Politik mirip aktivitas bisnis, intinya adalah “jualan” produk. Seni memasarkan barang atau jasa agar laku. Lazimnya bisnis jualan, memasarkan politik perlu merek agar barang atau jasa laku. Merek adalah simbol agar mudah dikenal dan dijual. Jokowi adalah merek bisnis politik yang pernah sangat populer. Merek ini berhasil “menyihir” konsumen Indonesia, bahkan sampai manca negara. Majalah Time pernah menjadikannya cover utama dengan judul “a new hope”, harapan baru bagi Indonesia.
Kenapa Jokowi pernah dianggap dianggap sebagai harapan baru? Karena sebagai merek politik ia cukup “otentik dan orisinil”. Selain berasal dari kalangan rakyat biasa (produk industri politik rumahan—bukan darah biru politik—sebelum diakuisisi oleh PDIP), ia juga memikat publik dengan tampang ndeso, aksi-aksi blusukan, masuk gorong-gorong. Ketidaklaziman aksi-aksi politik yang tidak terpikirkan oleh para politikus aristokrat.
Jokowi membawa suasana baru setelah 10 tahun sebelumnya Indonesia dibombardir wacana “galau dan prihatin” era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai produk politik, SBY memang berasal dari aristokrasi militer, dan dikenal dengan gaya jaim, formalis, protokoleris. Tipikal produk politik old-school, elitis, intelektualis, yang mulai kehilangan daya pikat di era baru, era media sosial.
Jokowi menjadi merek politik populis yang punya daya tarik, masyarakat akar rumput bisa relate dengan kesederhanaannya. Caranya berpakaian, berbicara, bertingkah, termasuk gaya plonga-plongo inosense-nya.
Politik yang sebelumnya menjadi panggung pertunjukan eklusif elite parpol (aristokrat) menjadi mudah diakses. Akar rumput bisa ikut bermain dalam persaingan bisnis politik, bukan lagi cuma menjadi penonton di pinggir lapangan. Bermunculan “relawan politik” yang secara “sukarela” ikut memasarkan dan menjual merek Jokowi secara eceran.
Dari segi strategi marketing, sebagai merek, Jokowi memang sukses. Laku keras. Namun sukses dalam pemasaran, image branding, sayangnya tidak diikuti dengan quality control dan konsistensi produk. Tagline “Jokowi Adalah Kita”, wacana story-telling yang ingin mengasosiasikannya sebagai orang bawah, warga kebanyakan, rendah hati, dekat dengan rakyat, satu persatu mulai tumbang. Setelah terpilih lagi sebagai merek yang disukai, Jokowi mulai memperlihatkan karakter produk aslinya.
Alih-alih sebagai “kita”, Jokowi semakin terlihat menjadi “kami”. Semua hal yang dia lakukan adalah untuk jualan kepentingan kami: keluarga kami, oligarki kami, kroni kami, bansos kami, legasi kami, ibu kota (kerajaan) kami, kepala daerah kami, KPK-TNI-kepolisian-kejaksaan-kami. Intinya: kekuasaan kami.
Jokowi terobsesi dengan proyek-proyek fisik megah dan mewah, dengan dana utang, untuk menunjukkan siapa kami, ketimbang membangun kedaulatan dan martabat kita—rakyat yang ia bebani berbagai iuran, pungutan dan pajak yang memberatkan.
Jokowi lupa diri, keasyikan menikmati kekuasaan, 10 tahun berdiam di istana “berbau kolonial” membuatnya bukan cuma berbau—namun juga berperilaku—kolonial. Termasuk kegemarannya melempar-lemparkan hadiah kepada rakyat dari mobilnya yang melaju. Ia berupaya menaklukkan semua hal, dari parpol, birokrasi, hingga aparat, dan menjadikannya sebagai koloni.
Nawacita yang menjadi slogan kampanye Jokowi untuk memasarkan diri, semakin tidak terbukti. Ia berceloteh, mendongeng, bahwa Negara bakal hadir untuk melindungi rakyat; Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih; Membangun Indonesia dari pinggiran; Meningkatkan kualitas hidup melalui pendidikan; Meningkatkan produktivitas dan daya saing rakyat; Mewujudkan kemandirian ekonomi; Melakukan revolusi (mental) karakter bangsa; Memperteguh kebhinnekaan dan restorasi sosial Jokowi.
Dongeng Nawacita itu kini justru menjadi fakta Nawa dosa. Jokowi justru: Membangun dinasti politik; Melumpuhkan demokrasi; Mengembalikan TNI ke ranah sipil; Menjadikan kepolisian dan kejaksaan sebagai alat kekuasaan; Melemahkan KPK; Memperbesar utang; Merusak lingkungan; Menggusur rakyat; Memindahkan ibukota—sebagai ambisi pribadi.
Jokowi meski awalnya sukses sebagai merek, tapi terbukti gagal sebagai produk. Orang lupa pada Nawacita, janji marketingnya, dan yang akan teringat adalah Nawadosa, perilakunya. Sejarah mencatat dosa-dosanya. Jokowi yang punya intuisi bisnis dalam memasarkan merek, gagal menghasilkan produk sesuai ekspektasi. Tipikal penjual merek abal-abal yang kini marak di era bisnis online ala media sosial -- bisnis pencitraan dan tipu-tipu.
Jokowi, merek yang pernah begitu populer, kini mulai ditinggalkan dan kesepian. Orang mulai merasa malu dan ngeri pernah terasosiasi dengan merek ini. Ia ingin menyepi di IKN, istana pasir delusinya, yang akan tersapu ombak mangkrak. Sebagai produk gagal, Ia cuma bisa menghitung hari, untuk diadili.