Baru-baru ini, Ganjar Pranowo, Capres PDIP melakukan “blusukan” di beberapa pasar dan gang-gang sempit di Jakarta. Itu dilakukannya beberapa saat sebelum menghadiri Puncak Bulan Bung Karno di GBK Senayan. (Sabtu, 24 Juni 2023).
Banyak pertanyaan berseliweran di medsos, semisal “ngapain Ganjar ngurusin pasar-pasar di Jakarta? Urusin aja wilayahnya sendiri” (baca: provinsi Jawa Tengah). “Kan masih Gubernur Jateng?”. Bahkan ada yang mengomentari hal itu sebagai tindakan “plagiasi” dari pak Jokowi yang rajin blusukan saat sebelum dan sesudah jadi Presiden.
Bila blusukan dilakukan dalam konteks untuk makin menyelami nasib rakyat yang tinggal di kawasan sempit dan kumuh, tentunya sesuatu yang amat sangat baik. Sekaligus memanfaatkan waktu luang selama berada di Jakarta. Bahkan justru adalah suatu keharusan. Bukankah kemiskinan masih banyak dan faktual di Indonesia?
Pasar-pasar dan gang sempit Jakarta sepertinya hanya bersifat simbolik saja untuk memproyeksikan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi masih sangat nyata.
Justru yang menarik, mengapa Ganjar mendatangi gang-gang sempit dan pasar di kawasan Jakarta Utara. Mengapa tidak memilih undangan relawannya yang diadakan di gedung-gedung pertemuan yang nyaman dan ber-AC, misalnya?
Blusukan memang menjadi tidak bermakna subtansial bila dilakukan oleh para capres sebagai suatu pencitraan. Kalau begitu blusukan jadi kehilangan makna. Blusukan seharusnya disertai penjiwaan dari pemimpin untuk mengetahui keadaan dari rakyat yang berada di lapis terbawah dari strata sosial-ekonomi.
Justru setiap capres wajib melakukan blusukan, tentu dengan caranya masing-masing. Bukankah rakyat merupakan subjek pembangunan. Dan, rakyat miskin adalah bagian yang tidak boleh ditinggalkan dalam pembangunan nasional di bidang ekonomi dan budaya.
Kemiskinan dan kesenjangan memang masih merupakan persoalan signifikan di negeri kita. Bahkan untuk menggambarkan kemiskinan, Ir. Sukarno (tokoh yang dikagumi Ganjar) pernah mengutip hadis, bahwa “Tuhan bersemayam di gubuk si miskin”.
Kemudian, melanjutkan dengan ungkapan revolusioner, bahwa “selama masih ada ratap-tangis terdengar dari gubuk-gubuk si miskin, selama itu pula revolusi belum selesai…!”
Jadi makna revolusi bagi Sukarno adalah melawan kemiskinan dalam arti seluas-luasnya, dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Revolusi bukan sesuatu yang bersifat “chaotic”, berdarah-darah. Apalagi bakar-bakaran dan penjarahan. Itu kriminal namanya. Ada sangsi pidananya.
Revolusi adalah sebuah orkestrasi melawan kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi sembari membentuk jiwa bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan berlimpah keadilan. Memberantas kemiskinan, baik miskin harta, miskin ahlak, miskin pengetahuan, miskin toleransi dan persatuan: haruslah menjadi agenda pokok para capres dan cawapresnya.
Lantas bagaimana caranya? Di sinilah diperlukan kepemimpinan yang memiliki kecakapan, strategi, komitmen, keberpihakan, dan keberanian. Mengapa keberanian? Karena kekuasaan itu sangat menggoda. Berani dalam hal ini adalah berani melawan godaan “suap” dan korupsi selama berkuasa. Power tends to corrupt, kata Lord Acton.
Keberpihakan dan komitmen yang kuat terhadap nasib rakyat miskin akan menggerakkan seorang pemimpin untuk menggagas kebijakan-kebijakan yang pro pengentasan kemiskinan dan kesenjangan. Selalu bertujuan memajukan kesejahteraan umum. Karena itu amanat Pembukaan UUD45.
Secara pendapatan, kita sedang berupaya keluar dari “middle income trap” (jebakan pendapatan menengah) menuju pendapatan menengah keatas. Ancaman negara gagal akibat hutang negara yang ugal-ugalan pun tetap masih mengintai. Kita tak boleh lengah.
Utang harus dikelola sebaik-baiknya. Tak boleh “dikorupsi” seenaknya. KPK harus waspada dan tidak ragu bertindak atas setiap kesalahan pengelolaan APBN. Selain itu, bangsa kita kita juga harus waspada kepada elit politik/birokrasi yang berbisnis.
Karena pejabat yang berbisnis, apalagi yang turun tangan langsung dalam mengelola perusahaannya, sangat rentan terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest). Untuk mencegah hal itu perlu segera dibuat UU Konflik Kepentingan dan bisnis pejabat.
Kedepan seharusnya para capres, tentu saja termasuk Ganjar Pranowo yang lekat dan kental dengan konsep perjuangan Bung Karno tentang anti kemiskinan, tidak perlu lagi mengakomodir menteri-menteri yang hanya berpikir bisnis dan membesarkan usaha kelompoknya sendiri. Parasut seperti itu lebih banyak mudharatnya bagi keuangan negara. Pemerintahan kedepan harus bersih dari perilaku KKN.
Singkatnya, target menjadi negara maju dan hebat sudah dicanangkan. Dalam upaya kita bersama mencapai target tersebut, jangan sampai kesenjangan makin lebar, dimana si kaya makin kaya, dan disaat bersamaan si miskin makin miskin.