Transformasi Hantu dalam Dunia Politik

Konsep hantu dalam politik Indonesia merupakan elaborasi antara konsep hantu tradisional yang mistis dan irasional dengan konsep hantu modern yang rasional ideologis.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Dalam tradisi masyarakat Nusantara, dikenal konsep hantu untuk menggambarkan keberadaan mahluk halus tak kasat mata. Hampir semua masyarakat Nusantara memiliki legenda tentang keberadaan hantu dengan sebutan nama dan deskripsi bentuk yang berbeda tiap-tiap daerah. Hantu merupakan sosok yang tidak terpisahkana dalam kehidupan manusia. Artinya hampir seluruh kehidupan manusia selalu berada dan bersentuhan dengan hantu.

Seorang Antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam penelitiaannya di Pare Kediri (Mojokuto) menejelaskan keberadaan hantu (makluk halus) dalam konstruksi budaya Jawa. Menurutnya ada lima jenis hantu; pertama memedi, yaitu hantu yang menakut-nakuti manusia, seperti gandaruwo, wewe, banas pati dan sejenisnya; kedua, lelembut yaitu hantu (makhluk halus) yang merasuk dalam diri manusia sehingga membuat manusia sakit atau gila; ketiga, tuyul yaitu hantu dalam wujud anak kecil yang dapat diperintah untuk mencuri uang; keempat, dhemit yaitu makhluk halus penunggu suatu tempat (pohon, gua, mata air dan sejenisnya); kelima dhanyang yaitu mahluk halus penjelmaan leluhur yang merintis suatu desa yang menjaga desa tersebut (Cillford Geertz, 1959).

Akademisi lain yang menulis tentang hantu Nusantara adalah Van Hien, seorang natropolog Belanda yang mengkoleksi berbagai cerita mengenai hantu atau setan di taah Jawa. Cerita ini di diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Javaansche Geestewefeld pada tahun 1896. Dalam buku ini, di antaranya, dia menggambar sosok genderuwo dengan segala tampilan wujud dan karakternya. Seorang antropolog Jerman Timo Dulie pernah meneliti hantu kuntilanak. Hasil penelitian Timo ini dimuat dalam Journal of the Humanities and social Sciences Southeast Asia tahun 2020, dengan judul "Kuntilanak: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia".

Hampir semua peneliti menyebutkan bahwa hantu merupakan sosok mahluk halus yang kasat mata dan terkait dengan hal-hal mistis, legenda dan tahayul yang irasional. Kedua, keberadaan hantu bisa berasal dari arwah orang mati yang gentayangan atau ruh orang suci yang terus menjaga kehidupan. Sebagaimana layaknya manusia, hantu juga memiliki sifat baik dan buruk/jahat. Pendeknya hantu atau mahluk halus dalam konsepsi masyarakat tradisional dikonsepsikan sebagai hal-hal gaib, mistis dan irasional.

Dalam masyarakat modern yang rasional-positifistik, hantu tidak dikaitkan dengan mahluk gaib, tetapi dikonstruksi sebagai suatu yang abstrak namun memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kesadaran dan pemikiran seseorang atau masyarakat. Hal ini terlihat dalam konsep hauntologi yang dikonstruksi oleh Jacques Derrida dalam karyanya Specter of Marx (1994). Derrida menejelaskan hauntologi adalah sesuatu yang memiliki wajah ganda yang konntradiktif; antara ada dan tiada, antara hidup dan mati, masa lalu yang hadir bersama dengan masa kini. Hauntologi berbicara tentang ketakutakan pada hantu, arwah monster, setan atau mahkluk halus yang sangat dekat namun sekaligus juga kegagalan untuk menyebutnya sehingga justru tak ternyatakan.

Dalam buku ini Derrida menggambarkan bagaimana pemikiran Marx dan Marxisme yang sudah mati menjelma menjadi hantu yang mempengaruhi kesadaran masyarakat. Menurut Derrida terdapat beberapa ruh Marxisme yang gentayangan, menghantui pemikiran kaum marxian, inilah yang disebut dengan hantu Marxixme. Konsep hantu marxisme Derida merupakan bentuk konstruksi terhadap konsep hantu yang lebih rasional meskipun tetap abstrak dan gaib. Derrida mentransformasikan konsep hantu dari yang mistis dan takhayul menjadi rasional dan ilmiah, meskipun tetap abstrak karena hanya berbentuk gagasan dan spirit. Dalam konteks Indonesia, konsep hauntologi Derrida ini tercermin dalam istilah “hantu PKI” yang sering muncul setiap akhir bulan September.

Dalam panggung politik Indonesia saat ini terjadi fenomena menarik yaitu kegiatan ziarah ke makam para wali yang dilakukan oleh para politisi. Berebut klaim nasab orang-orang suci dan keramat yang menjadi panutan masyarakat. Seperti terlihat klaim para politisi bahwa dirinya adalah keturunan kiai hebat atau orang suci. Semakin hebat leluhur seorang politisi, maka dirinya akan (merasa) semakin hebat di mata publik.

Apa yang dilakukan para politisi ini sebenarnya adalah membangun legitimasi simbolik untuk mempengaruhi kesadaran masyarat dengan cara “menghidupkan” kembali sosok yang sudah mati atau menghadirkan kehebatan para leluhur ke dalam dirinya. Dalam konteks ini, para politisi membangun konstruksi hantu baik yang berupa keramat para para leluhurnya untuk mempengaruhi kesadaran para pemilih.

Tindakan para politisi ini memiliki pola yang sama dengan konsep hantu yang dikonstruksi oleh masyarakat tradisional maupun modern (Derrida). Di sini terlihat, baik masyarakat tradisional, modern maupun politisi sama-sama menggunakan konsep hantu sebagai sesuatu yang abstrak yang dapat digunakan untuk mempengaruhi kesadaran dan perilaku masyarakat.

Namun demikian, terdapat transformasi konsepsi dan konstruksi hantu antara ketiganya. Pada masyarakat tradisional hantu dikonsepsikan sebagai sesuatu yang mistis, irasional dan takhayul. Di sini hantu konstruksi sebagai mahluk berwajah ganda. Di satu sisi hantu dikonstruksi sebagai mahluk jahat, penggangu menusia dengan wajah seram dan menakutkan. Di sisi lain hantu dikonstruksi sebagai jelmaan dari orang baik, suka menolong dan memiliki kekuatan (karomah). Karena dokonsepsikan sebagai sesuatu yang mistis, irasional dan tahayul, maka hantu sering dipandang secara pejoratif oleh kaum modernis yang rasional.

Konsepsi ini mengalami transformasi pada masyarakat modern. Konsep hantu pada masyarakat modern, sebagaimana dikonsepsikan Derrida, adalah gagasan yang memiliki kekuatan mempengaruhi kesadaran dan pola pikir. Dalam konteks ini, hantu bukanlah mahluk halus, bukan pula arwah gentayangan, tetapi suatu gagasan dan memikiran. Ketika Derrida menyebut hantu Marx atau Marxisme yang dimaksud bukanlah ruh atau sosok halus jelmaan Marax, tetapi kekuatan terhadap gagasan dan pemikiran Marx yang telah menjadi ideologi, sehingga memiliki daya yang mempau menggerakkan para pengikut. Di sini hantu marxisme dikonstruksi dalam berbagai gerakan dan sistem ekonomi sosialis radikal.

Sedangkan di kalangan politisi, hantu dapat dikonsepsikan sebagai kekuatan spiritual yang bersumber dari para leluhur dan nasab dari orang-orang mulia yang terhormat. Dalam konteks ini, hantu tidak dikonstruksi sebagai sesuatu yang mistis dan horor, tetapi ditransformasikan menjadi sesuatu yang sakral, spiritual dan religius. Dengan konstruksi seperti ini, hantu menjadi kapital kapital simbolik yang dapat memperkuat legitimasi politik sang politisi di hadapan konstituennya.

Manuver para politisi untuk mendapat legitimasi politik dengan cara menggali dan menghidupkan kembali jasa dan jejak para leluhurnya sebenarnya adalah bentuk menghidupkan kembali spirit dan ruh orang yang sudah meninggal. Artinya mereka telah membentuk hantu-hantu politik untuk memperkuat legitimasi politik yang dapat meningkatkan elektabilitas.

Apa yang dilakukan para politisi ini merupakan bentuk dari transformasi konsep dan konstruksi hantu dalam dunia politik modern. Konsep hantu dalam politik Indonesia merupakan elaborasi antara konsep hantu tradisional yang mistis dan irrasional dengan konsep hantu modern yang rasional ideologis. Sedangkan dari segi konstruksi, terjadi transformasi hantu dari yang mistis dan ideologis menjadi kapital simbolik yang sakral yang menghantui pemikiran para konstituen.

Kolumnis
Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com