setelah melakukan redenominasi, Leu sempat mengalami pelemahan terhadap EUR maupun USD hingga 2007.

Hal ini tidak berlangsung lama sejak memasuki 2008 hingga 2019 terjadi penguatan mata uang Leu terhadap EUR dan USD yang mengindikasikan bahwa Leu mampu bersaing dengan dengan mata uang global. Kondisi inflasi Rumania saat redenominasi yakni termasuk dalam kategori inflasi ringan (<10%).

Turki mulai 1 Januari 2005 melakukan redenominasi terhadap lira setelah persiapannya selama 7 tahun. Setelah redenominasi, semua mata uang lama dikonversikan ke mata uang baru. Jika nama mata uang lama adalah lira Turki dengan simbol TL, maka mata uang baru diberi kode YTL yang artinya uang baru lira Turki.

Huruf Y adalah singkatan dari yeni dalam bahasa Turki, yang artinya 'baru'. Turki menghilangkan enam angka nol. Mata uang kertas lama TL memiliki angka nominal tertinggi, yaitu 20.000.000 TL, menjadi 20 YTL dan nilai nomimal paling rendah 50.000 TL setelah 1 Januari 2005 menjadi 0,050 YTL atau 5 sen (5 YKr). Untuk mengakomodasi ini, Pemerintah Turki juga mengeluarkan uang logam pecahan, yaitu 1 YKr, 5 YKr, 10 YKr, 25 YKr, dan 50 YKr.

Turki melakukan redenominasi lewat beberapa tahap. Tahap pertama, mata uang TL dan YTL tetap beredar secara simultan selama setahun. Setelah setahun, mata uang TL akan ditarik. Waktu setahun ini bertujuan agar warga memiliki waktu leluasa menggantikan TL ke YTL. Pada tahap kedua, seperti di banyak negara, setelah beberapa tahun, mata uang YTL dikembalikan menjadi TL. Dengan kata lain, penggunaan TL dengan angka nominal baru dipulihkan.

Ghana, negara yang terletak di Afrika Barat ini juga melakukan redenominasi dan dapat dikatakan tidak sukses, indikasinya terlihat tingkat inflasinya mengalami peningkatan sebesar 5 persen satu tahun setelah dilakukan redenominasi.

Salah satu penyebabnya adalah 70% uang beredar di Ghana berada di luar sistem perbankan. Sedangkan transaksi di Ghana lebih banyak terjadi secara tunai daripada perbankan. Hal ini menyebabkan pengendalian uang beredar menjadi tidak efektif dan sosialisasi mengenai uang baru tidak sampai kepada masyarakat secara optimal.

Brazil melakukan redenominasi pada tahun 1986. Namun, kebijakan redenominasi gagal, sehingga Brasil pun mengulang kembali pada 1994. Brasil selain melakukan redenominasi juga mengubah mata uangnya dari cruzeiro menjadi cruzado.

Namun, kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap dolar AS hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap dolar AS. Kegagalan ini dikarenakan pemerintah Brasil tidak mampu mengelola inflasi yang pada waktu itu masih mencapai 500% per tahun.

Zimbabwe yang telah melakukan tiga kali redenominasi. Dolar Zimbabwe digunakan ketika negara itu memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1980. Pada saat itu, 1 ZWD bernilai US$1,47 di pasar resmi.

Namun seiring waktu, kurs dolar Zimbabwe turun dengan cepat. Hiperinflasi berkelanjutan mencapai 1.730% pada tahun 2006. Pemerintah memperkenalkan mata uang yang sama sekali baru, bukan yang terdepresiasi. Nilai tukar resmi dolar Zimbabwe kedua pada awalnya adalah 250 ZWN per dollar AS. Tetapi ketika inflasi melebihi 1.000 %, nilai tukarnya merosot mencapai 30.000 ZWN per dollar AS pada 2007.

Persiapan Redenominasi Indonesia

Walaupun Rencana Strategis Kemenkeu 2020-2024 yang salah satunya adalah melakukan redenominasi rupiah, namun demikian nampaknya pasca pandemi covid 19 kondisi ekonomi makro ekonomi dan kestabilan sistem keuangan dan moneter belum pulih seperti keadaan sebelum pandemi.

Selain itu, pada tahun 2024 akan dilakukan pemilihan legislative dan presiden secara serentak. Hajatan politik ini tentu saja berpengaruh terhadap kondisi sosial dan politik yang kondusif. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka dalam jangka waktu pendek seharusnya tidak dilakukan redenominasi.

Berdasarkan pengalaman dan keberhasilan dan kegagalan negara lain dalam melakukan redenominasi, selain menjaga kondisi ekonomi makro dan sosial politik, nampaknya perlu dilakukan persiapan yang panjang. Pemerintah melalui Kementerian terkait dengan Bank Indonesia perlu melakukan hal-hal berikut.

Pertama, melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai redenominasi, tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi masyarakat mengenai redenominasi. Hal ini berguna agar tidak terjadi inflasi yang besar akibat adanya money illusion yang menganggap harga rendah setelah redenominasi, sehingga secara sengaja, maupun tidak sengaja menaikkan harga dalam nominal yang kecil, tetapi berdampak pada persentase kenaikan harga yang besar. Oleh karena itu pemantauan harga barang dan jasa serta intervensi pasar pemerintah frekuensinya harus ditingkatkan, bahkan per hari.

Kedua, pada waktu yang cukup panjang disandingkan mata uang lama dan mata uang baru dengan nama yang hampir sama sebagai alat tukar yang bisa digunakan secara substitusi. Seiring dengan berjalannya waktu, peredaran jumlah mata uang lama mulai dikurangi secara progresif, sehingga dalam target waktu tertentu hanya uang baru yang beredar. Sebagai alat tukar, uang kartal baru perlu disediakan dalam pecahan dari terkecil sampai terbesar dalam jumlah yang memadai untuk transaksi.

Ketiga, pemerintah perlu mengatur tata cara pencatatan keuangan baik di swasta, maupun pemerintah dengan dasar mata uang yang baru. Ini bertujuan untuk memulai efisiensi waktu dan pemahaman dalam pencatatan, sekaligus membawa persepsi terhadap harga nominal dengan mata uang baru.

Keempat yang merupakan persoalan eksternal yang cukup sulit , yaitu mengelola nilai tukar mata uang baru terhadap mata uang kuat yang baru. Dalam hal fluktuasi nilai tukar, seringkali melemahnya nilai tukar bukan karena fundamental ekonomi, namun dalam masa transisi redenominasi, kekuatan permintaan dan penawaran pasar yang didasari ketidakpercayaan kepada suatu mata uang, ditambah unsur spekulasi pelaku pasar seringkali dapat memperlemah nilai tukar suatu mata uang. Berkaitan dengan ini, peningkatan cadangan devisa dalam jumlah yang signifikan perlu dilakukan, karena kebutuhan untuk intervensi di pasar juga meningkat.

Pada akhirnya melakukan redenominasi bisa bermanfaat dan meningkatkan kepercayaan serta kebanggaan terhadap Rupiah, namun juga beresiko menimbulkan inflasi bahkan kekacauan ekonomi. Kita tidak ingin mengalami kegagalan dalam melakukan redenominasi seperti yang dialami negara lain yang bahkan semakin menghancurkan nilai tukarnya dan tentu saja perekonomian. Oleh karena itu, lakukan kebijakan redenominasi pada waktu, persiapan dan kondisi yang tepat.

Kolumnis
Dosen Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan, Keuangan dan Perbankan, dan Magister Ekonomi Terapan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com