Prabowo punya masa lalu politik yang kelam, tapi masih punya masa depan. Dia punya kesempatan untuk menebus segala kesalahan masa lalu, dengan memperbaiki masa depan Indonesia. Kesempatan untuk melepaskan segala beban, political baggage, yang menggelayuti pundaknya, telah terbuka. Memutus keberlanjutan koalisi, dan melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi, adalah satu-satunya pilihan.
Koalisi Indonesia Maju, gabungan partai politik yang dikomandoi Presiden Jokowi, memenangi Pilpres 2024. Menempatkan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan presiden wakil presiden terpilih. Menang, meskipun dengan segala kontroversi dugaan kecurangan, penyuapan, dan intimidasi.
Menang Pemilu secara curang untuk meraih kekuasaan bukan hal baru. Lebih dari 32 tahun, di era Orde Baru, rakyat Indonesia "mahfum" dengan politik seperti itu. Kekuasaan memang memabukkan, ibarat minum alkohol, orang yang mabuk kekuasaan adalah seorang alcoholic, tidak tahu kapan harus berhenti minum. Itu pernah dialami Soeharto dan kini terjadi pada Jokowi. Apakah mabuk kuasa juga akan menerpa Prabowo?
Tantangan ke depan, saat kekuasaan sudah digenggam Prabowo, apa yang perlu dilakukan, agar kesalahan tidak berulang? Agar pemerintahan menjalankan mandat, amanat, bermartabat, bermanfaat, dan pro-rakyat?
What is to be done. Apa yang perlu dilakukan, agar Prabowo tidak dianggap sekedar "boneka" Jokowi. Menjadi presiden transisi untuk kelanjutan kekuasaan Jokowi--dalam wujud Gibran. Setidaknya ada tiga hal yang perlu segera dilakukan Prabowo.
Pertama, menghentikan praktek manipulatif politik legal-formalistik ala Jokowi. Jokowi tercatat dalam sejarah sebagai politikus yang gemar memanipulasi peraturan, perundangan dan lembaga hukum untuk menyokong ambisi politiknya. Rekayasa hukum kerap dipakai untuk memudahkan proses dan memoles inkompetensi pemerintahannya. Dari revisi UU KPK, UU Omnibus, UU IKN, berbagai deregulasi, hingga menyalahgunakan MK dan MA demi memuluskan karir politik anak-anaknya.
Kedua, menggerakkan stagnasi di berbagai sektor, khususnya ekonomi, sosial, dan budaya. Menghentikan kegemaran menumpuk utang pemerintah, yang saat ini mencapai 8.444, triliun rupiah pada Juni 2024 (naik 91,85 triliun rupiah dari sebulan sebelumnya). Jokowi jelas tangkas dalam berutang dan menghabiskan anggaran.
Selain gemar utang dan impor, era Jokowi ditandai dengan kembali maraknya budaya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Jokowi friendly dengan para elite oligark ekonomi (taipan 9 naga). Gesit menarik dukungan politik, dengan menyuap ormas agama, melalui bagi-bagi ijin tambang. Sembari menggusur rakyat, Jokowi memakai Bansos untuk politik pencitraan personalnya,
Ketiga, memutus politik pencitraan dan kemasan. Politik Jokowi adalah obsesi promosi diri, terus berkampanye demi popularitas, termasuk dengan lempar-lempar hadiah dari mobilnya yang melaju. Agenda Jokowi adalah terus memupuk dukungan dan situasi persaingan elektoral, dengan memelihara relawan untuk menjadi "barking dogs". Gaya politik kemasan superfisial adalah "kekuatan" Jokowi untuk memukau audiens.
Contoh terbaru, Jokowi membayar influencer- cum-selebritis untuk mempromosikan IKN. Menggelar konvoi sepeda motor di jalan tol, dan akting dua hari "berkantor" di istana presiden -- yang masih berantakan. Ingin memamerkan sesuatu yang tidak layak dipamerkan, mencerminkan sikap haus pengakuan sekaligus minderwaardigh kompleks.
Segala aksi pat-gulipat, gimmick, dan akrobat politik Jokowi secara esensial adalah demi membuat legasi personal dan melanjutkan ambisinya agar tetap berkuasa. Setelah gagal dengan niat "tiga periode" dan "penundaan pemilu", menjelang berakhir masa jabatannya Jokowi mendadak ingin membangun dinasti politik. Dan menjadikan Indonesia sebagai kerajaannya.
Problem Jokowi adalah tidak menyadari sedang membangun istana-pasir (sandcastle) terkait legasi dan ambisi kekuasaannya. Proyek IKN, secara harfiah, adalah istana pasir itu. Ia memprioritaskan penyelesaian istana presiden, alih-alih lazimnya mendahulukan infrastruktur kota dan hunian warga. IKN adalah simbol chaotik dan problematik manajemen pemerintahan era Jokowi.
IKN sebagai simbol ambisi personal legasi Jokowi, kini semakin nampak seperti istana-pasir yang bakal tersapu ombak. Apakah Prabowo sudi berkantor di istana berdesain suram-muram itu? Maukah Prabowo mewarisi segala problematik dengan slogan "keberlanjutan". Melanjutkan warisan kekacauan politikus populis, yang sibuk mematut diri demi popularitas? Apakah Prabowo mau menjadi solusi atau melanjutkan masalah?
Prabowo punya kesempatan untuk memperbaiki situasi. Dengan berani melepaskan diri dari beban "keberlanjutan" era Jokowi, dan melepaskan diri dari beban masa lalu personalnya. Hanya ada satu pilihan: meninggalkan oligarki Jokowi, dan melangkah di jalan demokrasi.