Setelah isu sengketa Pemilu yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), perhatian masyarakat Indonesia saat ini beralih ke peristiwa mudik lebaran. Laman media sosial, layar TV sampai obrolan warung kopi semua memperbincangkan mudik. Seperti halnya Pemilu, mudik telah menyedot perhatian publik, mulai pejabat sampai rakyat jelata.
Wajar saja hal ini terjadi, karena mudik adalah gerakan yang melibatkan jutaan massa. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan, ada 190 juta orang akan melakukan mudik pada lebaran tahun 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan dibanding tahun 2023 yang berjumlah 134 juta orang.
Menurut Juru Bicara Kemenhub, untuk melayani para pemudik, telah disiapkan berbagai sarana trnsportasi, di antaranya 30.780 unit bus dengan 113 terminal, 615 KA antar kota per hari dengan 192 stasiun.. Untuk moda transportasi laut disiapkan 213 unit kapal lintas dengan 16 pelabuhan dan 50 dermaga. 107 kapal perintis, 1.208 kapal swasta dengan 264 pelabuhan. Sedangkan moda transportasi udara disiapkan 420 unit pesawat dengan 52 bandara domestik dan 16 bandara internasional.
Besarnya gerakan massa yang terjadi saat mudik lebaran telah menimbulkan dampak sosial ekonomi, bahkan politik. Menurut proyeksi Staf Khusus Menko Perekonomia, Ahmad Zaki Iskandar, pergerakan ekonomi mudik lebaran tahun ini mencapai angka yang fantastis, yaitu Rp386 triliun. Perputaran uang sebesar ini diperkirakan akan memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi daerah terutama sektor UMKM. Dengan demikian mudik dapat menjadi momentum kebangkitan ekonomi pasca Covid-19.
Secara sosial, mudik berdampak pada tumbuhnya solidaritas, menguatnya rasa kekerabatan dan persaudaraan antar masyarakat serta meningkatnya ikatan emosional dengan tanah kelahiran. Dalam kondisi mayarakat yang retak karena dampak pemilu, mudik lebaran kali ini memiliki makna dan fungsi yang sangat penting, karena dapat menjadi momentum rekonsiliasi dan integrasi sosial. Karena mudik merupakan sarana yang efektif untuk merajut kembali persaudaraan antara warga bangsa yang terkoyak.
Mengingat besarnya dampak sosial budaya dan ekonomi yang ditimbulkan oleh peristiwa mudik lebaran, maka dapat dikatakan bahwa mudik bukan sekadar tradisi dalam menyambut dan merayakan lebaran, tetapi telah menjadi gerakan sosial budaya bangsa Indonesia.
Selain mudik dan halalbihalal, sebelumnya telah ada berbagai macam tradisi dalam menyambut dan merayakan lebaran yang dilakukan oleh bangsa Nusantara, di antaranya tradisi Tumbilotohe yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo. Tradisi ini berbentuk menyalakan lampu minyak di halaman rumah, masjid dan tepi jalana raya. Dilakukan tiga hari menjelang lebaran. Ada juga tradisi Kenduri Makam, yaitu tradisi ziarah yang dilanjutkan makan kenduri bersama di makam. Tradisi ini dilaksanakan masyarakat Aceh secara turun temurun pada setiap hari ke-12 lebaran.
Di lombok ada tradisi Perang Topat yaitu tradisi saling lempar ketupat setelah berziarah dan berdoa di makam leluhur Loang Baloq di kawasan pantai Tanjung Kranag dan makam Bintaro di kawasan pantai Bintaro, Lombok. Yang menarik, tradisi ini tidak hanya diikuti oleh umat muslim, tetapi juga para pemeluk agama Hindu. Selain sebagai bentuk menyiarkan Idul Fitri, tradisi ini juga merupakan simbol kerukunan dan persaudaraan antara umat Islam dan Hindu.
Di Magelang Jawa Tengah, tepatnya di Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis ada tradisi Sungkem Telompak. Tradisi ini dilaksanakan pada hari kelima lebaran di suatu sumber mata air yang ada di desa tersebut. Tradisi ini dilakukan dalam bentuk membaca doa bersama dilanjutkan dengan makan dan pagelaran seni tradisional Campur Bawur. Ritual ini merupakan bentuk rasa syukur terhadap Tuhan yang telah memberi rezeki berupa hasil pertanian yang baik dan tanah yang subur serta penghormatan pada leluhur daerah tersebut yang bernama Prabu Singobaring.
Berbagai bentuk tradisi lebaran yang muncul di kalangan masyarakat Indonesia saat ini merupakan hasil ijtihad kultural para ulama Nusantara yang menyebarkan Islam di bumi Nusantara. Hal ini dilakukan oleh para ulama Nusantara sebagai upaya untuk mendekatkan ajaran Islam yang turun di Arab dengan masyarakat Nusantara.
Ada jarak kultural dan geografis yang sangat jauh antara Nusantara dan Islam yang turun di Arab. Perlu ada strategi kebudayaan yang dapat mendekatkan jarak tersebut agar Islam dapat diterima secara mudah oleh masyarakat Nusantara. Melalui strategi ini, Islam tidak lagi dipahami sebagai tamu yang datang dari luar, tetapi sebagai kawan yang muncul dari dalam untuk memperbaiki dan meningkatkan derajad kemanusiaan demi terwujudnya kebahagiaan (Ahmad Baso, 2018). Pemikiran seperti ini dapat dilihat dalam teks Serat Surya Raja tahun 1774 dari kraton Yogyakarta dan beberapa naskah karya pujangga dan ulama Nusantara lainnya.
Pemikiran para ulama Nusantara ini juga sejalan dengan gagasan Imaam Syafi’i. Dalam kitab Al-Umm, imam Syafi’i menyatakan adanya ilmu-ilmu yang dimiliki masing-masing bangsa dan negeri yang dapat digunakan untuk menafsirkan dan mengamallkan Islam. Artinya Imam Syafi’i meberikan ruang bagi tradisi dan kebudayaan masing-masing asing bangsa sebagai sarana untuk menafsirkan Islam agar mudah diamalkan dan dipahami oleh bangsa tersebut.
Ijtihad kultural yang dilakukan para ulama Nusantara ini tidak berarti menyampur adukkan antara ajaran dan doktrin Islam yang sakral dengan tradisi dan kebudayaan yang profan. Sebaliknya, ijtihad ini justru sebagai upaya agar ajaran Islam yang sakral itu dapat dipahami, diamalkan dan diajarkan secara mudah dengan tetap menjaga sakralitas dan otentisitasnya.
Ibaratnya Islam adalah sumber mata air yang murni dan otentik dari Tuhan, sedangkan tradisi dan kebudayaan adalah alat untuk mengalirkan agar air yang berada di mata air itu dapat diterima dengan mudah. Sebagai alat untuk mengalirkan, bentuknya bisa beragam, ada yang berbentuk gorong-gorong, sungai, pipa dan sejenisnya tergantung kondisi. Bentuk ini bisa berubah setiap saat sesuai kondisi dan zaman. Artinya tradisi, sebagai sarana untuk mengalirkan air dari sumbernya bisa berubah setiap saat tetapi ajaran dan dogma agama, sebagai air jernih yang dialirkan tidak akan berubah.
Dengan cara pendang seperti ini akan terlihat peran, fungsi dan posisi antara agama dan kebudayaan secara jelas yaitu agama sebagai sumber sedangkan kebuayaana dan tradisi adalah alat memancarkan apa yang berasal dari sumber. Meskipun keduanya berhubungan secara erat tetapi tidak terjadi percampuran, sebagaimana yang dituduhkan oleh beberapa orang, karena keduanya tetap berada dalam posisi masing-masing sesuai dengan peran dan fungsinya. Secanggih apapun pipa atau gorog-gorong dia tidak akan pernah bisa menjadi air. Artiya sehebat apapun tradisi selagi masih sebagai alat menyampaikan pesan agama dia tidak akan bisa menjadi agama.
Ijtihad kebudayaan yang dilakukan para ulama Nusantara telah melahirkan berbagai ragam tradisi yang dapat menjadi sarana untuk mengalirkan (menyebarkann) ajaran Islam kepada masyarakat Nusatara. Di antaranya, ragam tradisi dalam menyambut dan merayakan Idul Fitri, seperti terlihat pada tradisi mudik, halalbihalal dan lain-lain.
Jelas di sini terlihat, mudik dan berbagai bentuk tradisi beragama lainnya adalah bentuk kreativitas umat Islam Nusantara sebagai hasil dari ijtihad kebudayaan para ulama Nusantara. Melalui kreativitas inilah Islam menjadi indah dan dapat menyebarkan kebahagiaan bagi siapa saja. Selain itu, cara beragama yang kreatif membuat agama menjadi menarik, selalu segar dan aktual, tidak jumud, kaku dan membelenggu. Selamat mudik dan menikmati Idul Fitri dengan penuh suka cita. Maaf lahir batin.