Refleksi Keberlanjutan Menyongsong 2026

Memasuki 2026 dan seterusnya, kerja iklim dan keberlanjutan menuntut kedalaman, bukan sekadar kecepatan.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Menutup 2025, di tengah bencana serta debat krisis iklim dan keberlanjutan yang semakin padat oleh data, target, dan kekecewaan, ada satu kebutuhan yang makin terasa: berhenti sejenak. Bukan untuk mundur, melainkan untuk memahami. Menyikapi krisis bukan hanya soal apa yang harus dilakukan, tetapi bagaimana memproses kenyataan yang ada secara internal dan komunal.

Refleksi menjadi penting karena krisis keberlanjutan bukan hanya persoalan apa yang salah, tetapi bagaimana memaknai apa yang terjadi, serta bagaimana seharusnya. Banyak keputusan gagal bukan karena kurangnya informasi, melainkan karena terbatasnya ruang untuk berhenti dan memahami. Tanpa refleksi, respons terhadap krisis mudah menjadi reaktif: tergesa, defensif, atau sekadar mengikuti arus.

Namun refleksi tidak selalu mudah dilakukan sendirian. Banyak hal penting justru tersembunyi di balik bahasa yang terbiasa dipakai sehari-hari. Di sinilah reflection tools atau perangkat refleksi berperan membantu memecah kebekuan pikiran dan emosi dengan cara yang berempati dan berkerangka.

Sebagian dari perjalanan personal dan profesional saya tahun 2025 diisi dengan belajar visual coaching & reflection tools. Mayoritas perangkat ini berbasis kartu-kartu, dengan pendekatan yang beragam: ada yang bekerja melalui foto-foto, ada yang melalui kata-kata, ada pula yang menggunakan pertanyaan terstruktur, maupun gabungan semuanya. Proses belajar ini dipandu dengan telaten oleh Coach Amelia Hirawan dari Sinergia Group Indonesia, yang tidak hanya memperkenalkan berbagai pilihan, tetapi juga mendampingi cara menggunakannya secara utuh.

Sebuah perangkat yang bernama Punctum misalnya, menggunakan kartu-kartu dengan kombinasi gambar, kata, dan pertanyaan untuk mengangkat hal-hal yang sering kali sulit diucapkan. Dalam kerja keberlanjutan, ini terasa relevan ketika data sudah tersedia, tetapi keberanian untuk menyentuh makna personal dan emosi kolektif belum hadir.

Ada pula yang memadukan intuisi dan struktur secara seimbang. The Coaching Game menghadirkan visual sebagai pemantik, lalu mengajak refleksi melalui alur pertanyaan yang terarah. Pendekatan semacam ini membantu membuka eksplorasi dan pergeseran perspektif, sesuatu yang sangat dibutuhkan ketika diskusi keberlanjutan terjebak pada pola pikir lama.

Relasi manusia menjadi fokus penting lainnya. Faces, perangkat dengan kartu-kartu potret hitam-putih dan kartu refleksi, mengajak melihat emosi, identitas, dan dinamika hubungan secara lebih jujur. Banyak konflik lingkungan dan resistensi kebijakan berakar pada relasi yang retak atau emosi yang tidak diberi ruang. Perangkat ini mengingatkan bahwa keberlanjutan selalu bersentuhan dengan karakter manusia.

Dalam ritme kerja yang padat, kehadiran dan kesadaran sering terabaikan. Perangkat kartu yang disebut Flow hadir sebagai alat refleksi yang halus, membantu menyadari perasaan, kebutuhan, dan gerak batin. Ia mengajak kembali ke momen kini, sebuah pengingat penting bahwa ketahanan tidak hanya dibangun melalui strategi besar, tetapi juga melalui kemampuan merawat diri dan perhatian.

Komunikasi menjadi dimensi lain yang krusial. Speak Up bekerja dengan fotografi dan metafora untuk membuka percakapan tentang kepercayaan, kolaborasi, dan keberanian bersuara. Dalam kerja lintas sektor dan lintas kepentingan, kemampuan mengekspresikan hal-hal yang sulit diucapkan sering menentukan apakah kolaborasi akan bertahan atau berhenti.

Ada saat-saat ketika refleksi menyentuh arah hidup dan peran personal. Kartu-kartu dari Career Compass dapat membantu melihat kembali nilai, keterampilan, dan pilihan, terutama ketika percakapan terasa buntu. Banyak pegiat keberlanjutan berada di persimpangan antara idealisme dan realitas sistem. Perangkat ini memberi ruang untuk menjernihkan tanpa menghakimi.

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, pendekatan berbasis ketangguhan dan tanggung jawab juga menjadi penting. Samurai in You, yang terinspirasi dari filosofi samurai, membawa refleksi tentang risiko, resiliensi, dan pengambilan keputusan. Ia relevan dalam konteks iklim, ketika kepemimpinan diuji bukan oleh kepastian, melainkan oleh keberanian menghadapi kompleksitas.

Semua proses belajar ini akhirnya bermuara pada kolaborasi Climate Reality Indonesia dan Sinergia Group Indonesia menciptakan sebuah perangkat yang menghubungkan refleksi personal dengan relasi manusia terhadap bumi. Kartu-kartu Dalam Lensa mengundang dialog dengan alam melalui fotografi, kata, dan pertanyaan. Ia menautkan pengalaman hidup sehari-hari dengan kesadaran ekologis, menjembatani batin manusia dan tanggung jawab terhadap bumi.

Memasuki 2026 dan seterusnya, kerja iklim dan keberlanjutan menuntut kedalaman, bukan sekadar kecepatan. Perangkat refleksi menunjukkan bahwa transformasi terjadi ketika ada kebiasaan untuk meninjau dampak kebijakan, mengevaluasi praktik kerja, menanyakan secara jujur tentang apa yang belum berjalan, lalu menyesuaikan langkah secara bertahap. Dari disiplin kolektif inilah perubahan yang bermakna dapat terjadi.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]