Antara Inspeksi dan Introspeksi

Dari kasus sidak jalan rusak di Lampung oleh Presiden Jokowi, seharusnya pihak-pihak terkait mau melakukan introspeksi. Ini menyangkut etika dan moral penyelenggaraan pembangunan, khususnya sektor infrastruktur.

Baru-baru ini ramai diberitakan adanya sidak atau inspeksi mendadak Presiden Jokowi dengan menggunakan mobil kenegaraan ber-plat Indonesia-1 melewati jalan-jalan rusak di Provinsi Lampung (Jumat, 5/5/2023). Terberitakan pula, bahwa dalam sidak tersebut terjadi “prank” ---terjemahan bebasnya adalah kejutan atau tindakan yang tak terduga--- terhadap jajaran Pemprov Lampung khususnya Pak Gubernur Lampung di mana rute inspeksi yang dilewati berubah mendadak dari yang sebelumnya direncanakan melewati jalan yang telah disiapkan Pemprov Lampung, dan ternyata juga telah diaspal secara darurat oleh pihak setempat, berubah melewati rute jalan Ryacudu di Kabupaten Lampung Selatan.

Dan betul saja, kondisinya rusak berat di hampir sepanjang jalan! Saya tak bisa memastikan siapa-siapa saja yang deg-degan saat itu. Yang jelas dalam sidak itu, Presiden Jokowi didampingi Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.

Singkat cerita, akhirnya pemerintah pusat mengambil alih perbaikan jalan rusak di Lampung tersebut. Menurut Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, anggaran yang dikucurkan pada tahun 2023 rencananya mencapai Rp800 miliar untuk perbaikan 15 ruas jalan di wilayah Lampung. Perbaikan jalan tersebut bertopang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 tahun 2023, tentang Percepatan Peningkatan Konektivitas Jalan Daerah. Intinya, anggaran  Rp800 miliar tersebut semata untuk perbaikan, bukan untuk membangun atau memperluas infrastruktur baru.

Tak lama kemudian, dalam jumpa pers di lokasi, saat presiden ditanya awak media soal kesan selama perjalanan, beliau menjawab, “…oh jalannya enak, lancar, sampai ketiduran…” Kurang lebih seperti itulah jawaban Pak Presiden. Bagi saya yang kebetulan sempat menonton jumpa pers itu di sebuah stasiun TV, senyum-senyum sendiri mendengar perumpamaan Pak Presiden. Sebuah sindiran yang diutarakan secara amat halus, sangat “njawani”. Saya bergumam dalam hati, semoga saja sindiran ala pak Jokowi itu ‘nyampe’ ke sasaran yang dimaksud.

Namun, yang merisaukan saya adalah, apakah pemerintah pusat tidak sayang dengan pengeluaran sebesar itu. Bukankah seharusnya dana APBN dapat dihemat apabila pembangunan jalannya dikerjakan sesuai ‘spek’ atau aturan dalam Peraturan Pemerintah atau juklak-juknis terkait?

Dalam UU 38/2004 tentang jalan, jelas dikatakan bahwa, “Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan”. Dan, dalam pasal 42 UU 38/2004 dijelaskan, “Setiap orang dilarang menyelenggarakan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pasal 63 dan 64 juga mengatur sanksi pidana atas kelalaian penyelenggaraan jalan.

Pertanyaannya, bagaimanakah langkah pengambilalihan penyelenggaraan jalan yang telah dan akan dilakukan pemerintah pusat dalam kasus jalan rusak di seluruh Tanah Air, bila kerusakan di Lampung saja menelan biaya Rp800 miliar? Okelah, kita sepakat pada langkah cekatan pemerintah pusat dengan mengalokasikan dana perbaikan Rp800 miliar untuk 5 ruas jalan di Lampung, beserta pengumuman jadwal lelangnya. Bukankah kepentingan publik dan khususnya masyarakat sekitar harus diutamakan? Lantas, bagaimana dengan potensi korupsi dari pembangunan ketika jalan itu dibangun? Seharusnya, semua kontrak penyelenggaraan jalan, mulai dari jenis jalan kabupaten, provinsi, dan nasional dapat diawasi, bersifat auditable. Azas transparansi dan hak informasi publik jangan sampai diabaikan.

Saya berharap, kasus alokasi dana perbaikan jalan rusak di Lampung itu bukan puncak gunung es. Bayangkan, bila seluruh daerah mengajukan dana perbaikan? Apakah itu bukan suatu kesia-siaan dan pemborosan APBN? Di saat sebagian masyarakat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan.

Persitiwa sidak di Lampung yang viral itu seakan memberi aba-aba kepada wilayah lain agar bersiap-siap. Karena bila sebuah sidak Presiden viral di medsos maka akan banyak pejabat pusat maupun daerah bakal ‘kena’, dan selanjutnya wajib berjaga-jaga, bisa jadi harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atau sebaliknya, mungkin saja terdapat kepala daerah malah berharap di-sidak juga agar mendapat anggaran perbaikan?

Pantaskah anggaran perbaikan diperoleh bila belum ada audit dan laporan monev (monitoring-evaluasi) nya? Bagaimana fungsi pengawasan oleh DPR/DPRD? Sudah berjalan efektifkah?

Semoga alokasi dana perbaikan sebesar itu murni pelaksanaan Inpres perbaikan jalan dan bebas dari agenda kepentingan politik. Sebab bila itu terkait (baca: kepentingan politik kekuasaan) dalam alokasi dana perbaikan itu, maka kian tersisihkanlah kepentingan umum/publik di dalamnya. Yang diutamakan akhirnya kepentingan politik kekuasaan yang bersifat jangka pendek.

Dari kasus sidak itu pula, seharusnya pihak-pihak terkait mau melakukan introspeksi. Ini menyangkut etika dan moral penyelenggaraan pembangunan khususnya sektor infrastruktur. Selain soal memuluskan jalan yang memang sudah jelas juklak-juknisnya, ada faktor etika dan tanggungjawab moral yang wajib dipatuhi oleh para kontraktor dan panitia pelaksana lelang yang umumnya kalangan ASN/PNS.

Nyari untung boleh, tapi ingatlah bahwa penyelenggaraan jalan itu memakai APBN, yang bila “dikorupsi” akan berdampak buruk bagi banyak pihak.

Penulis
Pemerhati Ekologi-Politik/Wakil Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis/GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com