Menyimak sebait lirik lagu "Rumah Kita", lamunan saya menerawang jauh ke belakang, menerobos ruang dan waktu. Teringat ungkapan seorang rekan aktivis pemekaran Sulawesi Barat (Sulbar), Arifin Baso, sekarang sudah almarhum. Dia pernah berkabar pada saya, saat saya tanya di mana keberadaannya setelah bertahun tak bersua. Arifin menjawab: "aku sudah punya tempat pulang bung!" Rumahku di kampung nun jauh di Polewali Mandar.
Bagi Arifin Baso, yang aktivis pro demokrasi, di kampungnya rumah adalah identitas. Bukan sekadar alamat surat menyurat. Rumah adalah harga diri. Di rumah itu, Arifin Baso benar-benar "berpulang" untuk selama-lamanya. Memenuhi panggilan Sang Penguasa Waktu.
Rumah untuk Rakyat
Harapan memiliki rumah, kediaman, hingga "tempat pulang" adalah impian bagi setiap orang dewasa, utamanya mereka yang sudah berkeluarga. Rumahku adalah Istanaku, begitu ungkapan yang lazim kita dengar dalam percakapan sehari-hari.
Demikian pentingnya rumah bagi kehidupan rakyat, sehingga Presiden Prabowo perlu memisahkan Kementerian Pekerjaan Umum dengan Kementerian Perumahan. Beberapa pihak menyebutnya "Kabinet Gemoy" atau gemuk. Sementara pihak pemerintahan menangkisnya bahwa ini "Kabinet Fokus", bukan semata untuk mengakomodasi kepentingan politik pendukung, kira-kira demikian penjelasan retorisnya. Kita tunggu saja hasilnya. Toh rakyat bisa apa, selain menanti kebijakan perumahan pemerintah yang berpihak kepada rakyat banyak.
Sedikit mengawang-awang, bahwa membangun rumah dan perumahan bagi rakyat yang inklusif, tidak eksklusif dengan harga terjangkau dan layak huni merupakan langkah nyata mewujudkan amanat pembukaan UUD45, yaitu melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterahkan kehidupan rakyat. Ketiga amsal di atas bukanlah pilihan yang optional, akan tetapi sebuah keharusan (conditio cine qua-non).
Amanat konstitusi di atas adalah "mandatory", kewajiban negara kepada Rakyat. Kita harus terus mengingatkan dan mereplikasi pesan para pendiri bangsa yang disaripatikan dalam empat alinea "sakti" tersebut. Bukan apa-apa. Ini karena adanya kecenderungan pengelolaan negara seringkali abai pada amanat penderitaan rakyat, termasuk di sektor perumahan. Menjauh dari misi agung (mision sacre) pembukaan UUD45.
Perumahan harus dihindari dari kecenderungan "eksklusif" dan mono-kultur, perumahan yang primordial dan mempertinggi benteng di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pemerintah seharusnya dapat membatalkan izin developer atau pengembang yang menciptakan ekskusiftas dan motif dis-harmoni dalam masyarakat.
Akhir-akhir ini, di platform media sosial ramai diperbincangkan tentang rencana pembangunan perumahan mewah dan super mewah di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang telah dijadikan Projek Strategis Nasional (PSN) yang dikelola pihak swasta dan dinilai telah mengarah pada pemukiman ekskusif yang tidak menghiraukan gejala kesenjangan ditengah masyarakat yang secara akumulatif dapat menciptakan segregasi sosial yang rumit dan laten.
Kuota Pembangunan Perumahan
Aturan kuota perumahan mewah dan rumah murah di Indonesia diatur oleh pemerintah melalui beberapa kebijakan untuk memastikan keseimbangan antara pembangunan perumahan bagi kalangan menengah ke bawah dan kalangan atas. Beberapa aturan yang umum diimplementasikan antara lain, seperti tentang Peraturan Pembangunan Perumahan berdasarkan kategori harga di mana rumah murah biasanya mengacu pada rumah yang dibangun dengan harga terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah mewah untuk kalangan menengah atas dan atasnya.
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Perumahan Rakyat (PP No. 14 Tahun 2016) pemerintah menetapkan target pembangunan rumah dengan harga tertentu untuk kalangan tertentu yakni: Rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diberikan subsidi atau kemudahan dalam hal pembiayaan. Misalnya, subsidi bunga KPR atau lahan dengan harga lebih murah. Hal tersebut dapat dipahami bahwa penyematan status PSN dari negara kepada sebuah projek perumahan, berarti hal itu merupakan bentuk subsidi kepada rakyat miskin, bukan hunian mewah yang eksklusif sebagaimana ramai di-protes oleh kalangan aktivis pro demokrasi dan civil society lainnya.
Terkait Kuota Rumah Mewah, pemerintah juga mengatur peraturan terkait batasan luas dan harga rumah mewah untuk menjaga keseimbangan pasar perumahan. Misalnya, perumahan mewah dikenakan pajak progresif atau tarif yang lebih tinggi. Ini sangat penting untuk dipahami para pengembang.
Seharusnya para pengembang juga jika perlu, diberikan semacam penataran tentang wawasan berkonstitusi, atau semacam P4 yang diperbaharui, agar mereka dapat menerjemahkan lalu kemudian membangun kawasan perumahan yang searas dan senafas dengan cita-cita proklamasi bangsa.
Juga dikenal regulasi tentang Zonasi, yakni zonasi dan perencanaan kota dimana pemerintah sering kali menentukan kawasan tertentu untuk pembangunan perumahan mewah dan kawasan lain untuk rumah murah, untuk mendorong pertumbuhan yang lebih merata di daerah-daerah yang berbeda. Ini semacam stimulus ekonomi untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan nilai ekonomis suatu wilayah. Namun, isu zonasi ini juga telah memicu "percaloan" dan "mafia tanah".
Awalnya, sistem zonasi bertujuan positif, namun yang berkembang justru sisi negatifnya, yaitu percaloan dan mafia tanah yang merugikan para pihak. Tak kurang, saat Menkopolhukham masih dijabat Prof. Mahfud MD membentuk Tim Anti Mafia sektor pertanahan, pertambangan, dan lain-lain. Demikian gentingnya masalah percaloan dan permafiaan di berbagai lini kehidupan bernegara tersebut.
Namun apapun karut-marutnya tata kelola perumahan di negeri ini ---akibat tabiat rakus (greediness) segelintir pengembang yang merusak citra pengembang perumahan secara umum, padahal masih sangat banyak pengembang yang masih pro rakyat dan berkhidmat pada cita-cita pendiri bangsa, dan tidak semata menumpuk kapital dari bisnis perumahan --- kita tetap harus optimis bahwa pemerintahan Prabowo kedepan, melalui menteri perumahan yang baru, tetap berkomitmen mewujudkan visi "rumah untuk rakyat yang inklusif, layak huni, dan terjangkau. Rumah sebagai "tempat pulang" yang "hommy", manusiawi, dan ramah lingkungan, sebagaimana pernah di-ilustrasikan sahabat saya alm. Arifin Baso dari tanah Polewali Mandar, benar-benar terwujud bagi segenap bangsa Indonesia, apapun status sosial dan ekonominya.
Semoga sobat Arifin Baso mendapat tempat terindah disisi Tuhan, dimana pun letak pusaranya. Alfatehah...
Jaksel, 6 Oktober 2024.