Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Menghindari kepunahan tumbuhan membutuhkan penyelesaian inventarisasinya, dan penilaian status untuk semua spesies yang dikenal. Juga digitalisasi semua spesimen herbarium dengan tautan ke sumber daya lain di metaherbarium global online, dan rencana pemulihan untuk masing-masing spesies yang terancam.

Herbarium, koleksi tumbuhan yang diawetkan dalam bentuk kering maupun basah, ternyata dapat membantu mengurangi kepunahan flora di Bumi ini.  

Charles C. Davis dari Harvard University yang menulis opini “The herbarium of the future” untuk jurnal ilmiah “Trends in Ecology & Evolution,” menyatakan ada sekitar 3000 herbarium di seluruh dunia yang menyimpan 400 juta spesimen.  

Herbarium Bogoriense di Kota Bogor saja, yang merupakan herbarium terbesar di Asia Tenggara, menyimpan hampir satu juta spesimen tanaman vaskular, pakis, jamur, lumut, dan makroalga. Belum lagi herbarium milik ratusan Negara lainnya di dunia.  

Koleksi spesimen sangat penting untuk memahami di mana tumbuhan pernah hidup di masa lalu, untuk meramalkan di mana mereka mungkin hidup di masa depan, dan untuk menggambarkan status konservasinya. Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sumber daya alam agar dapat bertahan untuk generasi mendatang. Ini termasuk menjaga keanekaragaman hayati,  serta fungsi lingkungan, seperti siklus nutrisi, pengaturan air dan iklim.  

Tidak dapat dipungkiri bahwa konservasi mutlak dilaksanakan karena keanekaragaman hayati merupakan pilar membangun peradaban dengan berbagai sumber daya yang disediakannya untuk kesejahteraan manusia. Sebagai contoh, ikan menyediakan 20 persen protein hewani bagi sekitar 3 miliar orang, sedangkan lebih dari 80 persen makanan manusia berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sebanyak 80 persen penduduk pedesaan di negara berkembang mengandalkan obat-obatan nabati tradisional untuk perawatan kesehatan dasar mereka.  

Herbarium masa depan, menurut Davis, adalah “global metaherbarium” yang akan menjadi sumberdaya global, terhubung secara digital, dengan akses terbuka. Ini akan merangsang sains inovatif berskala besar dan secara langsung mengatasi krisis keanekaragaman hayati kita saat ini.

Sebagaimana pernah ditulis di media ini pada artikel “Linnaeus, Ilmu, Nada, dan Puisi” memahami taksonomi sangat membantu dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati, menyikapi perubahan iklim, memfasilitasi perdagangan, dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.  

Namun, menurut Yayasan KEHATI, ada tantangan di banyak institusi bahwa studi klasik taksonomi dengan klasifikasi dan penamaan organisme, digantikan oleh sistematika (analisis hubungan evolusi organisme). Ilmu taksonomi bahkan melemah untuk berbagai spesies tumbuhan yang sebenarnya tidak sulit untuk ditekuni agar dapat dikenal keanekaragaman dan sifat hidupnya dengan lebih baik.  

Ilmuwan yang peduli tidak dapat tinggal diam dan membiarkan kekosongan ilmu taksonomi berkembang lebih jauh. Inilah saatnya dikembangkan “sains warga” atau ilmu yang lebih memasyarakat untuk mengenal berbagai spesies flora dan fauna. Untuk tujuan tersebut maka pegiat dan pemikir dari Yayasan KEHATI bekerja sama dengan BRIN dan UI tengah menyiapkan suatu panduan “Spesies Apakah Itu? Ilmu taksonomi bagi pencinta alam.”  

Buku berupa bunga rampai ini ditulis oleh 24 ilmuwan, sepertiganya berasal dari dunia internasional, guna memberikan pedoman serta contoh untuk mengembangkan motivasi khalayak umum, membuka mata hati, mengamati dan melestari­kan keanekaragaman hayati. Ambisi tertingginya, memotivasi warga negara Indonesia yang tertarik pada alam, ke jalur ilmiah taksonomi yang sepi, serta mendorong penemuan-penemuan ilmiah untuk berkon­tribusi pada ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati Indonesia.

Buku yang disunting oleh editor M Indrawan (UI, KEHATI), Himmah Rustiami (BRIN), Wellyzar Sjamsuridzal (UI) dan Anargha Setiadi (UI), bergenre sains populer dengan konstruksi ilmiah seketat mungkin. Cukup populer untuk memo­tivasi, namun cukup ilmiah untuk memandu pembaca dalam melakukan pekerjaan taksonomi dan memahaminya.  

Sambil  menunggu buku ini terbit, ada baiknya menyimak ulasan Richard Corlett dari Xishuangbanna Tropical Botanical Garden di Cina yang berjudul “Achieving zero extinction for land plants,”  ditulis untuk jurnal ilmiah “Trends in Plant Science.” 

Menghindari kepunahan tumbuhan membutuhkan penyelesaian inventarisasinya, dan penilaian status untuk semua spesies yang dikenal. Juga digitalisasi semua spesimen herbarium dengan tautan ke sumber daya lain di metaherbarium global online, dan rencana pemulihan untuk masing-masing spesies yang terancam.  

Hambatan utamanya adalah kekurangan orang yang terampil dalam bidang ini. Memang teknologi baru, “machine learning,” dan sains warga dapat memperluas jangkauan para ahli, tetapi pelatihan dan insentif juga diperlukan untuk menambah jumlah mereka yang mahir.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com