Ada celetukan yang sering diungkapkan sambil lalu tapi, menurutku, layak direnungkan lebih jauh:
Mengapa orang Indonesia, yang liar susah diatur, bisa berlaku tertib ketika berkunjung ke Singapura? Tidak buang sampah atau kencing dan merokok di sembarang tempat, misalnya, atau tidak nyerobot antrean?
Menurutku, perilaku/mentalitas individu dibentuk oleh kebijakan publik bagus yang ditopang oleh kewibawaan hukum tidak pandang bulu.
Tepat di situlah, Indonesia tidak memilikinya. Hukum bisa ditukar dengan uang atau dikompromikan oleh kekuasaan/jabatan.
Saya kadang "amaze" melihat kerusakan elementer yang dianggap normal: bagaimana polisi (penegak hukum) by default membela pengusaha besar (ketika berhadapan dengan rakyat kecil) dan bagaimana mereka melindungi/mengawal/melayani pejabat.
Penegakan hukum sudah dirusak pada level yang paling elementer sejak zaman Orba tapi tidak dikoreksi, tapi justru dirusak lebih jauh.
"Polisi harus mengawal investasi," kata Presiden Jokowi. Hasilnya: polisi melindungi perusahaan yang merusak lingkungan dan mengkriminalisasi warga yang memprotesnya.
Pada masa Orde Baru, saya menulis kolom di Republika dengan judul Republik Drakula. Saya merujuk pada sebuah risalah sosiologi politik tentang "vampire state" yang saya lupa siapa penulisnya.
Risalah itu punya proposisi yang menurutku tepat: ketika pelanggaran hukum dilakukan oleh orang-orang berkuasa (punya bedil, uang dan jabatan), pelanggaran yang sama akan mudah menular ke khalayak luas hingga ke level terbawah jika ada kesempatan.
Pada mulanya warga kebanyakan akan memprotes pelanggaran hukum oleh elite, tapi akhirnya tak berdaya dihadapkan pada tembok kuasa, dan secara pragmatis mengikutinya setiap ada kesempatan.
Begitulah kerusakan menular seperti drakula menghisap tengkuk korbannya, dan pada gilirannya sang korban akan menjadi drakula baru.