Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Partai Buruh mengalami reinkarnasi. Namun wajah baru Partai Buruh saat ini tidak menjamin akan menjadi kekuatan politik besar. Jika demikian maka anggotanya, para buruh, tidak akan mendapatkan apa-apa.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Para buruh lagi lagi gigit jari.  Dari tujuh tuntutan yang digelorakan saat demo memperingati Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei, tidak ada satupun yang mendapatkan lampu hijau dari para pemangku kepentingan untuk dipenuhi.

Ketujuh tuntutan tersebut adalah cabut Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker, cabut parliamentary threshold 4 persen dan Presidential threshold 20 persen, sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga, tolak RUU kesehatan, reforma agraria dan kedaulatan pangan, tolak bank tanah, impor beras, kedelai, dan lain-lain.

Memang sejumlah pejabat memberikan tanggapannya menyambut perayaan Hari Buruh, termasuk Presiden Joko Widodo.  Namun pernyataan yang disampaikan, meminjam istilah BEM UI, hanya lips service alias janji manis.

Presiden  Joko Widodo mengajak para pemangku kepentingan memanfaatkan momentum peringatan Hari Buruh untuk terus memperluas kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan buruh dan pekerja, melindungi hak buruh dan pekerja, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional. Imbauan yang bersifat normatif.

Pada kesempatan berbeda, Menkeu Sri Mulyani Indrawati melalui akun Instagramnya, mengatakan, kelompok pekerja adalah komponen penting yang turut memajukan Indonesia. "Dari sisi perekonomian, mereka adalah pelaku utama yang terus menggerakkan roda perekonomian dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujarnya.

Namun janji dan pujian kepada buruh dirasakan tidak memperbaiki nasib mereka. Salah satu peserta demo buruh yang digelar di dekat Istana Negara mengungkapkan nasib para buruh di sektor padat karya yang terkena PHK baru-baru ini belum jelas hingga sekarang. Nyaris tidak ada perlindungan bagi mereka.

Pemerintah melalui UU Cipta Kerja yang dipaksakan menjanjikan akan ada aliran investasi masuk setelah beleid itu dikeluarkan. Investor akan tertarik membenamkan dananya di Tanah Air dengan kemudahan dan kepastian hukum yang ditawarkan oleh UU tersebut. Investor masuk dengan sendirinya lapangan kerja terbuka luas. Begitu mimpinya.

Alih-alih investor berbondong-bondong masuk ke Indonesia membuka lapangan kerja, kesejahteraan buruh malah sudah terpangkas lebih dulu oleh UU tersebut. Uang pesangon berkurang drastis. Kenaikan upah minimum mengecil dengan diubahnya formula penghitungan. Merindukan investor, buruh malah tekor.

Namun para buruh tidak lelah berjuang. Setiap 1 Mei mereka berkumpul menyuarakan hak-haknya.  Mereka berusaha menghapus kondisi kerja yang tidak manusiawi, menuntut jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, meningkatkan upah rendah, pembayaran upah tepat waktu, jam kerja dan upah yang layak, hak cuti hamil, hak cuti haid, hingga Tunjangan Hari Raya (THR).

Tuntutan buruh kini tidak sebatas pada perbaikan nasib mereka. Dilihat dari tujuh tuntutan yang diajukan tampak jelas bahwa mereka juga berkepentingan terhadap Indonesia yang lebih baik.  Jika selama ini mereka menggunakan ‘parlemen jalanan’ dalam berjuang, kini mereka sudah memiliki Partai Buruh, yang diharapkan turut memberikan andil dalam pembangunan melalui Senayan.

Kekuatan Partai Buruh patut diperhitungkan. Menurut Presiden Partai Buruh Said Iqbal, anggotanya diperkirakan mencapai 10 juta orang. Ditambah dengan satu istri/suami dan anak maka jumlahnya bisa mencapai 24 juta anggota. Buruh merupakan kelas pekerja dengan jumlah paling banyak di Tanah Air.

Dengan kekuatan yang luar biasa, Partai Buruh berpotensi menentukan arah perpolitikan di Tanah Air. Namun stigma yang sudah terlanjur terbangun bahwa buruh terpecah belah membuat mereka merasa lemah. Perjuangan itu pada akhirnya hanya dinikmati elit-elit buruh, para ketua serikat kerja.

Dalam catatan sejarah, sebagai sebuah kekuatan, buruh tidak diperhitungkan. Jumlahnya memang banyak, tapi belum menjadi kekuatan politik besar, karena mereka cenderung terafiliasi ke kekuatan politik atau partai lain sehingga suara buruh tidak bisa bulat.

Sebagai contoh, saat Iqbal mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai pilihan bakal calon presiden 2024, suara di dalam Partai Buruh tidak bulat.

Itulah mengapa sekalipun buruh sudah pernah mendirikan partai buruh pada 1998, partai tersebut tiga kali gagal memenangkan pemilu bahkan tidak lolos parlemen. Mereka pecah, terafiliasi, terfragmentasi, terbagi-bagi dukungan dan pilihannya ke banyak partai politik.

Di bawah komando Said Iqbal, Partai Buruh mengalami reinkarnasi. Namun wajah baru Partai Buruh saat ini belum menjamin partai tersebut akan solid. Mereka harus menyelesaikan masalah klasik yakni menyatukan kembali suara buruh agar tidak terpecah lagi ke partai politik lain.

Kepemimpinan Said Iqbal ditantang di sini. Apakah ia sanggup menyatukan suara anggotanya sehingga menjadi kekuatan politik besar? Jika tidak maka lagi lagi tidak ada yang bisa didapat buruh.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com