Politik Pertemuan Kawan-Lawan

Jika ada adagium bilang "lawannya lawanku adalah kawanku", maka "kawannya lawanku adalah lawanku." 

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Relasi perkawanan atau perlawanan politik antara Megawati, Prabowo, dan Jokowi sungguh pelik. Dua dari tiga tokoh ini pernah berkawan atau berlawan secara politik. Ketiganya sesaat pernah bisa berkawan saat mencalonkan Jokowi pada Pilkada DKI (2012). Mereka kini mengalami trilema perkawan-lawanan, dilema tapi menyangkut tiga orang.

Mega dan Bowo adalah kawan politik (pada Pilpres 2009), yang menjadi lawan (2014 - 2024). Bowo dan Joko adalah lawan politik (2014 - 2019) yang menjadi kawan (2024). Mega dan Joko adalah kawan politik (2014 - 2019) yang menjadi lawan (2024). Apakah Mega dan Bowo akan kembali berkawan, dan keduanya berlawanan dengan Jokowi pasca-2024? Atau Bowo dan Joko tetap berkawan untuk melawan Mega? Itu akan diketahui dari pertemuan Mega-Bowo beberapa hari ke depan.

Menjelang pelantikan presiden, mereka cuma bisa bertemu berdua, ogah bertiga. Baru-baru ini, 8 Oktober malam, Bowo bertemu dengan Joko di sebuah restoran mewah di Senayan (entah kenapa bukan di Istana Negara). Pertemuan ini mengingatkan gaya bos-bos dalam film mafia Hollywood. Pertemuannya terbuka, bahkan Jokowi mengunggah foto pertemuan itu di akun medsosnya. Tapi apa yang dibicarakan, dalam pertemuan selama lebih dari dua jam itu, rahasia. Publik tidak boleh tahu

Pertemuan Bowo-Joko itu mendahului rencana pertemuan Mega-Bowo yang tak kunjung terjadi. Meskipun sudah berbulan-bulan dikabarkan dan direncanakan. Penantian publik untuk menyaksikan pertemuan Mega-Bowo ini memunculkan harap-harap cemas. Pertemuan mantan kawan yang jadi lawan pada dua Pilpres terakhir ini pasti lebih menarik dan seru, ketimbang pertemuan Bowo-Joko di Pelataran Senayan.

Yang pasti, jika pertemuan Mega-Bowo terjadi, akan menjadi tamparan keras buat Jokowi. Sebagai raja (versi Bahlil), mustinya Jokowi bisa menitahkan atau melarang adipatinya, Bowo, agar tidak bertemu Mega. Tapi karena Joko akan lengser keprabon, dan bukan raja beneran, maka ia tidak bisa memberi titah larangan. Alih-alih, ia cuma bisa mengajak Bowo bertemu duluan di restoran untuk omon-omon.

Joko, bisa diduga, merasa masygul. Kok bisa Bowo yang ia bantu memenangi kursi presiden, secepat itu ingin bertemu dengan Mega, lawan politiknya. Lahan perseteruan Pilpres yang penuh dengan "darah dan keringat perlawanan" belum juga kering. Tapi mendadak sudah mau rekonsiliasi. Ini mengingatkan, deja vu, manuver rekonsiliasinya dengan Bowo, usai Pilpres 2019. 

Joko telah habis-habisan membantu Bowo untuk memenangi kompetisi menduduki tahta kepresidenan, dan karena itu ia dilabeli sebagai pengkhianat. Ia tentu berharap, Bowo akan loyal dan setia pada skrip skenario peralihan kekuasaan yang ia rencanakan. Ia telah "berkorban", melawan dinasti Mega, atawa Mega-dinasti. Kekuatan aristokrasi politik yang telah berjasa mengangkatnya dari bantaran sungai menduduki tahta, dan membuatnya merasa jadi raja.

Namun, alih-alih membantu memuluskan rencana menjelang kemenangan diakhir laga, tetap patuh mengikuti skenarionya, Bowo justru "bermain mata" dengan Mega. Bowo ingin bertemu Mega untuk mengajaknya berkoalisi, membicarakan agenda politik bersama, menawari sejumlah posisi penting untuk bersama-sama mengelola kerajaan Indonesia.

Pertemuan Mega-Bowo jelas untuk rekonsiliasi, melenturkan ketegangan, mengendurkan syaraf, dan mencairkan kebekuan relasi politik pasca-pilpres 2024. Trick yang pernah dipakai Joko untuk meredakan kegetiran Bowo akibat dua kali dipecundangi dalam laga Pilpres.

Secara politik formal, di atas panggung, sebagai presiden terpilih, tentu Bowo ingin menjalin relasi politik yang baik dengan semua mantan kepala negara, menunjukkan adab sopan-santun. Secara informal, pertemuan juga perlu sebagai tontonan bagi publik, tentang niat dan itikad baik dalam berpolitik.

Tapi tidak semua hal dalam politik adalah urusan formal(itas). Pertemuan terakhir Mega-Bowo yang bernuansa akrab, informal, berlangsung di rumah Mega, pada 2019. Saat itu media massa ramai memberitakan "menu nasi goreng" yang disukai Bowo. Menu nasi goreng akan dihidangkan lagi pada pertemuan 2024 ini. Dalam tafsir politik, "menu nasi goreng" bisa dibaca sebagai kesepakatan untuk menggoreng isu, agenda, atau program bersama. Gorengan, yang sedihnya, tidak mengikutsertakan Joko, sebagai ahli goreng-mengoreng isu politik.

Apalagi Joko dikenal sebagai sosok yang gemar menyelesaikan urusan politik melalui meja makan. Menjejalkan menu gorengannya kepada siapapun yang diundangnya untuk makan bersama. Dan kemudian gorengan itu disebarkan, dikunyah-tafsirkan, kepada publik melalui influencer dan buzzer. 

Jelas kepedihan yang menyayat hati, jika Joko, raja gorengan politik, kali ini tidak ikut menggoreng. Selain hanya bisa menikmati menu gorengan Mega-Bowo, yang apapun racikan bumbunya, bakal terasa hambar. Pertemuan Mega-Bowo cuma bisa ditonton oleh Joko dari kejauhan. Ia cuma bisa bertanya-tanya, gorengan apa yang sedang dirancang oleh dua mantan kawan yang saat ini sepertinya akan bersekutu jadi lawan? 

Situasi ini pasti "menyiksa" Joko. Dua mantan kawan akan bertemu, bersekongkol, untuk menjadi lawan. Rasanya baru kemaren ia yang selalu mengundang pertemuan semacam ini. Kini ia tak diundang. Mega-Bowo tega benar tidak mengajaknya, ia masih raja--eh presiden lho, meskipun sebentar lagi turun tahta. 

Yang lebih menyakitkan, ditengah berbagai skandal yang menimpa keluarganya, dari soal tambang batubara menantu, nebeng jet pribadi, hingga fufufafa, cita-cita untuk ikutan merintis dinasti politik terlihat mulai runtuh.

Jika ada adagium bilang "lawannya lawanku adalah kawanku", maka "kawannya lawanku adalah lawanku." Jadi seperti apa konstelasi kawan atau lawan dalam jagat perpolitikan Indonesia? Mari kita saksikan pasca-pertemuan Mega-Bowo.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com