Rempang dan Autocratic-legalism atau Omong Kosong Soal Hukum

Pemerintah melayani korporasi dan menggebah masyarakat-masyarakat adat yang bahkan sudah hidup di lahannya sejak sebelum Indonesia merdeka

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

"Menteri ATR Sebut Masyarakat yang Menempati Pulau Rempang tidak Memiliki Sertifikat.”

Ini argumen umum pemerintah di banyak tempat.

Argumen “tidak memiliki sertifikat” ini juga dipakai waktu pengusiran warga Pulau Komodo, Labuan Bajo, 4 tahun lalu.

Padahal warga Komodo tidak bersertifikat karena pemerintah sengaja mengalangi kemungkinan mereka memiliki sertifikat.

Cerita lengkapnya begini. Pada 1980 pulau itu dijadikan Taman Nasional. Tanah warga diambil untuk konservasi. Kebun warga dirusak, bertani dilarang. Warga (2.000 jiwa) hanya diizinkan mengelola kawasan kampung seluas 17 ha.

Sejak 2014 tanah bekas kebun dan pemukiman seluas ratusan ha di Loh Liang tiba-tiba diberikan kepada perusahaan. Demikian juga tanah di Pulau Padar dan Rinca.

Pada saat yang sama, warga Komodo hendak direlokasi ke tempat lain; dianggap “penduduk liar” karena tidak memiliki sertifikat.

Sementara itu, belum lama lalu pemerintah "memutihkan" 3 juta hektar lebih kebun sawit ilegal milik korporasi besar.

Apa yang bisa disimpulkan?

Pemerintah melayani korporasi dan menggebah masyarakat-masyarakat adat yang bahkan sudah hidup di lahannya sejak sebelum Indonesia merdeka.

Sengketa lahan seperti itu terjadi di banyak tempat. Di beberapa daerah lain, salah satunya di Jambi, petani tak mau lagi memakai saluran hukum untuk memperjuangkan haknya untuk bertani.

Mereka merebut (re-claim), menanami lahan yang dikuasai perusahaan perkebunan, dengan risiko mengalami kekerasan aparat centeng perusahaan. Bahkan ada yang dibunuh (saya mewawancara ibunda anak ini).

Kolumnis
Jurnalis Senior

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com