Jokowi adalah sosok petarung politik yang cukup tangguh. Meminjam kisah laga ala negeri Sakura, Jokowi adalah seorang ninja. Sayangnya, Ia bertarung bukan untuk melawan kebatilan dan demi menegakkan keadilan. Ia bertarung untuk memenangkan ambisi politiknya, membangun dinasti politik keluarga, dengan menghalalkan segala cara.
Dalam buku Ninja: Shadow Warrior (2008), Joel Levy menguraikan, Ninja adalah petarung kelas rakyat yang selalu bertopeng untuk menyembunyikan karakter aslinya. Ninja piawai dalam memakai tipu daya dan manipulasi dalam menjalankan aksi-aksinya.
Beda dengan Samurai, Ninja adalah jawara bayaran yang ditugaskan untuk menjalankan operasi rahasia, tipu daya, sabotase, sluman-slumun, pencuri di malam gelap, dan selalu menghindari pertarungan terbuka. Ninja dilengkapi dengan berbagai senjata rahasia, beraksi dengan mengabaikan sportivitas, dan tidak beretika. Tujuan Ninja cuma satu: melumpuhkan lawan, dengan apapun cara.
Dalam tradisi klasik dunia petarung di Jepang dikenal tiga level pejuang (warrior): yaitu Shogun, Samurai, dan Ninja. Shogun adalah panglimanya para samurai, perwira yang memiliki karakter kepemimpinan yang berhasil menang dalam banyak peperangan. Samurai adalah bangsawan pejuang yang terlatih dalam tradisi dan etika kebangsawan. Ninja adalah pasukan lapangan kelas bawah, yang direkrut dan dilatih untuk operasi khusus. Dibanding Shogun atau Samurai, Ninja sering dipandang rendah. Karena tugas utamanya adalah menjadi mata-mata, melakukan sabotase, dan membunuh secara rahasia.
Dalam analogi Shogun-Samurai-Ninja, versi Jawa, Jokowi adalah seorang Ninja. Dia tidak bisa naik derajatnya menjadi Samurai atau Shogun. Dalam perjuangan politiknya, dia melakukan aksi-aksi dan taktik ala Ninja, karena memang tidak memiliki pemahaman atau kesadaran etika seorang perwira yang beretika.
Karakter Jokowi sebagai Ninja jelas terlihat menjelang akhir kekuasaannya, Ia melakukan aksi-aksi sabotase politik, secara sembunyi menelikung demokrasi, dengan memakai segala cara. Tidak ada yang menyangka, Jokowi menjadi sosok penyabot demokrasi di Indonesia.
Alih-alih menegakkan konstitusi dan etika berdemokrasi, Jokowi, yang naik ke kekuasaan secara demokratis, justru menelikung sistem yang mengangkat harkatnya. Ia menyabotase demokrasi di Indonesia, melalui proses pemilu, pemilihan presiden, dengan cara curang, intimidatif, dan manipulatif.
Upaya Jokowi membunuh demokrasi digulirkan secara sistematis. Dimulai dari wacana tiga periode, penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, termasuk merevisi UU KPK untuk ia pakai menyandera pimpinan parpol korup, agar mendukung permainan politik -sprindik-nya.
Puncaknya adalah langkah Jokowi menabrak konstitusi. Menggunakan Mahkamah Konstitusi, memaksakan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo. Jokowi mengorkestrasi berbagai kecurangan, manfaatkan operator politiknya (para Ninja) untuk memenangi Pilpres 2024, menggunakan alat dan aparat negara.
Menjelang akhir kekuasaannya, operasi dan taktik manuver gelap untuk membungkam demokrasi makin intensif dilakukan. Dari revisi UU Penyiaran, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, perpanjamgan masa jabatan Kapolri, perpanjamgan masa jabatan kepala desa, revisi jumlah kementerian, dan masih banyak lagi manuver politik ala perilaku pencuri di malam gelap. Semua dia dilakukan untuk mengamankan legasi kekuasaannya, dan praktek inkonstitusionalnya.
Namun ada ironi relasi politik "syahwat kuasa" antara Jokowi dan Prabowo yang karikatural. Secara harfiah, berdasarkan genetik DNA politik, Jokowi adalah Ninja, rakyat biasa, dan Prabowo adalah Samurai, bangsawan "berdarah biru".
Agak menggelikan, karena tidak lazim, dalam jagad pertarungan politik kekuasaan. Sosok Ninja politik, seperti Jokowi mengarahkan, mengendalikan, dan mewariskan kekuasaannya kepada Samurai Prabowo, untuk mendapatkan tahta kuasa Shogun. Menjadikan Prabowo sebagai boneka?
Tapi benarkah Jokowi sunguh-sungguh ingin men-Shogun-kan Prabowo? Atau itu sekadar operasi manuver politik, transisi sesaat untuk tujuan lebih besar? Menjadikan putra sulungnya, sang "belimbing sayur" untuk menjadi Shogun, dengan segala cara?
Sayang sekali, jalan politik yang dipilih Jokowi adalah menjadi Ninja. Saat dia meraih tahta menjadi Shogun, sebenarnya ia bisa memilih menjadi perwira dengan misi untuk membasmi kebatilan dan menegakkan keadilan. Sistem demokrasi memungkinkan Ninja menjadi Shogun, yang dihormati.
Namun, alih-alih, Jokowi memilih jalan Ninja untuk melumpuhkan dan membunuh demokrasi, demi ambisi kekuasaan. Boleh jadi, karena Jokowi tidak memahami filosofis etika Samurai dan Shogun. Ia cuma tahu cara menjadi Ninja, sesuai level komprehensi politiknya.