Apologia untuk Sang Jenderal

Pemberian pangkat jenderal kehormatan oleh Presiden Jokowi untuk Prabowo, adalah satu manifestasi anti-apologia. Sebuah aksi simbolik amoral negara tuna-etika, demi memenangkan kepentingan persekongkolan politik sesaat mereka yang tak bermartabat

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Kelaziman dalam masyarakat beradab, yang kuat berbasis norma moral, adalah mengakui kecurangan, kesalahan, atau kejahatan. Pelakunya meminta maaf atas tindakan itu, menyampaikan apologia, secara terbuka, sebagai bentuk penyesalan.

Pelaku akan dihukum atau menghukum diri. Jika "kesalahan atau kejahatan" itu fatal, berdampak luas, terkait dengan urusan publik. Salah satu kisah apologia yang terkenal adalah yang dilakukan Socrates, filsuf Yunani. 

Socrates menyusun "apologia" sebagai pembelaan diri (pledoi) di persidangan. Ia dituduh "menghasut dan merusak pikiran" generasi muda Yunani agar menolak mitos dewa-dewa versi negara dan mengajak mereka berpikir kritis.

Pledoi Socrates, meskipun berjudul Apologia, bukanlah “permintaan maaf atas kesalahan”. Karena ia tidak bersalah, dan ia orang baik. Ia cuma mengajak kaum muda untuk berani berpikir kritis. Dunia menghormatinya sebagai pemikir besar. yang mengubah perspektif manusia. Ia cuma hidup di era yang salah, ketika mayoritas manusia berada dalam era jahiliyah. Ia tetap dinyatakan bersalah, dihukum untuk minum racun.

Berbeda dengan kisah tragis yang menimpa Socrates di Yunani, sekira 2400 tahun lalu. Di Indonesia hari-hari ini, sebuah "apologia" dilakukan negara untuk menghapus dosa-dosa pelaku kejahatan kemanusiaan. Alih-alih si pelaku membuat pengakuan kesalahan dan permintaan maaf, justru negara yang sukarela membuatkan "apologia".

Pemberian pangkat jenderal kehormatan oleh Presiden Jokowi untuk Prabowo, adalah satu manifestasi anti-apologia. Sebuah aksi simbolik amoral negara tuna-etika, demi memenangkan kepentingan persekongkolan politik sesaat mereka yang tak bermartabat.

Secara common sense, nalar wajar, pemberian "pangkat kehormatan" untuk orang yang sama sekali tidak terhormat adalah upaya white-washing politik. Upaya mencuci dan membersihkan kejahatan.

Pemberian pangkat jenderal kehormatan adalah (contra)-apologia Jokowi untuk "memaafkan dan membela" Prabowo atas kejahatannya di masa lalu. Aksi pelanggaran HAM, penculikan, dan pemicu kerusuhan rasial yang ia lakukan sebagai Danjen Kopasus. Kejahatannya sedang dinormalisasikan, dianggap tidak ada.

Dalam rangkaian kisruh politik elektoral Pilpres 2024 ini, motivasi Jokowi terlalu mudah dibaca. Ia ingin menunjukkan berkah, pada Prabowo, bahwa selain membantu "memenangkan" Pilpres, Ia juga berupaya membebaskan Prabowo dari jeratan rantai bola besi (ball and chain), dosa-dosa masa lalu, yang hingga kini mengikat kakinya.

Jokowi juga mencoba menjadi Tuhan (playing God) mengajak si Lucifer Prabowo menduduki tahta surga kekuasaan. Seolah bisa menebus dosa-dosanya yang tak terampunkan.

Bagaimana relasi transaksional dua seteru politik yang pernah bertarung sengit pada dua Pilpres (2014-2019) ini? Apakah kolaborasi saling mendukung mereka akan berhasil? Apakah permainan politik koalisi "God dan Lucifer, untuk bersama-sama berkuasa di tahta politik Indonesia 2024 bakal bertahan?

Apakah apologia Jokowi untuk Prabowo akan mampu menebus dosa-dosanya pada rakyat Indonesia? Dan "conspiracy of evil" mereka bakal merajalela, diterima begitu saja?

Dalam dongeng halusinatif dunia alternatif, yang dinarasikan pendukungnya, mungkin mereka bisa bertahan. Namun di dunia nyata, manuver politik Jokowi memberi "pangkat kehormatan" adalah gejala simptomatik orang yang mengalami lame-duck crisis. Krisis rasa percaya diri penguasa bebek lumpuh yang akan usai kekuasaannya.

Jokowi melakukan blunder, karena panik, produk anxiety disorder, khawatir dosa-dosanya 10 tahun berkuasa bakal dibongkar. Ia sedang "menjilat" Prabowo, yang bakal mengambil-alih tahta kekuasaannya. Memberinya apologia, agar Prabowo menyiapkan apologia balik, melindungi Jokowi nantinya.

Namun permain politik transaksional, saling jilat, tidak bakal bertahan. Bakal banyak kekonyolan dan blunder politik tak-bermartabat yang harus dilakukan dua seteru yang kini bersatu itu sampai Oktober nanti. Setelah itu logika monopoli kekuasaan tunggal akan mengambil alih.

Mereka akan kembali berseteru, saling tikam, untuk kekuasaan. Dan tidak bakal ada apologia yang bisa diterima rakyat Indonesia dari ulah mereka.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com